Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua DPR Komisi XI Misbakhun menjelaskan beberapa hal penyebab IHSG kontraksi, sekaligus klarifikasi fundamental RI yang dinilai masih baik-baik saja.
Misbakhun juga menerangkan bahwa sebenarnya pasar kita tidak pantas untuk dipermainkan sentimen dan persepsi yang jauh dari fundamental ekonomi kita.
"Apa sudah sepantasnya pasar di drive 1 isu ke isu lain, lebih ditopang oleh situasi, tak didasarkan oleh fundamental itu sendiri" ungkap Misbakhun pada acara Capital Market Forum 2025 di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta pada Jumat (21/3/2025).
Berdasarkan itu, Misbakhun menyampaikan beberapa hal baik dari secara global maupun internal yang mempengaruhi IHSG :
Trump Sumber Huru-Hara Dunia
Perkembangan pasar keuangan global, termasuk Indonesia, dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Trump memberikan ketidakpastian baru luar biasa adalah temannya sendiri dijadikan musuh. Meksiko, Eropa yang sejak perang dunia juga dijadikan musuh. Jepang sama diperlakukan walau belum keliatan, tapi Kanada juga dijadikan musuh. Ini menimbulkan ketidakpastian," papar Misbakhun, Kamis (21/3/2025).
Situasi yang diciptakan AS ini membuat ketidakpastian baru dengan mendorong konsumsi, namun inflasi AS tetap tinggi. Di tengah kebijakan Trump ini, situasi ekonomi global belum membaik.
Kondisi pemburukan masih membayangi Eropa pasca-Covid. Selain itu, Uni Eropa sendiri masih menghadapi konflik Ukraina dan Rusia. Sementara itu, China yang terkena efek perang dagang dari Trump berupaya untuk mengalihkan investasi mereka ke negara-negara di sekitar AS, termasuk Meksiko yang tidak mengenakan tarif. Alhasil, Trump ikut menghajar Meksiko karenanya negara ini pun ikut terkena sanksi.
Misbakhun menyampaikan kondisi Jepang pun tidak jauh berbeda. Namun, Jepang masih tertolong dengan investasi mereka di luar negeri.
"Karena mereka mengharapkan investasi asing (di negara lain) maka industri dalam negeri selalu kontraksi, Jepang selalu berharap pertumbuhan dari negara-negara yang mengharapkan investasi," kata Misbakhun.
Ekonomi Optimis Tumbuh 8%
Misbakhun juga menerangkan soal Komisi XI berupaya memperkuat tugas Bappenas dan Kementerian Keuangan, serta BI. Dengan integrasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik, ini akan membangun kepercayaan Indonesia untuk mengejar target pertumbuhan 8%.
Dia pun berharap jangan sampai Indonesia ketinggalan, karena saat ini ekonomi Vietnam sudah mencapai 6% dan akan menuju 7%. Hal yang sama terjadi di ekonomi negara tetangga Indonesia, yakni Filipina.
"Kita pernah konsisten 7%-8% zaman Soeharto. Indonesia butuh pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja," ungkapnya, dalam acara Capital Market Forum 2025, di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025).
Bahkan, pada era Soeharto, ruang fiskal kita terbatas namun semua bisa digerakkan bersama untuk konsolidasi pertumbuhan 7%-8%. Kondisi zaman Soeharto ini membuat Indonesia disegani di mancanegara dan dikenal sebagai macan Asia.
APBN Defisit, Efek Coretax
Kepala Komisi XI Misbakhun buka suara perihal Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang mengalami defisit Rp 31 triliun pada Februari 2025. Defisit fiskal di awal tahun ini sempat memicu sentimen negatif di pasar saham Indonesia.
Dia pun mengungkapkan ada beberapa faktor yang memicu. Salah satunya penurunan dalam penerimaan negara, terutama pajak. Ini terkait dengan permasalahan sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax yang hingga saat ini kerap bermasalah.
