Executive Order: Perintah Sakti Presiden Amerika yang Ditunggu Dunia

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden terpilih Donald Trump akhirnya resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 mulai Senin (20/1/2025) pukul 12:00 waktu AS dan pada hari ini menjadi hari perdananya menjabat sebagai Presiden AS.

Setelah itu, Trump langsung menandatangani sejumlah perintah eksekutif (executive order) pertamanya pada hari pelantikannya sebagai presiden AS.

Trump meneken beberapa perintah eksekutif tersebut sebelum jamuan makan siang pelantikan pada Senin sore waktu Washington. Melalui perintah eksekutifnya, dia juga menunjuk puluhan pejabat tingkat kabinet dan pejabat pelaksana di seluruh pemerintahan, sambil menunggu konfirmasi Senat atas nominasi Kabinet Trump.

Berikut Daftar Lengkap Perintah Eksekutif Pertama Donald Trump

Apa itu Perintah Eksekutif atau Executive Order?

Meskipun Konstitusi AS secara jelas mengartikulasikan instrumen kepresidenan yang lazim seperti veto dan pengangkatan, kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya datang dari pembacaan yang tersirat.

Presiden AS telah lama menafsirkan klausul Pasal 2 Konstitusi - seperti "kekuasaan eksekutif dilimpahkan kepada Presiden" dan "dia harus mengawasi agar undang-undang dilaksanakan dengan setia", untuk memberi mereka kewenangan penuh untuk menegakkan hukum melalui cabang eksekutif, dengan cara apa pun yang diperlukan.

Salah satu cara utama yang mereka lakukan adalah melalui perintah eksekutif, yang merupakan arahan tertulis presiden kepada lembaga-lembaga tentang cara menerapkan hukum. Pengadilan menganggapnya sah secara hukum kecuali jika melanggar Konstitusi atau undang-undang yang berlaku.

Perintah eksekutif, seperti tindakan sepihak lainnya, memungkinkan presiden membuat kebijakan di luar proses pembuatan undang-undang biasa.

Hal ini membuat Kongres, yang terkenal terpolarisasi dan menemui jalan buntu, harus menanggapi.

Dengan demikian, perintah eksekutif adalah tindakan sepihak yang memberikan beberapa keuntungan kepada presiden, yang memungkinkan mereka bergerak pertama dan bertindak sendiri dalam pembuatan kebijakan.

Sejarah Penggunaan Perintah Eksekutif

Setiap presiden AS telah mengeluarkan perintah eksekutif sejak pertama kali dikatalogkan secara sistematis pada 1905.

Pada Maret 2016, Trump yang saat itu masih menjadi calon presiden mengkritik penggunaan perintah eksekutif oleh Presiden Obama.

"Perintah eksekutif muncul baru-baru ini. Tidak ada yang pernah mendengar tentang perintah eksekutif. Lalu tiba-tiba Obama - karena tidak ada yang setuju dengannya - mulai menandatanganinya seperti menandatangani mentega," kata Trump. "Jadi, saya ingin menghapus sebagian besar perintah eksekutif."

Namun, hanya sedikit yang benar dalam pernyataan ini.

Obama menandatangani lebih sedikit perintah dibanding pendahulunya, dengan rata-rata 35 perintah per tahun. Trump mengeluarkan rata-rata 55 perintah per tahun.

Berlawanan dengan pandangan umum, presiden AS semakin tidak bergantung pada perintah eksekutif dari waktu ke waktu. Bahkan, presiden modern menggunakan perintah yang jauh lebih sedikit per tahun dengan rata-rata mencapai 59 perintah, dibandingkan dengan presiden sebelum Perang Dunia II, yang rata-rata mengeluarkan 314 perintah.

Perintah eksekutif telah digunakan untuk berbagai hal, mulai dari kebijakan rutin federal di tempat kerja seperti janji etika hingga larangan perjalanan kontroversial tahun 2017 yang membatasi masuknya ke AS.

