Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan masih akan tetap stabil dalam beberapa tahun mendatang. Indonesia bahkan diperkirakan hanya kalah dari India soal pertumbuhan ekonomi dalam daftar negara di G20.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)baru saja merilis laporan economic outlook 2024 dan untuk beberapa tahun mendatang.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global diproyeksikan akan sedikit menguat menjadi 3,3% pada 2025 dan tetap stabil pada tingkat ini hingga 2026. Di negara-negara ekonomi OECD, pertumbuhan PDB diproyeksikan akan moderat jika dibandingkan dengan periode pra-pandemi, yaitu sebesar 1,9% pada 2025 dan 2026.
Inflasi yang rendah, pertumbuhan lapangan pekerjaan yang stabil, dan kebijakan moneter yang lebih longgar akan membantu menopang permintaan, meskipun ada beberapa hambatan ringan akibat pengetatan kebijakan fiskal yang diperlukan di banyak negara.
Di negara-negara non-OECD, pertumbuhan agregat juga diperkirakan akan tetap stabil secara umum di sekitar laju saat ini, dengan Asia yang sedang berkembang terus menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan global.
Kendati pertumbuhan ekonomi global cukup stabil, namun tetap ada risiko penurunan signifikan terhadap proyeksi OECD ini.
Contohnya adalah ketegangan geopolitik yang tinggi tetap menjadi risiko penting dalam jangka pendek, terutama jika konflik yang berkembang di Timur Tengah semakin memburuk dan menimbulkan risiko terhadap keamanan pasokan minyak dari wilayah tersebut.
Kenaikan tajam harga minyak yang tak terduga akibat ketegangan geopolitik akan meningkatkan inflasi global secara substansial dan memengaruhi kepercayaan serta pertumbuhan, terutama di negara-negara pengimpor minyak.
Ketidakpastian kebijakan perdagangan telah meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir, menambah kekhawatiran yang ditimbulkan oleh peningkatan jumlah langkah pembatasan impor yang diterapkan oleh ekonomi utama. Peningkatan lebih lanjut dalam pembatasan perdagangan global akan menambah harga impor, meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan, dan mengurangi standar hidup konsumen.
Kejutan perlambatan ekonomi (kontraksi) atau penyimpangan dari jalur disinflasi juga dapat dapat memicu koreksi yang mengganggu di pasar keuangan dan turbulensi dalam arus modal atau nilai tukar di ekonomi pasar berkembang.
Kerentanannya keuangan juga tetap ada akibat tingkat utang yang tinggi, valuasi aset yang membengkak, dan menurunnya kualitas kredit beberapa peminjam, termasuk di pasar properti komersial. Skala dan saling keterhubungan lembaga keuangan non-bank yang kurang diatur juga meningkatkan potensi terjadinya guncangan negatif yang dapat dengan cepat menyebar di berbagai segmen pasar.
Ekonomi RI Gak Kemana-Mana
Dalam laporannya OECD, pertumbuhan PDB diproyeksikan sebesar 5,1% pada 2024, 5,2% pada 2025, dan 5,1% pada 2026. Permintaan domestik terus didorong oleh konsumsi rumah tangga, dan pertumbuhan investasi akan menguat dalam dua tahun mendatang.
Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan target Presiden Prabowo Subianto yang memiliki target untuk mencapai pertumbuhan ekonomi mencapai 8% selama dirinya menjabat. Target ini cukup ambisius, dengan rincian dalam lima tahun target yang ditetapkan antara lain, 5,7% di 2025, 6,4% di 2026, lalu 7% pada 2027, kemudian 7,5% di 2028 dan, 8% di 2029.
Dibandingkan negara lainnya dalam daftar G20, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dasarnya cukup tinggi atau dengan kata lain hanya kalah dari India yang diperkirakan mampu tumbuh mendekati angka 7%. Sementara China, Rusia, dan Turki masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 4,9%, 3,9%, dan 3,5% pada 2024.
Inflasi utama diperkirakan akan mencapai 2,3% pada 2024 dan tetap sekitar nilai tersebut pada 2025 dan 2026, yang berada dalam kisaran target bank sentral (1,5-3,5%).
Defisit neraca berjalan diperkirakan akan melebar, tetapi aliran investasi asing langsung (FDI) tetap kuat dan cadangan internasional tetap tinggi. Penurunan lebih lanjut dalam permintaan global terhadap komoditas dapat memperlebar defisit neraca berjalan dan mengurangi pendapatan fiskal.
Apabila dilihat lebih dalam, salah satu faktor utama pendorong PDB Indonesia adalah melemahnya konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sekitar 53% dari total PDB.
Konsumsi pemerintah meningkat pesat pada paruh pertama 2024, dengan lonjakan transfer dan subsidi menjelang pemilihan pada Februari. Investasi tumbuh secara moderat selama periode yang sama, namun tampaknya mulai meningkat baru-baru ini. Ekspor dan impor tumbuh pesat pada paruh pertama 2024.
Indikator kedatangan dan pengeluaran turis mendekati level tertinggi pra-pandemi. Tingkat pengangguran turun menjadi 4,8% pada kuartal pertama tahun 2024, di bawah rata-rata pra-pandemi sebesar 5%. Setelah lonjakan kecil pada awal 2024 akibat harga makanan yang tinggi, inflasi utama telah menurun, dari 3% pada April menjadi 1,7% pada Oktober. Kepercayaan bisnis meningkat, dan belanja konsumen tetap kuat.
Lebih lanjut, peningkatan kepercayaan bisnis dan konsumen, pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi, dan suku bunga yang lebih rendah akan mendukung permintaan domestik dan pertumbuhan pada 2025 dan 2026.
Surplus perdagangan diperkirakan akan menyusut, sebagian disebabkan oleh impor yang lebih tinggi. Permintaan domestik yang kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat diproyeksikan akan memberikan tekanan pada inflasi inti dan inflasi utama, tetapi harga barang impor seharusnya tetap moderat, dan inflasi utama diperkirakan akan berada sedikit di bawah 2,5% pada 2025-2026.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)