"Ada permasalahan Coretex yang belum terdeliver terhadap market. Cortex ini ide yang bagus, teknologi informasi diterapkan sistem pelayanan sehingga terintegrasi . Sejak 1 Januari implementasi ini ada permasalahan teknikal sehingga mengganggu penerimaan pajak dan akses pembayaran pajak," ujar Misbakhun, dalam acara Capital Market Forum 2025, di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025).
Sebagai catatan, realisasi pendapatan negara hancur lebur hingga Februari 2025. Penerimaan pajak bahkan jeblok hingga 30%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Khusus pajak, realisasinya sebesar Rp187,8 triliun.
"Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6% dari target," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Kamis (13/3/2025).
Pendapatan negara hingga Februari terkontraksi hingga 21,48%. Kontraksi ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lau yang hanya 4,52%.
Kontraksi terbesar ada di penerimaan pajak. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak hingga Februari 2025 terkontraksi 30%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu yang hanya terkontraksi 3,93%.
Sementara itu, penerimaan kepabeanan dan cukai masih tumbuh 2,14%.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya Rp 76,4 triliun atau hanya anjlok 4,15%.
Belanja negara dalam dua bulan pertama adalah Rp348,1 triliun atau 9,6% dari target APBN. Pemerintah pusat menghabiskan Rp211,5 triliun dan transfer daerah Rp136,6 triliun.
"Defisit APBN hingga akhir Februari Rp31,2 triliun, masih dalam target design APBN 2,53% PDB," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Kamis (13/3/2025).
Danantara
Berikut-nya, Misbakhun juga buka suara terkait isu Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang menjadi bola api di pasar modal yang membuat saham himbara dan emiten yang masuk dalam portofolio Danantara melemah signifikan.
Misbakhun menjelaskan UU BUMN yang baru disahkan merupakan embrio lahirnya Danantara. Dirinya menyebut sebelum Danantara lahir, mekanisme kepemilikan pemerintah di BUMN masuk ke Menteri Keuangan.
"Sehingga Menkeu menjadi bendahara negara, ada kekayaan negara yang dipisahkan," sebut Misbakhun dalam acara Capital Market Forum 2025, di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025).
Saham pemerintah di Menkeu tersebut lalu dikuasakan pada menteri BUMN.
Saat ini, Misbakhun menyebut pemerintah mengubah skema dan kini diberi nama sebagai Danantara yang mana 99% merupakan investment holding, 1% operating dan 1 lembar saham dwi warna di masing-masing perusahaan BUMN.
"Pemerintah RI tetap sebagai pemilik saham. Dinamakannya saja berbeda," sebut Misbakhun.
Perbaikan Komunikasi Lembaga ke Publik
Terakhir, Misbakhun mengakui, perlu ada perbaikan komunikasi antara pemerintah dengan publik maupun para pelaku pasar keuangan, supaya tidak ada isu yang simpang siur dalam pengelolaan negara ini dan membuat sentimen negatif terus bermunculan.
Ia mengatakan, para mitra Komisi XI DPR seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang seluruhnya tergabung ke dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK perlu kembali memperbaiki pola komunikasinya ke publik.
"Komunikasi harus diperbaiki, kita sadari itu," kata Misbakhun dalam acara Capital Market Forum 2025, di Gedung BEI, Jakarta (21/3/2025).
Misbakhun meyakini, bila otoritas fiskal, moneter, pengawas dan penjamin sismpanan lembaga-lembaga jasa keuangan itu kembali jelas komunikasinya, terbuka, dan jujur terhadap data yang dimiliki, stabilitas ekonomi akan tetap terjaga baik sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.
"Kalau mereka masing-masing bergiliran memberikan info kepada masyarakat, kebetulan Komisi XI mitranya Menkeu, BI, LPS, OJK, kita minta menyampaikan hal-hal yang positif tanpa menyembunyikan hal-hal yang menjadi tantangan," tuturnya.
(tsn/tsn)