Jakarta, CNBC Indonesia - Tarif resiprokal menjadi pembicaraan hangat setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan akan memberlakukan tarif resiprokal kepada mitra dagangnya.
Trump pada Rabu (2/4/2025) mengumumkan AS akan memberlakukan tarif resiprokal atau timbal balik kepada mitra dagangnya minimal 10%, tergantung pada kondisi surplus/defisit.
Tarif dasar 10% akan mulai berlaku pada 5 April 2025 yang akan dikenakan pada sebagian besar barang impor dari hampir semua negara, kecuali Kanada dan Meksiko.
Tarif resiprokal tambahan akan mulai berlaku pada 9 April 2025 dan ditujukan kepada negara-negara tertentu yang dianggap memiliki praktik perdagangan tidak adil.
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menyeimbangkan hubungan dagang dan melindungi industri domestik AS. Namun, kebijakan ini juga memicu respons dari negara mitra dagang, seperti Tiongkok yang membalas dengan mengenakan tarif 34% pada barang-barang AS
Apa Tarif Resiprokal?
Dalam aktivitas ekspor-impor, tarif disebut juga dengan istilah customs, duties, atau charges dan dikenakan atas suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas territorial. Ada banyak pungutan dari pajak, cukai, hingga bea impor pada barang yang diimpor.
Dalam praktek perdagangan internasional, tidak jarang sebuah negara memberikan tarif tinggi kepada barang tertentu dari negara lain. Ada banyak tujuan dari pemberlakuan tersebut seperti melindungi industri dalam negeri, mengurangi defisit, hingga mencegah dumping ataupun karena tujuan politik.
Tarif yang tinggi ini bisa memicu tarif balasan yang lebih tinggi dari negara yang bersangkutan. Banyak negara biasanya akan berunding demi mencapai kesepakatan dagang agar tarif bisa diperkecil.
Jika tidak tarif balasan atau resiprokal biasanya akan diberikan. Saling perang tarif terakhir yang paling ramai adalah pada 2018-2019 di mana China dan AS menjadi tokoh sentral di dalamnya.
Lalu apa itu tarif timbal balik atau resiprokal?
Tarif timbal balik atau resiprokal adalah pajak atau pembatasan perdagangan yang dikenakan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai respons terhadap tindakan serupa yang dilakukan oleh negara tersebut.
Tujuan utama dari tarif timbal balik adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara.
Misalnya, jika suatu negara menaikkan tarif atas barang dari negara lain, maka negara yang terkena dampak dapat membalas dengan memberlakukan tarif terhadap barang impor dari negara pertama.
Tujuan & Dampak
Langkah ini bertujuan untuk melindungi bisnis lokal, menjaga lapangan kerja, dan memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan.
Namun, tarif timbal balik juga bisa memicu perang dagang, yaitu saling balas menaikkan hambatan perdagangan yang pada akhirnya dapat merugikan kedua pihak.
Hal ini bisa mengganggu rantai pasok, menaikkan harga bagi konsumen, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi negara-negara untuk berkomunikasi secara terbuka dan menyelesaikan masalah perdagangan lewat dialog, bukan lewat kebijakan tarif balasan.
Tarif timbal balik bertujuan untuk menciptakan perdagangan yang adil dengan memastikan bahwa tidak ada negara yang mengalami keuntungan atau kerugian yang tidak seimbang dalam hal tarif yang dikenakan atas barang mereka.
Tarif timbal balik juga dapat digunakan sebagai alat dalam negosiasi perdagangan atau untuk mendorong negara lain mengurangi atau menghapus tarif atas ekspor negara tersebut.
Tarif ini dapat melindungi industri lokal dengan membuat produk impor menjadi kurang kompetitif dibandingkan produk dalam negeri.
Namun, tarif timbal balik bisa menyebabkan kenaikan harga atas barang impor tertentu, yang pada akhirnya membatasi pilihan konsumen dan meningkatkan biaya hidup.
Bagaimana Tarif Resiprokal Terjadi?
Jika suatu negara mengenakan tarif tinggi atas ekspor negara lain, maka negara yang terdampak bisa menerapkan tarif yang sama sebagai respons. Misalnya, jika Negara A mengenakan tarif 10% terhadap barang dari Negara B, maka Negara B juga dapat mengenakan tarif 10% terhadap barang dari Negara A.
Sejarah Tarif Timbal Balik
Konsep tarif timbal balik muncul pada abad ke-19 ketika negara-negara mulai menggunakan tarif untuk melindungi industri dalam negeri dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tarif timbal balik sering diwujudkan dalam bentuk perjanjian dagang timbal balik, di mana negara-negara sepakat untuk menurunkan atau menghapus tarif secara bersama.
