Jakarta, CNBC Indonesia - Tak terasa tinggal dua hari perdagangan saja bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai penghujung 2024.
Pergerakan IHSG akhir-akhir terbilang masih loyo. Sampai Selasa lalu (24/12/2024), IHSG terkoreksi 0,43% dalam sehari ke posisi 7065,75.
Koreksi tersebut memperdalam depresiasi selama seminggu terakhir sebesar 1,29% dan menyusut 3,40% sebulan ini. Bahkan, sejak awal tahun IHSG masih turun 2,85%.
Sejauh ini, IHSG masih minim katalis positif. Secara teknikal, pergerakan-nya masih potensi bergerak konsolidasi, bahkan masih ada potensi terkoreksi lagi dan menguji support kuat di level 6700, sementara resistance masih berada di 7495 sampai dengan level psikologis 7500.
Foto: Tradingview
Pergerakan IHSG secara teknikal daily
Ada beberapa faktor yang membuat iHSG sulit menguat, mulai dari prospek penurunan suku bunga yang melambat pada tahun depan, kekhawatiran terhadap debt ceiling AS dihapus, sampai outflow asing yang terus berlanjut.
CNBC Indonesia merangkum beberapa hal yang masih menjadi tantangan bagi IHSG :
1. Prospek Penurunan Suku Bunga Melambat
Tantangan bagi IHSG datang dari Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) dan Bank Indonesia (BI) yang senada mengatakan prospek penurunan suku bunga akan melambat pada tahun depan.
BI pada tahun ini hanya sekali saja menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada September lalu menjadi 6%.
Sementara the Fed sudah menurunkan suku bunga tiga kali sepanjang tahun ini, tetapi mengeluarkan dot plot yang memproyeksikan penurunan suku bunga tahun depan hanya dua kali saja atau sebanyak 50 bps.
Hal tersebut membuat pelaku pasar normalize ekspektasi yang sebelumnya memperkirakan penurunan suku bunga bisa mencapai empat kali. Perubahan ekspektasi ini membuat pasar menilai bahwa risiko suku bunga tinggi masih akan bertahan lebih lama.
2. Trump Berulah Lagi, Potensi Debt Ceiling Dihapus
Risiko berikutnya datang dari ulah Trump yang mengatakan potensi menghapuskan debt ceiling.
Debt Ceiling singkatnya merupakan jumlah maksimal utang yang bisa ditarik oleh pemerintah AS melalui penerbitan obligasi.
Jika batas maksimal ini dihapus, maka utang AS bisa tanpa batas. Sebagai informasi, debt ceiling ini selalu naik sejak 1917, sudah lebih dari 100 kali.
Foto: REUTERS/Leah Millis/
FILE PHOTO: U.S. President Donald Trump talks about banning devices that can be attached to semiautomatic guns to make them automatic, during a Public Safety Medal of Valor Awards Ceremony at the White House in Washington, U.S., February 20, 2018. REUTERS/Leah Millis/File Photo
Penyesuaian terakhir dilakukan per Juni 2023 di level US$ 31 triliun dan bertahan hingga awal 2025. Padahal utang AS masih lanjut naik mencapai US$ 36 triliun per Desember 2024. Artinya, pemerintah AS harus menggerus kas negara untuk membiayai operasional pemerintahannya.
Jika debt ceiling ini terus naik, obligasi AS akan terus dicetak. Artinya supply meningkat yang membuat yield US Treasury akan terus naik. Imbasnya, yield SBN RI akan sulit turun, kemungkinan bakal bertahan di atas 7%.
Dengan yield yang tinggi, ini akan membuat minat investor beralih ke obligasi dibandingkan saham, mengingat risiko-nya lebih konservatif.
Rupiah Merana Terhadap Dolar AS
Yield yang tinggi membuat indeks dolar AS (DXY) terbang, bahkan ke atas level 108. Kekuatan the greenback ini berdampak bagi mata uang Garuda yang ikut loyo.
Rupiah jelang akhir tahun ini masih merana terhadap dolar AS yang bertahan di level Rp16.000/US$.
Jika rupiah terus melemah, risiko terhadap imported inflation bisa meningkat lantaran pelaku bisnis impor mengalami pembengkakan beban yang mengharuskan-nya menaikkan harga jual untuk bertahan.
Outflow Asing Masih Berlanjut
Outflow dari asing juga masih terus berlanjut. Pada hari terakhir sebelum Natal, IHSG mengalami penjualan bersih dari asing mencapai Rp230,17 miliar, dari pasar reguler sebanyak Rp238,58 miliar, sementara pasar nego dan tunai masih net buy Rp8,40 miliar.
Dalam sehari tersebut ada beberapa saham big caps yang ramai dilego asing, mulai dari PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) sebanyak Rp49,06 miliar, PT GoTo Gojek Indonesia Tbk (GOTO) Rp37,16 miliar, PT Astra International Tbk (ASII) Rp33,94 miliar, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk Rp22,12 miliar, dan PT Petrosea Tbk (PTRO) Rp20,66 miliar.
Jika ditarik lebih jauh, dalam sebulan ini di pasar reguler asing masih jual bersih Rp10 triliun, bahkan sejak awal tahun atau year-to-date (YTD) net sell foreign mencapai Rp28,68 triliun.
Daya Beli Masyarakat Belum Pulih
Terakhir, dari dalam negeri polemik soal kenaikan tarif PPN jadi 12% dan berbagai beban-beban lainnya yang akan dihadapi tahun depan dinilai masih menjadi tantangan bagi daya beli masyarakat.
Dari sisi level konsumsi rumah tangga saja, selama tiga kuartal tahun ini terus tumbuh di bawah 5%. Per kuartal III-2024 saja, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91% (yoy). Membuat laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya 4,95%.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro, yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan era periode pertama Jokowi bahkan menegaskan, daya beli masyarakat sudah nampak jelas tengah jatuh.
Bambang mengatakan, untuk melihat data sebenarnya daya beli masyarakat bisa merujuk pada realisasi kondisi ekonomi pada kuartal III-2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, kuartal III-2024 bisa menjadi acuan dalam melihat daya beli sesungguhnya masyarakat RI karena tidak ada faktor musiman yang menolong angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
"Jadi sebenarnya kalau saya melihat turunnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi dari di atas 5% menjadi di bawah 5% itu sebenarnya tanda yang clear bahwa ada potensi pelemahan daya beli," kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia.
Bambang menganggap, data konsumsi rumah tangga saat tidak adanya faktor musiman bisa mencerminkan kondisi riil daya beli masyarakat karena memang pertumbuhan ekonomi Indonesia paling dominan ditopang konsumsi rumah tangga, dengan porsi mencapai 53,08%.
Data ini pun, kata Bambang, diperburuk dengan jelasnya data penurunan jumlah kelas menengah. Sebagaimana diketahui, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
"Kombinasi itulah dari menurunnya kelas menengah dan masih tingginya aspiring middle class dan near poor yang mengindikasikan ada kemungkinannya pelemahan konsumsi. Kalau daya beli kita melemah otomatis konsumsi juga melemah," ucap Bambang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)