Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pemimpin negara memilih kabur di tengah kekacauan politik, ketidakstabilan yang parah, seperti krisis politik, ancaman terhadap keselamatan pribadi, atau tekanan dari kelompok oposisi yang kuat di negaranya. Terakhir adalah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Dalam beberapa kasus, presiden dapat memutuskan untuk meninggalkan negara untuk menghindari kekerasan atau sebagai bagian dari kesepakatan politik untuk meredakan ketegangan. Keputusan ini bisa juga berkaitan dengan pelarian dari potensi pemakzulan atau pencopotan jabatan, atau untuk mencari suaka di negara lain.
Kondisi ini mencerminkan instabilitas politik yang mendalam, yang bisa menandakan perpecahan dalam pemerintahan, kerusuhan sosial, atau bahkan ancaman terhadap sistem pemerintahan yang ada.
Sebagai informasi, Presiden Suriah Bashar al-Assad digulingkan dan tumbang. Ini terjadi setelah 11 hari serangan pemberontak berlangsung di negeri itu.
Pemberontak Suriah yang dipimpin kelompok kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) telah menggulingkan Bashar al-Assad. Ini setelah serangan kilat yang dalam waktu kurang dari dua minggu telah membuat kota-kota besar lepas dari tangan pemerintah, yang berpuncak pada perebutan ibu kota Damaskus oleh pemberontak pada hari Minggu.
Alhasil, Assad bersama anggota keluarga diketahui melarikan diri dan tiba di Moskow, Rusia. Hal ini terungkap dari pemberitaan kantor berita Rusia RIA Novosti dan TASS Minggu, sebagaimana dimuat pula laman Russia Today (RT), Senin (9/12/2024).
Hal sama juga dimuatAFP. Dikatakan bagaimana Bashar al-Assad dan keluarganya berada di Moskow setelah ia meninggalkan negara itu saat pemberontak yang dipimpin Islamis memasuki Damaskus.
Konfirmasi juga dilakukan ke seorang pejabat Barat. Mereka juga mengatakan mereka yakin itu kemungkinan besar terjadi dan tidak punya alasan untuk meragukan klaim Moskow.
Pemimpin Negara yang Keluar dari Tanah Air Mereka
Dilansir dariFirstpost,sepanjang sejarah, kekacauan politik dan sipil telah memaksa banyak pemimpin dunia untuk melarikan diri dari Tanah Air mereka. Berikut ini daftar pemimpin negara tersebut.
1. Bangladesh
Bangladesh mengalami kegoncangan kekuasaan. Hal ini terjadi setelah demonstrasi berjilid-jilid yang dilakukan mahasiswa Negeri Bengali yang akhirnya mendorong Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina untuk kabur ke India.
Pemerintahan Sheikh Hasina sudah berakhir pada Selasa (6/8/2024) setelah 15 tahun tahun terakhir memimpin Bangladesh Sebagai Perdana Menteri (PM). Sebelumnya, wanita kelahiran 28 September 1947 itu sempat menduduki jabatan yang sama pada periode 1996-2001 sehingga total masa kepemimpinannya mencapai 20 tahun.
Berakhirnya era kepemimipinan Hasina terjadi setelah Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin resmi membubarkan parlemen negara itu.
Pembubaran parlemen dilakukan setelah ultimatum yang dikeluarkan oleh koordinator protes mahasiswa yang memaksa pengunduran diri Hasina.
Foto: Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE)
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. (Photo by Indranil MUKHERJEE / AFP)
Berakhirnya era pemerintahan Hasina terjadi setelah gelombang aksi protes yang sangat mencekam akibat para mahasiswa menentang kuota PNS untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh 1971, yang dianggap oleh para kritikus sebagai cara untuk mencadangkan pekerjaan bagi sekutu partai yang berkuasa.
Sekitar 400 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam kekerasan yang melanda negara itu sejak Juli. Diketahui, aksi protes ini telah berlangsung di Bangladesh selama sebulan lebih.
