Jakarta, CNBC Indonesia - Minat warga Indonesia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih tinggi di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, terkhusus simpanan berjangka yang memberikan imbal hasil besar.
Bank Indonesia (BI) hari ini, Jumat (23/12/2024) telah melaporkan angka uang beredar dalam arti luas (M2) pada November 2024 sebesar Rp9.175,8 triliun atau tumbuh sebesar 7% (year on year/yoy). Pertumbuhan uang beredar lebih tinggi dari bulan sebelumnya 6,8% (yoy).
Kenaikan pertumbuhan ini tidak hanya terjadi pada M2, namun juga angka Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya.
Per November 2024, DPK tumbuh sebesar 6,3% yoy. Angka ini lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh 6% yoy.
Total simpanan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi yakni dari 6% yoy pada Oktober menjadi 6,3% pada November 2024. Jika dilihat lebih dalam, giro menjadi opsi menarik bagi nasabah dengan jumlah DPK giro yang mengalami kenaikan yakni dari Rp2.530,4 triliun (Oktober) menjadi Rp2.605,9 triliun (November) atau tumbuh dari 5,5% yoy menjadi 8,4% yoy.
Sementara pertumbuhan tabungan dan simpanan berjangka cenderung mengalami penurunan masing-masing dari 7,5% yoy dan 5,2% yoy menjadi 6,6% yoy dan 4,3% yoy.
Peningkatan giro ini terjadi dalam bentuk rupiah, sedangkan dalam bentuk valas justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa nasabah baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) dan badan usaha serta institusi tampak sedang bersiap-siap untuk melakukan aksi transaksi besar-besaran dalam bisnis atau usahanya dalam beberapa waktu ke depan.
Kondisi kali ini berbanding terbalik dengan periode November 2023 yang justru giro dalam bentuk rupiah justru mengalami penurunan, sedangkan dalam bentuk valas justru mengalami peningkatan.
Di lain sisi, jumlah simpanan berjangka dalam bentuk valas juga mengalami kenaikan yakni dari Rp353,6 triliun (Oktober) menjadi Rp356,4 triliun (November). Begitu pula dengan pertumbuhannya yang mengalami kenaikan dari 12,9% yoy (Oktober) menjadi 15,3% yoy (November).
Dengan semakin meningkatnya simpanan berjangka valas, maka hal ini menunjukkan semakin tingginya minat masyarakat untuk memanfaatkan momen penguatan dolar AS sepanjang Oktober, November, hingga 20 Desember 2024. Investor bisa mendapatkan cuan dari dua hal, yakni imbal hasil dari simpanan berjangka dolar AS maupun capital gain karena dolar AS yang terus menguat atau rupiah melemah.
Apresiasi dolar AS ini terjadi khususnya pasca Donald Trump menang dalam pemilu AS melawan Kamala Harris. Dengan terpilihnya Trump, maka AS tak ragu untuk menerapkan tarif perdagangan tinggi.
Hal ini membuat potensi inflasi AS mengalami kenaikan semakin besar dan terbatasnya ruang bagi bank sentral AS (The Fed) untuk menurunkan suku bunganya dalam jumlah besar di tahun depan sehingga rupiah cenderung tertekan setidaknya dalam jangka pendek.
Terakhir, hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) bank sentral AS (The Fed) pekan lalu menunjukkan bahwa proyeksi pemangkasan suku bunga The Fed 2025 hanya sebesar 50 basis poin (bps), angka ini lebih rendah dibandingkan proyeksi September lalu yang memperkirakan terjadi cut rate sebesar 100 bps pada 2025.
"Dengan langkah hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami." ujar Chairman The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat.
Lebih lanjut, pejabat Fed menunjukkan dua pemotongan lagi pada 2026 dan satu lagi pada 2027. Dalam jangka panjang, komite memandang suku bunga "netral" berada pada 3%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan pembaruan September, karena tingkat ini secara perlahan meningkat sepanjang tahun ini (3% vs 2,9%).
Foto: Dot Plot Matrix (Desember 2024)
Sumber: The Fed
Sebagai informasi, dilansir dari Refinitiv, rupiah tampak terkoreksi 3,67% sepanjang Oktober dan 0,96% pada November 2024.
Bahkan pada 19 Desember 2024 lalu, rupiah tampak ambruk 1,24% ke angka Rp16.285/US$. Posisi ini merupakan yang terburuk sejak 30 Juli 2024.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)