Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia akan dipengaruhi oleh beragam sentimen dari rilis data-data ekonomi penting dari dalam maupun luar negeri pada pekan depan, mulai dari pelantikan Presiden Donald Trump hingga keputusan suku bunga bank sentral China.
Namun yang sangat ditunggu-tunggu yakni pelantikan Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 pada periode 2025-2029. Berikut sentimen pasar pekan depan:
1. Pelantikan Trump Sebagai Presiden AS ke-47
Pada Senin besok, Presiden Terpilih AS Donald Trump akan kembali ke Gedung Putih dan akan dilantik sebagai Presiden ke-47 AS untuk periode 2025-2029.
Upacara pelantikan akan berlangsung di Gedung Kongres AS (US Capitol) pada pukul 12.00 waktu setempat, seperti dilansir situs resmi Senat AS.
Pelantikan presiden ke-47 AS ini sekaligus kedua kalinya bagi Trump. Dia sebelumnya menjabat sebagai presiden pada 2017-2021.
Sebelumnya, Trump telah memenangkan kontestasi politik melawan Kamala Harris pada November 2024 silam.MelansirBBC, presiden AS tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh electoral college atau dewan pemilih.
Penjabat yang menduduki electoral college inilah yang dipilih langsung oleh rakyat AS.
Pasar menanti kebijakan yang akan dilakukan oleh Trump di pemerintahannya empat tahun kedepan, mulai dari kebijakan tarif pajak, kebijakan deportasi, dan kebijakan lainnya.
Pada hari pertamanya menjabat, Trump berencana menyerukan deportasi massal imigran tidak berdokumen; mengeluarkan kebijakan tarif besar, yang menurut para ekonom dapat berdampak drastis dan merugikan pada ekonomi AS; serta pengampunan bagi terdakwa yang didakwa dalam serangan di Gedung Capitol AS pada 6 Januari 2021.
MengutipNBC NewsTrump menjadikan imigrasi sebagai inti dari kampanyenya tahun 2024. Seperti yang dilakukannya selama kampanye sebelumnya, ia berulang kali bersumpah untuk mendeportasi migran tidak berdokumen.
"Pada hari pertama, saya akan meluncurkan program deportasi terbesar dalam sejarah Amerika untuk mengeluarkan para penjahat," kata Trump selama rapat umum di New York City pada 27 Oktober, beberapa hari sebelum pemilihan.
Menurut perkiraan federal, pada tahun 2022, jumlah migran tidak berdokumen yang tinggal di AS mencapai hampir 11 juta. Namun jumlah pastinya tidak diketahui.
Bahkan yang ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar dan masyarakat di dunia yakni berakhirnya perang Rusia-Ukraina. Salah satu janji Trump yang paling berani adalah bahwa ia dapat mengakhiri perang di Ukraina dalam waktu 24 jam setelah menjabat - atau bahkan sebelumnya.
"Itu adalah perang yang sangat ingin diselesaikan. Saya akan menyelesaikannya bahkan sebelum saya menjadi presiden," kata Trump dalam debat bulan September dengan Wakil Presiden Kamala Harris di Philadelphia.
"Saya mengenal [Presiden Ukraina Volodymyr] Zelenskyy dengan sangat baik, dan saya mengenal [Presiden Rusia Vladimir] Putin dengan sangat baik. Saya memiliki hubungan yang baik dan mereka menghormati presiden Anda, oke, mereka menghormati saya. Mereka tidak menghormati Biden," imbuh Trump.
Dalam sambutannya kepada pers di Mar-a-Lago pada Januari, Trump ditanya kapan ia berencana untuk bertemu dengan Putin guna membahas diakhirinya perang Ukraina. Namun Trump mengatakan bahwa tidak pantas untuk mengadakan pertemuan tersebut sebelum pelantikannya pada tanggal 20 Januari.
