Jakarta, CNBC Indonesia - Aktor Reza Rahardian turut menyampaikan aspirasinya dalam demonstrasi darurat Indonesia di Gedung DPR, Kamis (23/8/2024). Dia turun ke jalan bersama masyarakat menyuarakan protes atas manuver DPR yang hendak mengesahkan RUU Pilkada yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sikap progresif dan kritis Reza bisa dikatakan menurun dari neneknya, Fransisca Fangidaej. Fransisca merupakan satu dari sedikit perempuan Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sayang, dia terusir dari Indonesia dan peran perjuangannya terhapus dalam sejarah akibat kebijakan Presiden Soeharto yang memandang negatif para loyalis Soekarno.
Bagaimana ceritanya?
Fransisca lahir pada 16 Agustus 1925 di Pulau Timor dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej. Dia merupakan anak cukup beruntung sebab ayahnya bekerja dan punya jabatan di salah satu dinas pemerintahan Belanda.
Atas dasar ini, keluarganya cukup dihormati sebab setara dengan orang Belanda yang warga negara kelas satu. Meski begitu, keberuntungan tersebut menimbulkan rasa tidak enak di hati Fransisca. Dia mengamati selama ini ada perbedaan tajam antara dirinya dan rakyat lain, termasuk soal keluarganya yang dianggap superior.
"Ketika melihat orang-orang Jawa yang berjalan jongkok dan bahkan menyembah di depan orang tuaku. Melihat pakaian mereka yang berbeda, dan langsung menyiratkan kedudukan mereka yang inferior di depan busana Eropa kedua orang tuaku," kata Fransisca saat memberi contoh, dikutip dari autobiografinya, Memoar Perempuan Revolusioner (2006).
Sampai akhirnya, dia sadar keberuntungan yang selama ini diperoleh berasal dari sistem kolonialisme. Penyebabnya kala dia melihat ayahnya dihina oleh orang Belanda hanya karena memiliki kulit hitam. Dari sini, dia merasa ada yang tak beres dan memantik pertumbuhan benih-benih perjuangan dari dalam tubuhnya.
Rasa ini kemudian terus diasah dengan berdiskusi bersama para pemuda di Maluku. Saat Indonesia merdeka, benih itu diimplementasikan. Dia kemudian tercatat jadi satu dari sedikit perempuan pejuang kemerdekaan.
Dalam memoarnya diketahui perjuangannya dimulai di Surabaya lewat kelompok pimpinan G. Siwabessy dan Latumeten. Lewat kelompok ini, Fransisca bertugas dari konferensi ke konferensi. Dia tercatat pernah mengikuti Kongres Pemuda pada November 1945 di Yogyakarta. Selain itu dia juga bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO).
Kisah paling heroik dari Fransisca terjadi saat dirinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi pada 1947. Indonesia berada di posisi genting sebab Belanda hendak menjajah kembali. Maka, perjuangan Fransisca di dunia internasional sangat dinanti.
"Rasa bangga meluap-luap di dadaku, menggenggam secarik kertas merang bernama "Paspor" ini. Karena kertas merang yang secarik itu bukan sekadar simbol formalitas untuk melintasi batas kenegaraan, tapi merupakan jatidiri bangsa berjuang yang mengejawantah," kenang Fransisca.
Tercatat, dia pergi ke India dan Cekoslowakia. Di sana Fransisca berbicara tentang proklamasi kemerdekaan dan sebab-sebab kenapa Indonesia harus melawan penjajahan Belanda. Pada akhirnya, perjuangannya berhasil. Belanda mundur dari Indonesia.
Saat pulang kampung, dia kemudian aktif di berbagai organisasi. Selain itu dia juga sempat menjadi anggota parlemen. Soekarno pun mempercayainya sebagai penasihat presiden pada 1964. Dia kerap mendampingi presiden ke luar negeri, termasuk bertemu pemimpin tertinggi negara lain.
Terusir dari RI
Sayang, jejak langkah Fransisca harus terhenti saat terjadi Gerakan 30 September 1965 di Jakarta. Kejadian yang mengubah peta politik dan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto berdampak pada diri Fransisca. Kala itu, dia sedang berada di Chile mewakili negara tapi tak bisa pulang karena Soeharto sudah berkuasa.
Jika memaksakan diri pulang, maka kemungkinan besar dia yang loyalis Soekarno ditangkap. Alhasil, dia terpaksa berada di luar negeri, terkatung-katung tanpa kewarganegaraan sebab status WNI sudah dicabut pemerintah. Dia kemudian menjadi eksil atau orang terasing dari Indonesia, harus ke China dan Belanda.
Dia mengaku, kejadian G30S sama sekali tak pernah terlintas di benaknya. Semua serba tiba-tiba. Bahkan kepergiannya dari Indonesia menimbulkan kepedihan mendalam sebab harus meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Mereka berada di Indonesia seorang diri tanpa uang saku.
Fransisca dan keluarga harus rela tak berkomunikasi puluhan tahun untuk terhindar dari penangkapan rezim Orde Baru. Dia baru kembali ke Indonesia 38 tahun kemudian.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: