Jakarta, CNBC Indonesia - Menjalankan bisnis dengan menegakkan etika ESG (Environmental, Social, dan Governance) tak lagi menjadi pilihan tapi mengarah kepada kewajiban.
Perubahan iklim yang ekstrem, kesadaran generasi muda, hingga pesatnya teknologi membuka mata dunia akan pentingnya bisnis yang beretika.
Keberhasilan bisnis kemudian tidak hanya diukur dari besarnya keuntungan tetapi juga bagaimana perusahaan bisa memberikan dampak sosial dan ekonomi yang luas kepada masyarakat serta bertanggung jawab.
Generasi Milenial dan Gen Z kini lebih sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan kesalahan praktik perusahaan. Ditambah dengan media sosial, generasi-generasi ini telah membangkitkan gelombang aktivisme digital yang dapat dengan cepat mengungkapkan praktik buruk terkait lingkungan yang dapat dengan mudah dilihat oleh siapa saja.
Kesadaran sosial ini dan transparansi yang lebih besar mendorong banyak konsumen yang menggunakan kekuatan daya beli mereka untuk memberikan penghargaan atau hukuman kepada perusahaan yang tidak memenuhi komitmen ESG.
Foto: Banjir di Kendal pada Senin (20/1) melanda 6 kecamatan, berdampak pada 3.366 jiwa, 450 orang mengungsi, dan merendam 1.065 rumah serta fasilitas umum. (Dok. BPBD Kab.Grobogan/BNPB)
Banjir di Kendal pada Senin (20/1) melanda 6 kecamatan, berdampak pada 3.366 jiwa, 450 orang mengungsi, dan merendam 1.065 rumah serta fasilitas umum. (Dok. BPBD Kab.Grobogan/BNPB)
Banyak investor kini juga mewajibkan untuk memberikan kontrak dan lisensi kepada perusahaan yang memiliki rekam jejak kuat dalam inisiatif ESG.
Semakin banyak pula modal ventura dan dana ekuitas swasta, melalui tekanan dari mitra terbatas seperti dana pensiun, kini melihat ESG dalam bisnis untuk berbagai alasan.
Inovasi pada produk yang ramah lingkungan juga sudah ikut merevolusi industri.
Contohnya adalah bagaimana inovasi kendaraan listrik yang diciptakan Tesla memaksa perusahaan-perusahaan besar seperti General Motors untuk akhirnya menciptakan lini kendaraan listrik mereka sendiri.
Perusahaan pun kini memandang prinsip ESG sebagai investasi jangka panjang.
Seiring dengan perubahan sikap global terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab perusahaan, perusahaan juga kini menyadari bahwa mengadopsi praktik ESG dapat membantu mendorong keunggulan kompetitif organisasi, memperkuat operasi, dan mengurangi risiko.
Prinsip dan etika ESG mengacu pada tiga sasaran utama, yakni:
1. E dalam ESG adalah kriteria environmental atau lingkungan
Mencakup energi yang digunakan perusahaan dan limbah yang dikeluarkannya, sumber daya yang dibutuhkan, dan dampaknya terhadap makhluk hidup akibatnya.
E juga mencakup emisi karbon dan perubahan iklim.
Kriteria lingkungan juga mencakup penggunaan energi perusahaan, manajemen limbah, pengendalian polusi, konservasi sumber daya alam, dan perlakuan terhadap hewan.
Kriteria ini mengevaluasi risiko lingkungan yang mungkin dihadapi perusahaan dan bagaimana perusahaan mengelola risiko tersebut. Di antaranya adalah upaya perusahaan mengurangi limbah dan polusi, emisi gas rumah kaca, pencegahan deforestasi, dan penanggulangan perubahan iklim.
2. S, kriteria sosial
Berfokus pada hubungan yang dimiliki perusahaan dan reputasi yang dibangunnya dengan orang-orang dan lembaga di komunitas tempat perusahaan beroperasi.
S mencakup hubungan tenaga kerja dan keberagaman serta inklusi.
Kriteria sosial menilai bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawan, pemasok, pelanggan, dan komunitas tempat perusahaan beroperasi.
Contohnya adalah bagaimana perusahaan mendonasikan sebagian dari keuntungannya untuk komunitas lokal atau proyek tanggung jawab sosial perusahaan.
3. G, governance atau tata kelola
Mencakup sistem internal praktik, kontrol, dan prosedur yang diadopsi perusahaan untuk mengatur dirinya sendiri, membuat keputusan yang efektif, mematuhi hukum, dan memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan eksternal.
Tata kelola berhubungan dengan bagaimana perusahaan beroperasi di tingkat tertinggi, termasuk pengambilan keputusan, keterlibatan politik, dan etika. Ini termasuk kebijakan etikda dan anti-korupsi.
Perusahaan mampu menjamin suatu organisasi menggunakan metode akuntansi keuangan yang akurat dan transparan serta memungkinkan pemangku kepentingan untuk memberikan suara pada isu-isu penting.
Termasuk dalam tata kelola adalah bagaimana perusahaan menghindari konflik kepentingan dalam pemilihan anggota dewan, memiliki kebijakan anti-korupsi dan suap yang kuat, menjaga keberagaman dewan dalam hal usia, jenis kelamin, dan latar belakang profesional, tidak menggunakan kontribusi politik untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya, dan menghindari praktik ilegal.