Mereka telah digunakan untuk mengelola lahan publik, ekonomi, layanan sipil dan kontraktor federal, dan untuk menanggapi berbagai krisis seperti situasi penyanderaan Iran dan pandemi Covid-19.

Presiden sering menggunakannya untuk memajukan agenda terbesar mereka, dengan membentuk gugus tugas atau inisiatif kebijakan dan mengarahkan pembuatan peraturan, proses untuk menerjemahkan undang-undang secara formal menjadi kebijakan yang terkodifikasi.

Berikut ini daftar executive order atau perintah eksekutif dari presiden pertama AS George Washington hingga Joe Biden.

Jika dilihat data di atas, jumlah executive order paling banyak ada di pemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt. Presiden Franklin Roosevelt juga menjadi presiden yang menjabat hingga lebih dari dua periode.

Perintah eksekutif yang dikeluarkan Franklin Roosevelt sebagian besar berkaitan dengan langkah-langkah untuk mengatasi Depresi Besar (Great Depression) dan tindakan AS selama Perang Dunia II.

Di era Roosevelt inilah lahir kebijakan yang bersejarah dan sangat populer "100 Hari Kerja" untuk menangani krisis ekonomi luar biasa dalam sejarah AS.

Beberapa perintah eksekutif benar-benar telah mengubah sejarah, baik menjadi lebih baik maupun lebih buruk.Adapun beberapa perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden

Franklin Roosevelt seperti Proklamasi Emansipasi, penahanan orang Jepang-Amerika, dan Desegregasi Militer.

Keterbatasan Penggunaan Perintah Eksekutif

Pada nyatanya, perintah eksekutif tidak dapat digunakan sekehendak presiden AS. Karena perintah tersebut disertai dengan batasan yang serius.

Pertama, perintah eksekutif mungkin tidak sepihak seperti yang terlihat. Penyusunan perintah melibatkan proses tawar-menawar yang memakan waktu dengan berbagai lembaga yang merundingkan isinya.

Kedua, jika dikeluarkan tanpa kewenangan hukum yang tepat, perintah eksekutif dapat dibatalkan oleh pengadilan, meskipun hal ini jarang terjadi di AS.

Larangan perjalanan Trump menghadapi beberapa tantangan hukum sebelum ditulis sedemikian rupa untuk memuaskan pengadilan. Di sisi lain, banyak perintah awalnya tidak menghadapi pemeriksaan hukum karena mereka hanya meminta lembaga untuk bekerja dalam kewenangan mereka saat ini untuk mengubah kebijakan penting seperti perawatan kesehatan dan imigrasi.

Kongres merupakan hambatan lain, karena mereka memberi presiden kewenangan hukum untuk membuat kebijakan di bidang tertentu.

Dengan menahan kewenangan tersebut, Kongres dapat mencegah presiden mengeluarkan perintah eksekutif mengenai isu-isu tertentu. Jika presiden tetap mengeluarkan perintah tersebut, pengadilan dapat membatalkannya.

Para legislator juga dapat menghukum presiden karena mengeluarkan perintah eksekutif yang tidak mereka sukai dengan menyabotase agenda legislatif dan nominasi mereka atau menghentikan pendanaan program mereka.

Bahkan Kongres yang terpolarisasi dapat menemukan cara untuk memberi sanksi kepada presiden atas perintah eksekutif yang tidak mereka sukai. Misalnya, sebuah komite dapat mengadakan sidang pengawasan atau meluncurkan penyelidikan, di mana keduanya dapat menurunkan peringkat persetujuan publik terhadap presiden.

Kongres masa kini diperlengkapi untuk memberlakukan batasan-batasan ini dan mereka melakukannya lebih sering pada pemerintahan yang berseberangan secara ideologis.