2. Dampak Trump Jabat Presiden AS Lagi Bagi Pasar Keuangan Indonesia
Tentunya, Trump akan lebih memperhatikan negaranya sendiri yakni AS. Pada periode pertama menjabat yakni 2017-2021, berbagai kebijakan ia ambil dan memberikan pengaruh besar terhadap global termasuk Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian ketika Trump menjabat sebagai Presiden AS untuk kedua kalinya atau periode Trump 2.0, mulai dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury/UST) yang melonjak menjelang pelantikan, dolar AS yang semakin perkasa, adanya potensi perang dagang yang lebih masif, dan lain-lainnya.
Yield Treasury AS (UST) tenor 10 tahun meningkat hingga mencapai 4,8% pada 13 Januari 2025, terutama karena kenaikan dalam premium term yield, yang mencerminkan kekhawatiran pasar atas potensi defisit di bawah pemerintahan Trump.
Kenaikan imbal hasil UST ini memengaruhi pasar global, termasuk Indonesia.
Dengan imbal hasil yang begitu tinggi, maka imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun pun terancam mengalami peningkatan. Hal ini diperlukan agar pasar keuangan domestik memiliki daya tarik tersendiri bagi investor asing.
Tidak hanya itu, imbal hasil Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berpeluang meningkat tajam, bahkan untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan sudah bergerak di atas 7%.
"Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, 12 bulan. Tanggal 10 Januari tercatat naik berada masing-masing 7,06%, 7,1% dan 7,23%. Sementara itu, imbal jasil SBN per 14 Januari 2025, meningkat 6,98% dan 7,25% sehingga tetap menjaga daya tarik imbal hasil instrumen keuangan domestik di tengah ketidapkpastian global," papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, Rabu (15/1/2025).
Imbal hasil yang tinggi memang dapat memberikan daya tarik dan alhasilinflowke pasar keuangan domestik, namun perlu dicatat bahwa dengan imbal hasil yang tinggi, maka pemerintah maupun BI perlu membayarkanreturnyang cukup besar kepada investor. Hal ini akan menjadi beban bagi keuangan pemerintah maupun BI.
Selain itu, Kemenangan Donald Trump melawan Kamala Harris dalam pemilu AS juga membuat indeks dolar AS/DXY semakin melambung tinggi karena pasar menilai dengan kemenangan Trump maka inflasi akan semakin sulit ditekan khususnya karena barang impor ke AS yang akan dikenakan tarif lebih tinggi sehingga berujung pada keseluruhan harga barang di AS menjadi lebih mahal.
Indeks dolar saat ini berada di level 109 lebih atau tertinggi sejak November 2022.
Ketika inflasi tak dapat ditekan ke level yang lebih rendah dan menemui target The Fed di angka 2%, maka The Fed tampak akan membiarkan suku bunga berada di level yang cukup tinggi di waktu yang lebih lama atau dengan kata lain bahwa pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih sulit terjadi.
Di saat pemangkasan suku bunga minim terjadi di 2025, maka rupiah tampaknya masih berpeluang terus tertekan setidaknya di awal tahun ini. Hal ini tercermin dari pergerakan rupiah yang terus terkoreksi sejak 5 November 2024 hingga 16 Januari 2025.
Dilansir dariRefinitiv, pada 5 November 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di angka Rp15.730/US$. Namun pada 16 Januari 2025, rupiah sudah bertengger di level Rp16.355/US$.
Namun yang dikhawatirkan, perang Dagang 'season' 2 presiden AS Donald Trump sepertinya akan segera dimulai. Meski Trump baru akan dilantik awal 2025, ia sudah mengumumkan akan menjatuhkan sanksi kenaikan tarif impor ke tiga negara, salah satunya China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Khusus China, ia mengatakan akan memberi tarif tambahan sebesar 10% sementara khusus Kanada dan Meksiko akan ada kenaikan tarif 25%. Hal ini dikatakannya di akun media sosial Truth Social miliknya.
