Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas terpantau kembali bergairah hingga menyentuh rekor dalam dua pekan terakhir pada penutupan perdagangan Selasa (10/12/2024) kemarin.
Lonjakan harga emas ditopang oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan ekspektasi penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) minggu depan.
Merujuk data Refinitiv pada perdagangan kemarin, harga emas dunia ditutup melesat 1,31% di US$ 2.693,64 per troy ons. Emas sudah terbang 2,34% dalam tiga hari terakhir.
Harga penutupan kemarin juga menjadi yang tertinggi sejak 5 November 2024.
Sementara pada perdagangan Rabu pagi hari ini, Rabu (11/12/2024) pukul 06:17 WIB, emas menguat tipis 0,05% ke US$ 2.695,04 per troy ons.
Harga emas melonjak karena kuatnya sentimen positif dari perang di Arab, kebijakan China dan Amerika Serikat (AS). Ketiga faktor ini jarang terjadi karena biasanya sentimen dari negara-negara tersebut kerap berlawanan. Misalnya, saat perang memanas ada sentimen suku bunga di AS yang membuat emas tertekan.
"Kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah mendorong minat terhadap aset safe haven seperti emas," kata Peter Grant, vice president dan ahli strategi logam senior di Zaner Metals, dikutip dari Reuters.
Timur Tengah kembali memanas setelah Israel menyerang Suriah, di mana serangan ini telah mencapai sekitar 25 km (16 mil) barat daya Damaskus. Ini terjadi setelah Israel merebut zona penyangga di Suriah selatan dan melancarkan serangan udara terhadap pangkalan-pangkalan militer dan udara Suriah.
Melansir Reuters pada Selasa kemarin, sumber keamanan Suriah mengatakan pasukan Israel mencapai Qatana, yang berjarak 10 km (enam mil) ke wilayah Suriah di sebelah timur zona demiliterisasi yang memisahkan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel dari Suriah.
Sumber keamanan regional dan pejabat dalam tentara Suriah yang kini telah jatuh mengatakan serangan udara Israel yang gencar terus berlanjut terhadap instalasi militer dan pangkalan udara di seluruh Suriah semalam.
Emas dianggap sebagai investasi yang aman selama gejolak ekonomi dan geopolitik masih terus terjadi serta cenderung berkembang dalam lingkungan suku bunga yang lebih rendah.
Di lain sisi, pasar saat ini juga tengah berfokus pada rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS, yang diperkirakan naik sebesar 0,3% pada November lalu, berdasarkan survei Reuters. Data ini cukup penting untuk dicermati karena dapat mempengaruhi keputusan penurunan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Sejauh ini, menurut perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya masih cukup besar yakni mencapai 8,61%. Angka ini mengalami peningkatan dari sehari sebelumnya yang mencapai 85%.
Di tempat lain, China akan mengadopsi kebijakan moneter yang "cukup longgar" dan pendekatan fiskal yang lebih proaktif tahun depan. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Politbiro pada Senin lalu.
"Setiap pengumuman besar akan memberikan dorongan pada emas karena Tiongkok merupakan negara konsumen terbesar, dan terutama menjelang perayaan Tahun Baru Imlek ketika permintaan perhiasan untuk pemberian hadiah meningkat," tambah Razaqzada, dilansir dari Reuters.
Selain itu, sentimen dari pemerintah China yang kembali memborong emas juga masih menjadi penopang hari ini. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) kembali membeli emas sebanyak 160.000 ons mas murni bulan lalu atau sekitar 5 ton.
Penambahan ini merupakan yang pertama sejak April lalu, sebelum bank sentral menghentikan pembelian selama 18 bulan yang telah membantu menopang harga di tengah selera yang kuat dari lembaga-lembaga publik dunia.
Dimulainya kembali pembelian oleh China dapat mendukung permintaan investor di negara tersebut. Pembelian emas oleh PBoC yang kuat telah memainkan peran utama dalam mendukung rekor reli emas tahun ini, di samping pelonggaran kebijakan moneter dan ketegangan geopolitik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)