Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia pernah menjadi bintang industri mebe dunia tetapi data terbaru menunjukkan bahwa kilau tersebut mulai meredup.
Data Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI)menunjukkan nilai ekspor mebel Indonesia (HS 9401-9403) mencapai US$ 2,5 miliar pada 2022 kemudian turun ke US$ 1,9 miiar pada 2023. Sepanjang Januari-Oktober 2023, ekspor mebel Indonesia baru mencapai US$ 1,9 miliar pada 2023 atau sekitar Rp 26,03 triliun (US$1= Rp 16.270).
Ekspor mebel dan kerajinan Indonesia mengalami penurunan dari 3,47% pada 2021 menjadi hanya 2,37% pada 2024. Angka ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa tren ini terjadi, dan bagaimana industri furnitur Indonesia dapat kembali ke puncak?
Furnitur berbahan baku kayu masih menjadi tulang punggung ekspor dengan kontribusi sebesar 52,62%. Dominasi ini menunjukkan bahwa kayu tetap menjadi bahan favorit bagi pasar global, tetapi ketergantungan yang begitu besar juga menghadirkan risiko tersendiri.
Dengan semakin ketatnya regulasi lingkungan dan berkurangnya ketersediaan kayu berkualitas, industri furnitur Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan bahan baku. Tanpa strategi pengelolaan hutan yang efektif dan praktik penebangan yang bertanggung jawab, pasokan kayu dapat menjadi kendala utama yang menghambat pertumbuhan ekspor.
Di sisi lain, industri furnitur sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan melalui bahan baku alternatif seperti rotan dan bambu. Saat ini, furnitur berbahan rotan menyumbang 9,74% dari total ekspor, sementara furnitur bambu masih tertinggal jauh dengan kontribusi hanya 0,07%.
Padahal, Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen rotan terbesar di dunia. Pelarangan ekspor rotan mentah yang telah diterapkan pemerintah seharusnya menjadi peluang emas bagi industri dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah, bukan sekadar mengandalkan bahan mentah. Namun, tanpa inovasi desain dan peningkatan teknologi pengolahan, rotan dan bambu sulit bersaing dengan kayu yang telah lama mendominasi pasar.
Selain tantangan bahan baku, struktur pasar ekspor furnitur Indonesia juga menjadi perhatian. Amerika Serikat masih menjadi tujuan utama dengan porsi 53,6% dari total ekspor pada periode Januari-November 2024.
Ketergantungan yang terlalu besar pada satu negara ini membuat industri furnitur Indonesia rentan terhadap perubahan kebijakan perdagangan, fluktuasi ekonomi, hingga preferensi konsumen yang dapat berubah sewaktu-waktu.
Sementara itu, negara-negara lain seperti Vietnam, Belanda, Prancis, dan Australia yang saat ini menyerap antara 2,6% hingga 4,3% dari ekspor masih belum tergarap optimal. Jika ekspor tidak segera diperluas ke pasar-pasar baru, guncangan ekonomi di satu negara saja dapat berdampak besar pada industri secara keseluruhan.
Untuk membalikkan tren penurunan ini, industri furnitur Indonesia perlu melakukan transformasi yang lebih berani. Keberlanjutan bahan baku harus menjadi prioritas utama dengan menerapkan praktik pengelolaan hutan yang lebih bertanggung jawab.
Inovasi dalam desain dan teknologi juga perlu dipercepat agar produk furnitur Indonesia tetap relevan dengan tren pasar global yang semakin mengedepankan estetika modern dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, strategi ekspansi pasar ke negara-negara baru harus digencarkan agar Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada satu negara tujuan ekspor saja.
Dengan tantangan yang ada, jalan menuju kebangkitan industri furnitur memang tidak mudah. Namun, dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, pelaku industri, dan inovator lokal, Indonesia memiliki peluang besar untuk kembali memperkuat posisinya di pasar global. Jika langkah-langkah ini dilakukan secara konsisten, furnitur Indonesia bukan hanya dapat bangkit, tetapi juga menjadi pemimpin dalam industri mebel dunia.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)