Ekonom Senior, Anny Ratnawati menyoroti dampak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Dimana rencana penerapan tarif impor yang tinggi oleh AS ke China akan berimbas ke perang dagang yang bisa mempengaruhi ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Dimana tekanan ekonomi China sebagai mitra dagang utama RI akan berimbas juga ke permintaan China ke Indonesia. Selain itu kelebihan produksi China yang tidak bisa masuk pasar AS kan dilarikan ke negara lain termasuk Indonesia, efeknya Industri dalam negeri akan menjadi tertekan daya saingnya utamanya sektor tekstil dan alas kaki.
Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan kebanjiran barang dari China maka produk lokal akan sulit terjual mengingat masyarakat Indonesia akan lebih memilih barang dari China dengan kualitas baik.
Selama masa kampanye presiden periode 2 hingga menjelang pelantikan periode 2 pada Januari 2025, Trump bahkan sudah berkoar-koar akan kembali menggunakan semboyan "America First" dalam kebijakakannya.
Berbeda dengan periode pertamanya, Trump pada periode 2 atau kerap disebut Trump 2.0 diperkirakan akan membuat dunia lebih cemas karena proteksionismenya yang lebih luas. Tak hanya melawan China, Trump berkomitmen untuk mengurangi defisit dengan negara-negara yang selama ini menyumbang defisit dalam jumlah besar.
Berkaca pada data statistik perdagangan AS, Indonesia menjadi salah satu penyumbang defisit terbesar ke-15.
2. Suku Bunga Bank Sentral China
Di hari yang sama, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) akan mengumumkan keputusan suku bunga acuan terbarunya. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PBoC akan kembali menahan suku bunga acuannya kali ini.
Suku bunga acuan (Loan Prime Rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksi tetap berada di level 3,1%. Sedangkan LPR tenor 5 tahun juga diprediksi masih berada di level 3,6%.
Meski PBoC diprediksi akan menahan kembali suku bunga acuannya, tetapi Rabu lalu, PBoC menyuntikkan likuiditas jangka pendek ke dalam sistem keuangan sebesar 958,4 miliar yuan atau setara Rp 2.131,4 triliun.
Injeksi dana itu dilakukan melaluiseven-day reverse repurchase agreements(reverse repo) dalam operasi pasar terbuka harian. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi kedua yang pernah tercatat dalam data yang dihimpun oleh Bloomberg sejak 2004.
PBoC mengatakan, transaksi reverse repo tersebut akan mengimbangi dampak dari berakhirnya pinjaman jangka menengah, musim puncak pembayaran pajak, serta permintaan uang tunai menjelang libur Imlek, sekaligus menjaga kecukupan likuiditas sistem perbankan,
Dukungan likuiditas yang signifikan tersebut akan menjadi angin segar bagi bank-bank di China yang mengalami krisis kas awal pekan ini.
3. Data Ekonomi AS
Sentimen ekonomi dari AS pada pekan depan cenderung tidak sebesar dengan sentimen pelantikan Trump pada Senin besok. Pada pekan ini, hanya beberapa data yang perlu dicermati oleh pelaku pasar.
Data-data tersebut yakni data klaim pengangguran untuk periode pekan yang berakhir 18 Januari 2025 dan data penjualan rumah AS periode Desember 2024.
Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan angka klaim pengangguran mingguan kali ini cenderung naik tipis menjadi 219.000, dari pekan sebelumnya sebesar 217.000.
Namun yang terpenting, data ini juga akan dipantau oleh pelaku pasar mengingat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbarunya pada pertemuan 29 Januari mendatang.
Data tenaga kerja termasuk klaim pengangguran akan dicermati oleh pelaku pasar global, mengingat langkah The Fed yang kembali berubah dan mereka mengindikasikan tidak akan terburu-buru untuk memangkas suku bunga acuannya.
Sejauh ini, berdasarkan perangkat CME FedWatch, pasar yang memperkirakan The Fed akan menahan suku bunga acuannya mencapai 97,9%, nyaris 100%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)