Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara Eropa semakin berlomba untuk meningkatkan anggaran pertahanan di tengah kondisi geopolitik yang tidak stabil.
Beberapa pemimpin Uni Eropa berpendapat bahwa rencana penguatan pertahanan yang telah diajukan masih belum cukup, mengingat meningkatnya ketegangan geopolitik di dunia. Ketegangan di Rusia-Ukraina ataupun konflik Timur Tengah belum juga usai pada tahun ini. Belum lagi, kebijakan tariff Donald Trump memicu ketegangan baru dengan rekan dagangnya.
Paket ReArm Europe, yang diumumkan bulan ini, mencakup investasi besar dalam industri pertahanan, termasuk pinjaman sebesar € 150 miliar atau sekitar Rp 2.713 triliun ( i€ = Rp 18.093) untuk negara anggota yang ingin meningkatkan kemampuan militer mereka.
Namun, ada seruan untuk meningkatkan investasi lebih jauh, karena beberapa pemimpin percaya bahwa Uni Eropa perlu mempercepat pembangunan industri pertahanannya dan mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat dalam hal keamanan.
Dilansir dari CNBC International, Komisi Eropa, sebagai badan eksekutif Uni Eropa, bulan ini mengusulkan langkah-langkah yang dapat menghasilkan investasi pertahanan baru senilai € 800 miliar (US$867 miliar) atau sekitar Rp 14.474 triliun. Rencana ini masih membutuhkan persetujuan dari berbagai ibu kota negara anggota UE, tetapi telah mendorong kenaikan saham perusahaan pertahanan di Eropa sejak diumumkan.
Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, menyatakan bahwa langkah ini adalah "langkah penting ke arah yang benar," tetapi menambahkan bahwa "mungkin kita perlu lebih ambisius."
Rencana yang disebut ReArm Europe ini mencakup pinjaman sebesar € 150 miliar, yang dapat diakses oleh negara anggota untuk berinvestasi dalam kemampuan pertahanan dan keamanan. Namun, dana ini hanya akan tersedia jika setidaknya 65% dari biaya produksi dilakukan di UE, Norwegia, atau Ukraina.
Usulan ini juga mencakup relaksasi sementara aturan fiskal Uni Eropa untuk memungkinkan negara anggota menggunakan dana publik guna memperkuat pertahanan nasional. Selain itu, pinjaman dari European Investment Bank (EIB) juga akan tersedia bagi negara anggota yang ingin meningkatkan belanja pertahanan mereka.
Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis menyambut baik fleksibilitas fiskal tambahan yang diberikan kepada negara anggota untuk meningkatkan belanja pertahanan. Namun, ia menekankan bahwa rencana ini seharusnya tidak hanya berfokus pada pinjaman, tetapi juga perlu mempertimbangkan fasilitas pinjaman bersama yang menawarkan hibah bagi negara anggota.
Nada serupa juga disampaikan oleh Perdana Menteri Latvia, Evika Siliņa, yang menegaskan bahwa negaranya mendukung penguatan pertahanan Eropa dan menyarankan agar Uni Eropa mengeksplorasi lebih banyak sumber daya keuangan untuk mendukung industri militer, termasuk mengurangi beban administratif.
Anggaran Pertahanan 2024 Melonjak
Pada 2024, pengeluaran pertahanan global mencapai US$ 2,46 triliun, meningkat dari US$$ 2,24 triliun pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan komitmen negara-negara di seluruh dunia untuk memperkuat kemampuan pertahanan mereka di tengah situasi geopolitik yang semakin kompleks.
Berdasarkan data dari International Institute of Strategic Studies, Amerika Serikat (AS) menjadi negara dengan anggaran pertahan tertinggi sedunia yakni sebesar US$968 miliar atau sekitar Rp 15.875 triliun atau Rp15,87 kuadriliun (kurs Rp16.400/US$).
China berada di peringkat kedua dengan anggaran pertahanan sebesar US$235 miliar. Namun, jika disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP), nilainya melonjak menjadi US$477 miliar, mengingat biaya di China lebih rendah. Modernisasi militer China saat ini mencakup 600 hulu ledak nuklir operasional, yang diproyeksikan mencapai 1.000 pada tahun 2030, seiring dengan meningkatnya fokus negara tersebut terhadap reunifikasi dengan Taiwan.
Rusia memiliki anggaran pertahanan terbesar ketiga di dunia, sebesar US$146 miliar, atau 6% dari total pendapatan nasionalnya, persentase tertinggi sejak Perang Dingin. Seperti China, jika dihitung dengan PPP, angka ini meningkat menjadi US$461 miliar. Saat ini, arsenal nuklir Rusia menyaingi Amerika Serikat dengan 5.000 hulu ledak nuklir, meskipun ekonomi negara tersebut tergolong menengah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)