Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) menjadi korban dalam perang dagang Presiden AS Donald Trump.
Ketidakpastian perdagangan di global termasuk yang terjadi di Amerika Serikat (AS) membuat kepercayaan dolar AS turun. Mata uang Greenback tidak lagi dianggap sebagai aset aman tetapi malah dibuang.
Dilansir dari Refinitiv, per hari ini, Senin (21/4/2025) pukul 13:14 WIB, indeks dolar AS (DXY) mengalami depresiasi sebesar 1,19% dibandingkan hari sebelumnya (17/4/2025).
Posisi saat ini juga merupakan yang terendah sejak Maret 2022 atau sekitar tiga tahun terakhir.
Indeks dolar mengalami tekanan karena beberapa faktor ekonomi global. Salah satunya adalah ketidakpastian perdagangan yang terus membebani dolar, termasuk kebijakan tarif dan proteksionisme yang memengaruhi kepercayaan investor. Selain itu, data ekonomi AS seperti pemotongan pekerjaan dan defisit perdagangan juga menambah tekanan pada DXY.
Di sisi lain, investor asing cenderung mengalihkan dana mereka ke aset yang dianggap lebih stabil atau menguntungkan, seperti pasar obligasi negara lain atau mata uang alternatif. Penurunan yield obligasi pemerintah AS dan melemahnya status dolar sebagai mata uang cadangan turut berkontribusi pada tren ini.
1. Perang Tarif Lemahkan Ekonomi AS
Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump memiliki dampak yang kompleks terhadap pendapatan Amerika Serikat. Di satu sisi, tarif ini dirancang untuk meningkatkan pendapatan negara dengan mengenakan pajak lebih tinggi pada barang impor, terutama dari negara-negara seperti China, Kanada, dan Meksiko. Pendapatan dari tarif ini memang meningkat, tetapi ada konsekuensi lain yang perlu diperhatikan.
Banyak ekonom memperingatkan bahwa tarif ini juga meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan AS yang bergantung pada bahan baku impor. Akibatnya, biaya tersebut sering kali diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan bahkan memicu inflasi. Selain itu, kebijakan ini memicu balasan dari negara-negara lain, seperti China, yang meningkatkan tarif pada produk AS, sehingga mengurangi daya saing ekspor Amerika.
Ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell menyampaikan bahwa kenaikan tarif yang telah diumumkan sejauh ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan," dan ketidakpastian yang terus berlanjut mengenai tarif dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang bertahan lama.
Dengan tarif-tarif Trump mendorong perekonomian ke arah pertumbuhan yang lebih lemah, pengangguran yang lebih tinggi, dan inflasi yang lebih cepat, semuanya terjadi secara bersamaan. The Fed kini menghadapi situasi yang belum pernah dialami dalam kurun waktu sekitar setengah abad.
"Kita mungkin menghadapi skenario sulit di mana dua tujuan mandat ganda kita saling bertentangan," kata Powell dikutip dari CNN International.
2. Ketakutan Resesi di AS
Ekonomi Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda potensi resesi, yang memicu kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi global. Para ekonom dan pakar keuangan mulai mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resesi serta dampaknya bagi AS maupun ekonomi dunia.
Kendati Trump secara mendadak memutuskan untuk menangguhkan tarif resiprokal selama 90 hari, langkah ini belum banyak membantu memperbaiki prospek ekonomi. Perang dagang yang terus berlanjut dengan China semakin memperburuk kepercayaan dunia usaha dan menambah ketidakpastian ekonomi.
Pada awal April, J.P. Morgan Research menaikkan kemungkinan terjadinya resesi di AS pada tahun 2025 menjadi 60% dan proyeksi ini tetap dipertahankan meskipun ada perkembangan terbaru terkait tarif. "Kebijakan ekonomi AS tampaknya semakin bergeser, mungkin tanpa sengaja, dari mendukung ekspansi saat ini," kata Bruce Kasman, Kepala Ekonom Global di J.P. Morgan.
Ia juga menyoroti kekhawatiran jangka panjang: "Kebijakan perdagangan yang terus-menerus restriktif dan arus imigrasi yang menurun bisa menimbulkan biaya pasokan yang bertahan lama, yang pada akhirnya menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi AS dalam jangka panjang," tutupnya.
Selain JPMorgan, Reuters melakukan survei terhadap para ekonom dengan hasil bahwa kemungkinan terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan kini mendekati 50%.
Para analis menilai bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan, disertai dengan tekanan pada dunia usaha dan konsumsi, menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi yang lebih dalam.
3. Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Di tengah dilema Powell, survei dari CME FedWatch Tool menunjukkan potensi The Fed untuk menurunkan suku bunganya di tahun ini mengalami kenaikan yakni dari yang awalnya sekitar 50 basis poin (bps) menjadi 100 bps.
Foto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool
Perkiraan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat dapat mengurangi daya tarik dolar AS sebagai aset investasi, karena penurunan imbal hasil investasi, nilai tukar yang lebih lemah dibandingkan mata uang lainnya, kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi AS dan mengurangi kepercayaan investor terhadap dolar, serta diversifikasi portofolio oleh investor global ke aset yang lebih stabil seperti emas.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)