2. Sri Lanka
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, menghadapi protes dan ketidakstabilan publik yang intens dari November 2019 hingga Juli 2022setelah krisis ekonomi yang parah dan membuat negara tersebut berada dalam keadaan terpuruk.
Menurut BBC, negara tersebut mengalami pemadaman listrik harian dan bahkan kekurangan barang-barang dasar seperti bahan bakar, makanan, dan obat-obatan.
Foto: AP/Eranga Jayawardena
FILE- Sri Lankan President Gotabaya Rajapaksa sings the national anthem of Sri Lanka during the country's Independence Day celebration in Colombo, Sri Lanka, Feb. 4, 2022. The president of Sri Lanka fled the country early Wednesday, July 13, 2022, days after protesters stormed his home and office and the official residence of his prime minister amid a three-month economic crisis that triggered severe shortages of food and fuel.(AP Photo/Eranga Jayawardena, file)
Awalnya, Presiden Rajapaksa, bersama dengan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, berusaha mengatasi krisis tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya protes yang semakin keras dan kekerasan, ia terpaksa meninggalkan kediaman resminya. Perjalanannya membawanya ke Maladewa dan kemudian ke Singapura, di mana ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
3. Afghanistan
Ashraf Ghani yang menjabat sebagai Presiden Afghanistan dari September 2014 hingga Agustus 2021 menghadapi tekanan dan ancaman yang semakin meningkat terhadap pemerintahannya khususnya pada 2021.
Serangan Taliban meningakt pada pertengahan 2021 atau mendekati ditariknya pasukan Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2021. Namun, jauh sebelum tanggal tersebut, Kabul dikuasi Taliban.
Foto: Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, menganugerahkan Bintang Kehormatan “Malalai”, kepada Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam Kunjungan Kerja yang dilaksanakan di Kabul, Afghanistan, 1 Maret 2020. (Dok. Kemenlu)
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, menganugerahkan Bintang Kehormatan “Malalai”, kepada Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam Kunjungan Kerja yang dilaksanakan di Kabul, Afghanistan, 1 Maret 2020. (Dok. Kemenlu)
Pada 15 Agustus 2021, Taliban memasuki Kabul dan situasinya berubah menjadi kekacauan dan kepanikan. Kelompok Taliban mendeklarasikan sebagai penguasa Afghanistan pada 15 Agustus 2021 setelah Presiden Ashraf Ghani memilih kabur ke Tajikistan dan meninggalkan pemerintahan yang runtuh.
Ghani melarikan diri dari Afghanistan. Dalam wawancara dengan BBC, mantan presiden tersebut mengungkapkan bahwa dia hanya diberi "waktu tidak lebih dari dua menit" untuk bersiap melarikan diri dari ibu kota. Ia awalnya melarikan diri ke Tajikistan sebelum pindah ke Abu Dhabi di Uni Emirat Arab, di mana ia diberikan suaka.
4. Sudan
Sadiq al-Mahdi, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Sudan dari 1966 hingga 1967 dan terpilih lagi pada dari 1986 hingga 1989. Dia melarikan diri dari negara tersebut selama periode tantangan politik dan ekonomi yang signifikan.
Pemerintahannya menghadapi konflik internal, termasuk perselisihan antara berbagai faksi politik dan kerusuhan sipil yang terus berlangsung.
Pada masa jabatan keduanya, ia membentuk pemerintahan koalisi yang terdiri dari Partai Umma-nya dan Front Islam Nasional yang dipimpin oleh saudara iparnya. Namun, koalisi ini terbukti tidak stabil, dan pada Juni 1989, al-Mahdi digulingkan dalam kudeta militer yang dipimpin oleh Brigadir Omar al-Bashir.
Setelah kudeta, al-Mahdi tinggal dalam pengasingan di beberapa negara dan memimpin oposisi dari luar negeri, sebelum kembali ke negara tersebut pada tahun 2018.