Praktek ESG di Indonesia
Di Indonesia, ESG (Environmental, Social, and Governance) dengan cepat menjadi perhatian utama setelah pemerintah menyatakan komitmennya untuk mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development Goals/SDGs) PBB pada 2030.
SDGs yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertujuan mencapai pembangunan berkelanjutan pada 2030 dengan mengakhiri kemiskinan, melindungi planet, dan memastikan bahwa setiap orang menikmati kedamaian dan kemakmuran.
Melalui publikasi "Peta Jalan SDGs: Indonesia" oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Pemerintah Indonesia secara resmi mengukuhkan komitmennya dan menjadikan pencapaian 17 SDGs sebagai prioritas nasional yang melibatkan semua lapisan masyarakat Indonesia, termasuk sektor bisnis dan ekonomi.
Foto: Sejumlah anak antre untuk menerima makanan pada dapur umum pengungsian di Rafah, Selatan Jalur Gaza, Senin (5/2/2024). (REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa)
Sejumlah anak antre untuk menerima makanan pada dapur umum pengungsian di Rafah, Selatan Jalur Gaza, Senin (5/2/2024). (REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa)
Ke-17 tujuan tersebut di antaranya:
- No poverty (tanpa kemiskinan)
2. Zero hunger (tanpa kelaparan)
3. Good health and well-being (kehidupan sehat dan sejahtera)
4. Quality education (pendidikan berkualitas)
5. Gender equality (kesetaraan gender)
6. Clean water and sanitation (air bersih dan sanitasi)
7. Affordable and clean energy energi bersih dan terjangkau)
8. Decent work and economic growth (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi)
9. Industry, innovation, and infrastructure (industri, inovasi, dan infrastruktur)
10. Reduced inequalities (kesenjangan yang berkurang)
11. Sustainable cities and communities (kota dan permukiman yang berkelanjutan)
12. Responsible consumption dan production (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab)
13.Climate action (penanganan perubahan iklim)
14. Life below water (ekosistem kelautan)
15. Life on land (ekosistem daratan)
16. Peace, justice, and strong institutions (perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh)
17. Partnerships for the goals (Kemitraan untuk mencapai tujuan)
Penerapan ESG di Indonesia makin digalakkan terutam bagi mereka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Data BEI mencatata sebanyak 882 perusahaan tercatat atau 94% dari jumlah perusahaan tercatat di BEI telah menerbitkan Sustainability Report untuk tahun pelaporan 2023.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan berkat laporan keberlanjutan ini investor di pasar modal mulai melihat aspek keberlanjutan dan ESG dari perusahaan tercatat sebelum menentukan keputusan investasi.
Dengan adanya ESG Reporting, diharapkan ke depan dapat mendorong jumlah, kualitas informasi, dan transparansi perusahaan tercatat dalam penyampaian data terkait ESG serta keberlanjutan.
"Penerapan ESG metric reporting kami sangat harapkan dapat mendatangkan investor asing dalam mengelola aspek ESG sehingga memetakan dengan cepat proses decision-makingnya," ungkap Nyoman saat acara peluncuran ESG reporting, di Gedung BEI, Jakarta, Rabu, (22/1/2025).
Sebagai bagian dari perbaikan pelaksanaan ESG, BEII baru saja meluncurkan ESG Reporting yang tergabung pada sistem Sarana Keterbukaan Informasi Bagi Perusahaan Tercatat (SPE-IDXnet) melalui form E020 terkait Laporan Tahunan dan Laporan Keberlanjutan.
Awal Konsep ESG
Konsep ESG berasal dari 'Triple Bottom Line' (TBL), yang juga dikenal sebagai 'People, Planet, and Profits' (PPP), yang diperkenalkan pada 1990-an.
Ide dibalik TBL adalah bahwa bisnis harus memprioritaskan ketiga 'P'-People, Planet, dan Profits-karena masing-masing sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang.
Dalam ekonomi, Triple Bottom Line (TBL) menyatakan bahwa perusahaan harus berkomitmen untuk fokus pada masalah sosial dan lingkungan sebesar fokus mereka dalam keuntungan.
Teori ini berawal pada 194 saat John Elkington-konsultan manajemen terkenal asal Inggris dan pakar keberlanjutan-menciptakan frasa "triple bottom line" sebagai cara untuk mengukur kinerja di dunia bisnis Amerika. Ide di baliknya adalah bahwa sebuah perusahaan dapat dikelola dengan cara yang tidak hanya menghasilkan uang tetapi juga meningkatkan kehidupan orang dan kesejahteraan planet.
- Keuntungan (Profit): Ini adalah ukuran tradisional dari laba perusahaan-laporan laba rugi (P&L).
Di antaranya adalah perusahaan harus memastikan bahwa pendapatannya diperoleh dengan cara yang etis dan adil. Memastikan perusahaan membayar pajak pendapatan tepat waktu.
- Orang (People): mengukur sejauh mana perusahaan bertanggung jawab sosial sepanjang sejarahnya.
Di antaranya memastikan pekerja menerima upah yang adil di lingkungan yang aman yang mendorong pengembangan profesional. Memastikan pelanggan memiliki akses yang adil terhadap produk dan umpan balik mereka mengenai kesetaraan atau keamanan diperhitungkan.
- Planet: mengukur sejauh mana perusahaan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Foto: dok CNBC Indonesia ESG Sustainability Forum 2025
CNBC Indonesia ESG Sustainability Forum 2025
(mae/mae)