Inilah sebabnya mengapa para cendekiawan menemukan bahwa presiden modern mengeluarkan lebih sedikit perintah eksekutif di bawah pemerintahan yang terbagi, bertentangan dengan narasi media populer yang menyajikan perintah eksekutif sebagai cara presiden untuk menghindari Kongres.

Terakhir, perintah eksekutif bukanlah kata terakhir dalam kebijakan. Perintah eksekutif dapat dengan mudah untuk dicabut.

Presiden baru sering kali membatalkan perintah sebelumnya, terutama perintah lawan politik. Presiden Joe Biden misalnya, dengan cepat mencabut arahan Trump yang mengecualikan imigran tidak berdokumen dari Badan Sensus AS.

Semua presiden baru-baru ini telah mengeluarkan pencabutan, terutama pada tahun pertama mereka menjabat. Namun, mereka menghadapi hambatan dalam melakukannya, termasuk opini publik, Kongres, dan batasan hukum.

Bagaimanapun, perintah eksekutif tidak sekuat undang-undang atau peraturan.

Perbedaan Executive Order dengan Presidential Memoranda

Executive order atau perintah eksekutif hanyalah salah satu dari beberapa kewenangan eksekutif yang dimiliki seorang presiden AS. Setidaknya, ada tiga macam kewenangan eksekutif di AS, yakni executive order, presidential memoranda, dan proclamation.

Yang kerap disebut media soal executive order oleh Trump bukan benar-benar hanya executive order semata, melainkan ada juga presidential memoranda.

Executive order yang pernah dikeluarkan oleh Trump, misalnya seperti perintah pembangunan tembok di perbatasan selatan AS. Sedangkan, presidential memoranda yang pernah diterbitkan Trump, seperti penarikan diri AS dari Trans-Pacific Partnership.

Penyebutan keduanya sering disederhanakan sebagai executive action, sebuah kebijakan ekesekutif presiden.

Executive order hampir sama dengan presidential memoranda. Keduanya memiliki kekuatan hukum, dikeluarkan presiden sebagai kepala dari cabang eksekutif pemerintahan kepada agensi administrasi federal.

Meski memiliki kekuatan hukum yang sama dengan produk hukum legislasi, keduanya tidak memerlukan persetujuan Kongres untuk diberlakukan.

Maka dari itu, executive order dan presidential memoranda kerap jadi pilihan presiden untuk menghemat waktu atau ketika tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari kongres lewat langkah legislasi yang biasa.

Meskipun demikian, tetap ada perbedaan antara executive order dan presidential memoranda.

Setiap executive order yang ditandatangani oleh presiden didaftarkan pada Federal Register, catatan resmi setiap kebijakan pemerintah AS. Sedangkan Presidential memoranda tidak memerlukan langkah ini.

Executive order harus mengidentifikasi diri bahwa kebijakan tersebut memiliki induk kebijakan dari mana, apakah dari konstitusi ataukah dari sebuah produk hukum. Executive order juga harus menyatakan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Sedangkan Presidential memoranda tidak harus melakukan hal tersebut, kecuali biaya yang dikeluarkan melebihi US$ 100 juta.

Walaupun memiliki kekuatan hukum yang mengikat, baik executive order maupun presidential memoranda dapat dibatalkan kedudukannya. Setidaknya, ada dua cara membatalkan hal tersebut.

Pertama adalah bisa dibatalkan oleh presiden AS selanjutnya. Hal tersebut memungkinkan karena apabila sebuah pemerintahan tidak menyukai executive order yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, ia dapat menghapus executive order tersebut.

Selain itu, executive order juga merupakan subjek dari judicial review, di mana Mahkamah Agung AS mampu menghapuskannya apabila dinyatakan inkonstitusional.

Sebenarnya, selain dua mekanisme tersebut, kongres AS juga mampu menahan eksekusi executive order tersebut, dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mempersulit pendanaan perintah presiden tersebut.

Kongres AS juga mampu mengamandemen hukum yang menjadi dasar executive order tersebut, membuat executive order presiden tidak relevan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research