Indonesia Menang di WTO, Akal-akalan Uni Eropa "Tersandung" Sawit

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Angin segar bertiup dari Jenewa, Swiss.  Panel Organisasi Perdagangan Dunia, WTO (World Trace Organization) baru saja memutuskan mengakui, kebijakan Uni Eropa (UE) atas minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman sawit adalah praktik diskriminasi. Kemenangan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, yang sejak lama berjuang melawan proteksionisme terselubung atas nama keberlanjutan lingkungan.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan, "Keputusan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak tinggal diam terhadap perlakuan yang tidak adil. Ini adalah hasil dari diplomasi intensif dan kerja sama berbagai pihak di dalam negeri." Sejak menggugat kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II pada 2019, Indonesia akhirnya berhasil membuktikan bahwa kebijakan Eropa yang mengategorikan minyak sawit sebagai produk "high ILUC-risk" adalah langkah proteksionis yang menyamarkan kepentingan dagang sebagai isu lingkungan.

Indirect Land Use Change (ILUC) adalah konsep Uni Eropa terkait penggunaan lahan. Dalam hal ini, sawit dianggap sebagai tanaman berisiko tinggi. 

Kasus minyak sawit bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan medan pertempuran dagang yang sengit. Uni Eropa, melalui kebijakan Delegated Regulation dalam RED II dan ILUC, memberikan perlakuan lebih pada biofuel berbahan rapeseed dan bunga matahari dibandingkan minyak sawit. Bahkan, Prancis secara khusus membatasi konsumsi biofuel sawit hingga 7% saja. Panel WTO menyatakan, Uni Eropa tidak mampu membuktikan dasar ilmiah dari kebijakan ini dan gagal memastikan prosedur sertifikasinya berjalan adil.

Ternyata tak hanya sawit, Indonesia juga pernah melawan kebijakan proteksionis lainnya. Salah satunya adalah gugatan Uni Eropa atas larangan ekspor nikel mentah yang diberlakukan pemerintah. Uni Eropa mengklaim kebijakan ini melanggar prinsip perdagangan bebas. Namun, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan mendukung hilirisasi industri, bukan semata-mata membatasi perdagangan.

Kemenangan sawit ini menambah daftar panjang sengketa dagang Indonesia di WTO. Sebelumnya, Indonesia mengajukan gugatan terhadap bea masuk tambahan atas stainless steel asal Morowali, yang dianggap sebagai subsidi lintas negara oleh Uni Eropa. Ada juga kasus tarif biodiesel yang diberlakukan Uni Eropa hingga pengenaan anti-dumping duty pada fatty acid, produk turunan kelapa sawit.

Namun, sengketa ini mencerminkan dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, hubungan dengan Uni Eropa harus tetap dijaga, apalagi saat ini sedang berlangsung negosiasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Di sisi lain, langkah tegas harus diambil untuk melindungi kepentingan nasional.

Keputusan WTO tidak hanya menguntungkan sektor sawit, tetapi juga memberikan preseden penting bagi negara berkembang lainnya. Eropa, yang selama ini memimpin kampanye global atas nama keberlanjutan, kini menghadapi tekanan untuk mengubah kebijakannya. Pemerintah Indonesia akan terus memantau implementasi keputusan ini dan memastikan Uni Eropa mematuhi rekomendasi Panel WTO.

Selain itu, diplomasi Indonesia tidak berhenti di sini.

Bersama Malaysia, Indonesia juga menentang European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif. Delegasi kedua negara bahkan telah mengajukan data penurunan deforestasi hingga 75% pada 2019-2020, sebagai upaya memperjuangkan kategori "negara risiko rendah deforestasi" di Eropa.

Meski Uni Eropa bukan pasar utama minyak sawit Indonesia, kebijakan diskriminatif di kawasan tersebut berpotensi menyebar ke negara lain. Dalam lima tahun terakhir, pasar Uni Eropa hanya menyerap 2-3 juta ton minyak sawit per tahun. Bandingkan dengan konsumsi domestik Indonesia yang mencapai 44,8% dari total produksi pada 2022.

Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat sertifikasi RSPO dan ISPO, meningkatkan konsumsi domestik, serta memastikan dukungan penuh kepada petani kecil. Sertifikasi ISPO baru mencakup 32 pekebun dari total 6,7 juta hektare kebun sawit rakyat. Langkah-langkah ini krusial untuk menjaga daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global.

Kemenangan Indonesia di WTO menjadi simbol penting bahwa negara berkembang bisa melawan diskriminasi dagang. Namun, ini baru langkah awal. Dengan terus memperkuat diplomasi, hilirisasi industri, dan dukungan kepada petani, Indonesia dapat mengubah narasi global tentang minyak sawit. Pada akhirnya, keberlanjutan dan keadilan dagang bisa berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research