Contoh awal yang terkenal adalah Perjanjian Cobden-Chevalier pada1860 antara Inggris dan Prancis, yang memangkas tarif secara signifikan dan meningkatkan kerja sama ekonomi.
Pada awal abad ke-20, kebijakan tarif timbal balik menjadi lebih menonjol dengan diberlakukannya Smoot-Hawley Tariff Act di Amerika Serikat pada 1930, yang menaikkan tarif pada banyak barang impor. Banyak negara kemudian membalas dengan tarif mereka sendiri, yang memperburuk kondisi ekonomi selama Depresi Besar.
Setelah Perang Dunia II, tarif timbal balik menjadi bagian penting dalam negosiasi perdagangan internasional. Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) dibentuk pada tahun 1947 untuk menurunkan tarif dan mendorong perdagangan bebas melalui kesepakatan timbal balik.
Dalam beberapa tahun terakhir, tarif timbal balik kembali menjadi topik hangat dalam perdagangan global.
Contohnya, pada 2018/2019, pemerintahan Trump memberlakukan tarif atas impor dari mitra dagang utama seperti China, dengan alasan praktik dagang yang tidak adil dan perlunya melindungi industri AS. Negara-negara yang terkena dampak kemudian membalas dengan tarif mereka sendiri, memicu ketegangan dagang.
Tarif Resiprokal Trump
Trump menghitung pengenaan tarif resiprokal dengan sederhana yakni menghitung surplus/defisit AS ke negara mitra kemudian dibagi dengan total impor ke AS.
Dalam catatan Departemen Perdagangan AS, Amerika membukukan defisit sebesar US$ 17,9 miliar pada 2024 dengan Indonesia. Impor AS dari Indonesia tercatat sbesar US$ 28,1 miliar. Tarif impor kepada barang AS = 17,9 X 100% = 63,7%
28,1
Angka tersebut kemudian dibulatkan menjadi 64%. Padahal, hitungan tarif impor jauh lebih rumit daripada itu. Tarif impor akan menghitung banyak faktor mulai dari tariif preferensi yang memperhitungkan kesepakatan perjanjian dagang, cukai dan bea masuk, hingga hambatan dagang. Apa Saja Tarif Impor
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, pajak atas barang impor adalah pajak yang dikenakan atas barang atau jasa yang masuk ke suatu negara.
Ada sejumlah pajak yang dikenakan dari barang impor, yakni:
1) Bea Masuk
Bea masuk adalah pajak yang dikenakan atas barang yang masuk ke suatu negara. Besaran bea masuk ini berbeda-beda tergantung pada jenis barang dan negara asalnya.
Ada barang yang dikecualikan dari bea masuk yaitu barang yang masuk ke Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
Berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan, tarif bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif advalorem (persentase) atau tarif spesifik, atau kombinasi keduanya.
Tarif spesifik merujuk pada tarif bea masuk yang dikenakan berdasarkan satuan barang. Besaran tarif akan disebutkan per satuan barang. Tarif ini dikenakan pada gula dan beras.
Sementara itu, tarif Ad Valorem adalah bea masuk yang dikenakan berdasarkan persentase tarif tertentu dari harga barang.
Dalam perhitungan tarif bea masuk juga dilihat mengenai tarif preferensi. Tarif ini memungkinkan sebuah negara mendapat tarif lebih rendah berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.Besaran tarif preferensi berbeda-beda untuk setiap skema kerja sama.
2) Pajak Pertambahan Nilai/PPPN
Tarif PPN yang saat ini berlaku adalah sebesar 11% dari nilai pabean.Penting untuk dicatat bahwa nilai pabean merupakan nilai dasar yang digunakan sebagai dasar perhitungan PPN untuk barang-barang yang diimpor. Tarif PPN sebesar 11% dikenakan ke semua barang yang diimpor, tanpa memandang nominal atau nilai barang tersebut.
3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Pajak ini dikenakan atas barang mewah sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pajak ini dikenakan untuk barang impor dengan nilai lebih dari US$1500. Tarif yang dikenakan bergantung pada jenis dan nominal barang tersebut.
4) Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh Pasal 22 dikenakan atas barang yang memiliki nilai lebih dari US$1.500. Tarif yang diberlakukan didasarkan pada ada tidaknya Angka Pengenal Importir (API), barang yang menggunakan API dikenakan tarif 2,5% dari nilai impor, barang yang dikategorikan sebagai non-API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor, dan barang yang masuk dalam kategori tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% dari harga jual lelang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)