5. Haiti
Jean-Bertrand Aristide, presiden Haiti yang pertama kali terpilih secara demokratis, menghadapi pengasingan selama karir politiknya yang penuh gejolak. Awalnya terpilih pada tahun 1991, Aristide digulingkan dalam kudeta militer pada tahun yang sama dan melarikan diri ke Amerika Serikat (AS). Ia kembali pada tahun 1994 setelah intervensi yang dipimpin oleh AS mengembalikannya ke tampuk kekuasaan.
Masa jabatan kedua Aristide, yang dimulai pada tahun 2001, ditandai dengan ketidakstabilan karena negara menghadapi krisis politik, sosial, dan ekonomi. Pada Februari 2004, di tengah pemberontakan yang kekerasan, ia melarikan diri dari Haiti lagi, awalnya ke Republik Afrika Tengah dan kemudian ke Afrika Selatan. Setelah tujuh tahun dalam pengasingan, Aristide kembali ke Haiti pada tahun 2011.
6. Pakistan
Pervez Musharraf merupakan merebut kekuasaan kepala negara dalam kudeta tahun 1999 dan diangkat sebagai Kepala Eksekutif Pakistan. Kemudian, mantan jenderal bintang empat itu menjabat sebagai Presiden Pakistan dari tahun 2001 hingga 2008.
Kekuatan melemah pada 2007. Hal ini diakibatkan keputusannya pada 3 Oktober yang membekukan konstitusi dan menetapkan keadaan darurat yang membuatnya mendapatkan jabatan baru sebagai Kepala Militer. Ia juga bahkan mencopot Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry,
Beberapa pihak menilai hal ini dilakukan Musharraf karena kepentingan pemilihan Presiden. Diketahui, Pakistan saat itu akan melaksanakan pemilihan presiden pada 6 Oktober.
Foto: Pervez Musharraf, mantan Presiden Pakistan, membahas volatilitas kawasan, di atas panggung di The Hay Festival pada 30 Mei 2010 di Hay-on-Wye, Wales. (Getty Images/David Levenson)
Pervez Musharraf, mantan Presiden Pakistan, membahas volatilitas kawasan, di atas panggung di The Hay Festival pada 30 Mei 2010 di Hay-on-Wye, Wales. (David Levenson/Getty Images)
Ini kemudian memicu protes besar di seluruh wilayah Negeri Ali Jinnah itu. Tak hanya di dalam negeri, sederet negara besar dunia juga mengecam manuver yang dilakukan Musharraf.
Kegentingan politik pun berlanjut pada 2008. Karena status darurat yang diterapkannya, Musharraf memutuskan untuk menggelar pemilihan presiden pada tanggal 8 Januari 2007.
Tetapi situasi politik Pakistan justru mendapatkan guncangan. Pasalnya, di Desember 2007, Mantan Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto mendapatkan serangan bom dan tembakan hingga dirinya meninggal.
Ini pun mengakibatkan beberapa lembaga negara Pakistan mengadakan pemilu pada tanggal 18 Februari 2008. Dan di pemilihan itu, Musharraf kehilangan jabatannya.
Setelah tidak menjabat lagi, beberapa pihak pun mencoba untuk membawa Musharraf ke pengadilan atas tudingan prosedur yang tidak benar dalam menerapkan status darurat. Akibat hal ini, Musharraf pergi ke pengasingan di London pada 2008.
Di 2013, Musharraf kembali ke Pakistan. ini membuatnya kemudian ditangkap oleh otoritas berwenang. Pada 2014, ia diizinkan keluar untuk pengobatan.
Pada 2016, nama Musharraf dihapuskan dari daftar cekal dan pindah ke Dubai. Ia beralasan kepindahannya ini dikarenakan alasan kesehatan.
Di tahun 2019, Sebuah pengadilan khusus di Pakistan telah menghukum mati Musharraf atas tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi dan menumbangkan konstitusi.
meninggal dunia di pengasingannya di Dubai, 5 Februari 2023
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)