Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street kemungkinan masih akan jatuh pada hari ini, Senin (7/4/2025). Tanda kejatuhan ini tercermin dari aktivitas bursa saham Futures.
Bursa saham Futures AS pada Minggu malam (6/4/2025) ambles.
Bursa Futures indeks Dow Jones Industrial Average turun 1.531 poin, atau 4%, mengindikasikan adanya kemungkinan sesi perdagangan yang brutal pada hari ini, Senin. Futures S&P 500 turun 4%. Futures Nasdaq-100 juga anjlok 4%.
Sebagai catatan, bursa saham Futures masih buka setelah pasar regular tutup pada Jumat (4/4/2025).
Futures indeks saham seperti Dow Jones Futures, S&P 500 Futures, atau Nasdaq-100 Futures sering digunakan investor untuk memprediksi arah pasar sebelum pasar reguler buka, melindungi portofolio mereka dari volatilitas, serta spekulasi arah pasar.
Sebagai catatan bursa Wall Street hancur lebur pada akhir pekan lalu:
Ini mengikuti kejatuhan pasar yang luar biasa untuk menutup pekan sebelumnya:
- Dow dua hari berturut-turut kehilangan lebih dari 1.500 poin untuk pertama kalinya dalam sejarah termasuk penurunan 2.231 poin pada hari Jumat.
- S&P 500 turun 6% dan menjadikan pekan lalu sebagai kinerja terburuknya sejak pandemi Maret 2020. Indeks acuan ini kehilangan 10% dalam dua hari, bahkan jeblok lebih dari 17% di bawah rekor Februari, mendekati ambang pasar bearish sebesar 20%.
- Nasdaq Composite resmi memasuki pasar bearish pada Jumat, turun 22% dari rekor tertingginya setelah penurunan hampir 6% pada hari Kamis dan Jumat.
Hitungan Reuters menunjukkan indeks S&P pada Jumat mencatat kerugian sebesar US$5 triliun atau sekitar Rp 82.775 triliun (US$1= Rp 16.555) akibat menguapnya kapitalisasi pasar atau market cap. Jumlah tersebut menjadi rekor penurunan dua hari terbesar sepanjang sejarah untuk indeks acuan S&P 500, melampaui kerugian dua hari sebesar US$3,3 triliun pada Maret 2020 saat pandemi melanda pasar global.
Ambruknya bursa Futures ambles karena investor tidak mendapatkan kabar baik pada akhir pekan yakni bahwa pemerintahan Donald Trump melakukan negosiasi dengan negara-negara untuk menurunkan tarif, atau paling tidak, mempertimbangkan untuk menunda pemberlakuan tarif timbal balik yang direncanakan mulai berlaku 9 April.
Sebaliknya, presiden dan para penasihat utamanya justru meremehkan aksi jual pasar.
Trump memposting di Truth Social pada Sabtu agar masyarakat tetap kuat dan menyebut ini sebagai "revolusi ekonomi.". Sementara itu, Menteri Perdagangan Howard Lutnick mengatakan kepada CBS News bahwa tarif tidak akan ditunda.
"Tarif itu akan diterapkan... dan akan tetap berlaku selama beberapa hari atau bahkan minggu." Ujarnya.
Menteri Keuangan Scott Bessent menyampaikan kepada NBC News bahwa lebih dari 50 negara telah menghubungi pemerintahan untuk bernegosiasi, namun ia memperingatkan:
"Mereka sudah lama bertindak tidak fair, dan ini bukan hal yang bisa dinegosiasikan dalam hitungan hari atau minggu." Katanya.
Investor awalnya terkejut dengan besarnya tarif yang diterapkan terhadap mitra dagang. Terlebih, formula tarif tampaknya didasarkan pada formula yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam teori ekonomi yang mapan.
Situasi semakin buruk ketika Tiongkok pada hari Jumat memilih untuk membalas terlebih dahulu, bukan bernegosiasi, dengan mengenakan tarif 34% atas seluruh impor dari AS.
"Hari Pembebasan Trump pada Rabu lalu memicu hari-hari kehancuran pada Kamis dan Jumat, dengan para penjaga pasar saham ('vigilante') memberikan penilaian negatif yang mahal terhadap rezim tarif Trump," tulis Ed Yardeni, Presiden dan Kepala Strategi Investasi di Yardeni Research, dalam catatannya kepada klien pada Minggu, dikutip dari CNBC Indonesia.
Tarif Trump Bisa Picu Lingkaran Setan
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa setidaknya 50 negara telah menghubungi untuk memulai negosiasi, Kanada dan Uni Eropa justru berencana mengikuti langkah Tiongkok dan sedang mempersiapkan tarif balasan terhadap Amerika Serikat. Menurut Trump, Vietnam telah menawarkan untuk menurunkan tarif impor barang dari AS menjadi nol, namun sejauh ini mereka tampaknya menjadi pengecualian.
Kekhawatiran semakin meningkat di Wall Street bahwa aksi jual besar-besaran ini akan menjadi bola salju di mana hedge fund terpaksa menjual saham dan aset berisiko lainnya untuk mengumpulkan uang tunai demi memenuhi margin call.
Ada juga kekhawatiran bahwa penurunan cepat pasar saham akan menciptakan lingkaran setan yang menghantam daya beli konsumen Amerika Serikat bahkan sebelum dampak tarif benar-benar terasa.
"Anjloknya harga saham sejak Hari Pembebasan meningkatkan kemungkinan efek kekayaan negatif yang akan menekan pengeluaran konsumen, yang pada gilirannya meningkatkan risiko resesi, dan itu pada akhirnya akan semakin menekan harga saham," kata Yardeni.
Sementara itu, harga Bitcoin juga ambles. Bitcoin jatuh di bawah $80.000 pada Minggu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)