Jakarta, CNBC Indonesia - Kejaksaan Agung menetapkan Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan wewenang impor gula. Tom Lembong dianggap telah merugikan negara sekitar Rp400 miliar. Selain Tom, Kejaksaan Agung juga menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis Perusahaan Perdagangan Indonesia sebagai tersangka.
Penetapan kasus tersebut membuka kembali narasi mengenai kondisi memprihatinkan Indonesia. Kini, Indonesia tercatat sebagai salah satu importir gula terbesar di dunia. Totalnya mencapai 5,5 juta ton tahun 2024. Padahal dahulu Indonesia tercatat sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia.
Lantas, sejak kapan Indonesia mengimpor gula?
Perlu diketahui, predikat negara eksportir gula terbesar kedua di dunia berlangsung pada masa kolonial atau saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Sejak periode tanam paksa tahun 1830-1870 dan dilanjutkan pasca UU Agraria dan UU Gula pada 1870, Indonesia selalu surplus gula akibat kebijakan kolonial.
Catatan sejarah mengenai produksi gula Hindia Belanda baru diketahui pada 1885. Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebut, pada tahun itu produksi gula mencapai 380.400 metrik ton. Lalu sepuluh tahun kemudian mencapai 581.600 metrik ton. Dan di penghujung abad ke-19, produksi gula pecah rekor mencapai 744.300 metrik ton.
Gula lantas menjadi komoditas ekspor teratas di Hindia Belanda disusul kopi, teh, karet dan sebagainya. Sampai tahun 1930, tercatat ada 180-an pabrik gula di Jawa. Ini baru Jawa, belum di pulau-pulai lain. Dari ratusan pabrik itu, tercatat industri gula Hindia Belanda berhasil memproduksi 3 juta ton per tahun.
Hal ini menjadikan Hindia Belanda sebagai negara pemasok tebu nomor dua di dunia, hanya kalah dari Kuba. Keuntungannya sangat besar. Bahkan, bisa dikatakan, Hindia Belanda tak akan bisa eksis tanpa keuntungan dari industri gula.
Foto: Impor Gula Pasir Ditengah Lonjakan Harga. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Impor Gula Pasir Ditengah Lonjakan Harga. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Akhirnya Impor
Sayang, masa keemasan industri gula berakhir ketika pendudukan Jepang tahun 1942. Pembumihangusan pabrik gula oleh Belanda membuat produksi gula menurun. Penurunan ini terus berlanjut ke era kemerdekaan.
Namun, menghidupkan kembali industri gula tak mudah. Harga sewa tanah yang tak naik dan keengganan petani menggarap tebu menjadi alasannya. Kala itu, petani lebih memilih menanam padi karena lebih cuan.
Presiden Soekarno akhirnya membuat kebijakan Yayasan Tebu Rakyat (Yatra) pada 1953. Menurut Pierre van der Eng dalam Agricultural Growth in Indonesia (1996), Yatra mengorganisasi petani tebu dalam koperasi yang menerima kredit berbunga rendah untuk pembelian bibit tebu dan pupuk serta biaya hidup sampai panen.
Sayang, upaya ini gagal. Petani masih enggan menanam tebu, sehingga pasokan gula berkurang drastis. Sebagai solusi, Soekarno mengeluarkan Perpu No. 38 tahun 1960 yang mengatur penggunaan lahan untuk tebu. Siapapun yang menghalangi bakal dikenakan sanksi.
Namun, lagi-lagi, kebijakan berakhir kegagalan. Produksi gula terus merosot. Akhirnya, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membuka keran impor gula pertama kali dalam sejarah pada 1967.
Dari sini, keran impor terus terbuka. Di era Presiden Soeharto juga sempat ada kebijakan menggenjot produksi gula. Namanya, Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi. Kebijakan yang rilis pada 1975 ini mewajibkan petani menggarap tebu sebagai bentuk wirausaha.
Sekalipun sukses membuat produksi gula meningkat, impor kala itu terus terjadi. Sebab, produksi malah menghasilkan gula berkualitas buruk. Para petani pun menjadi sengsara akibat kebijakan tersebut karena ada unsur pemaksaan. Pada akhirnya, keberlangsungan impor terus berjalan sampai sekarang.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: