Jakarta, CNBC Indonesia - Pajak jadi salah satu instrumen kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mendongkrak penerimaan suatu wilayah atau negara. Lewat pajak, negara menarik uang dari rakyat atas transaksi, kepemilikan aset atau barang, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, tagihan pajak seringkali membuat masyarakat menjerit. Namun, ada satu wilayah di Indonesia yang bisa memperoleh pendapatan melimpah tanpa menarik pajak dari rakyat. Wilayah itu bernama Palembang.
Hanya saja, kejadian ini tak terjadi pada masa sekarang, melainkan sekitar 244 tahun lalu atau tahun 1700-an. Kala itu, pengelana William Marsden dalam History of Sumatra (1966) saat tiba di Sumatra, menyoroti Kesultanan Palembang di bawah kuasa Sultan Baddaruddin yang menjadi salah satu kesultanan terkaya.
Namun, Marsden juga melihat kekayaan tersebut bukan diperoleh dari pungutan pajak, seperti kerajaan-kerajaan pada umumnya. Para bangsawan dan rakyat malah punya kebiasaan enggan membayar pajak kepada kesultanan.
Keengganan rakyat dan bangsawan membayar pajak tak membuat risau pihak kesultanan. Pasalnya, mereka mendapat pendapatan melimpah bukan berkat pajak, tapi dari proses perdagangan lada dan timah.
Sejak VOC eksis pada 1602, lada Palembang menjadi primadona dunia seiring meningkatnya kebutuhan akan rempah tersebut di Eropa. Sejarawan Barbara W. Andaya dalam Hidup Bersaudara: Sumatera Tenggara pada Abad 17-18 (2016) menyebut, VOC sangat bernafsu untuk menguasai kontrak dagang lada dengan Kesultanan Palembang.
Nafsu ini kemudian mengantarkan pada kesuksesan VOC menguasai monopoli perdagangan lada di Palembang. Ketika hal ini terjadi, praktis kesultanan Palembang dan para pedagang lada lokal memperoleh banyak uang dari perdagangan.
Meski begitu, monopoli lada oleh VOC pada akhirnya juga tak berjalan aktif, sebab terjadi perdagangan liar oleh masyarakat yang menjual lada ke pihak lain di luar VOC.
Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2004) mencatat, hal ini disebabkan karena pertumbuhan pasar lada melonjak. Plus mereka juga sudah merasakan kenikmatan penjualan lada.
Selain lada, Palembang juga menjual timah yang diperoleh dari Bangka. Timah di masa kolonial digunakan untuk pembuatan logam dan persenjataan. Setiap tahun, penjualan kepada Belanda mencapai 1.250 ton per tahun.
Berkat kesuksesan perdagangan lada dan timah, Kesultanan Palembang dan masyarakatnya pun sangat kaya raya. Banyak dari mereka memiliki perhiasan. Kesaksian Alfred Russel Wallace yang berkunjung ke Palembang pada 1861 jadi salah satu buktinya.
Kala itu, Wallace melihat banyak perempuan dan anak-anak menggunakan perhiasan perak di beberapa bagian tubuh.
"Istri dan anak-anak mereka dipakai dengan gelang perak dari pergelangan tangan hingga siku. Mereka juga membawa lusinan gelang perak yang dikalungkan di leher atau digantung di telinga mereka," ungkap Wallace dalam The Malay Archipelago (1869).
Beranjak dari sejarah Kesultanan Palembang, maka suatu wilayah sebenarnya bisa kaya raya tanpa memungut pajak dari rakyat. Kuncinya keberhasilan perdagangan komoditas lokal.
(mfa)
Saksikan video di bawah ini: