Dua Sisi Raja Jawa, Dicintai Rakyat hingga Diguncang Pemberontakan

2 months ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia - Manusia pada hakikatnya memiliki kepribadian yang berbeda-beda, meski dihadapkan dalam situasi dan kondisi serupa. Tak terkecuali seorang raja.

Ada yang berbaik hati hingga dicintai rakyatnya, namun ada juga yang menjadi tamak dan semena-mena saat memiliki kekuasaan dan kekayaan yang menjadi sumber kenikmatan itu.

Terkait ini, ada dua kisah tentang Raja Jawa dari masa lalu.

Raja yang Menolak Kemewahan dan Dicintai Rakyat

Raja (pemimpin) Jawa Mangkunegara VI ketika berkuasa pada 1896. Alih-alih memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri, Mangkunegara VI membuat berbagai terobosan yang membuatnya dicintai rakyat.

Dia menolak semua kemewahan, pilih hidup sederhana dan pro-rakyat. Bagaimana ceritanya?

Awalnya, pria bernama asli Raden Mas Suyitno ini tak menyangka bakal memimpin Pura Kadipaten Mangkunegaran yang berbasis di Solo. Namun, kakaknya yang meninggal di usia muda mengubah jalan hidupnya.

Dari semula tentara kerajaan berubah menjadi Raja Jawa yang berhak menyandang gelar Mangkunegara VI. Mangkunegaraan memang tak mengadopsi tradisi penerus takhta adalah anak dari raja.

Seperti penguasa sebelumnya, hidup Suyitno sebagai raja diprediksi bakal dibanjiri kenikmatan. Sudah pasti dia kaya raya, sangat dihormati rakyat, dan punya kekuatan besar.

Dia juga bisa melakukan banyak hal untuk kepentingan diri sendiri. Pada sisi lain, Suyitno sadar kondisi kesultanan sudah berbeda pada 1869.

Dia mewarisi segudang masalah dari pemimpin sebelumnya. Bisnis gula terus merugi, sehingga kas kerajaan makin sedikit.

Parahnya, di tengah ancaman kebangkrutan, para keluarga kerajaan tak mengubah gaya hidupnya. Mereka tetap hidup mewah dan boros.

Alhasil, Suyitno melakukan reformasi besar-besaran untuk mematahkan tradisi. Semua dilakukan dari hal sederhana. Secara pribadi dia menolak tunjangan dan memilih hidup sederhana apa adanya.

Sebagaimana diceritakan tim riset dari Mangkunegoro VI: Sang Reformis (2021), pria kelahiran 1 Maret 1867 ini memangkas anggaran biaya hidup para bangsawan dan menyederhanakan berbagai macam pesta.

Dia meminta bangsawan tak lagi mengadakan pesta sendirian, tapi diubah secara massal. Lalu, dia juga mengurangi jumlah pegawai yang tidak kompeten.

Satu hal menarik lain, yakni menghapus feodalisme di kerajaan. Dia menghapus kebiasaan jalan jongkok yang lazim dilakukan di lingkungan Mangkunegaraan untuk menghormati bangsawan dan raja.

Semua itu pada akhirnya membuat kas kerajaan mulai bertambah. Penambahan kas tak dipakai untuk kepentingan pribadi, tapi dialihkan buat rakyat.

Tercatat dia aktif memberikan beasiswa pendidikan dan pendirian sekolah perempuan. Tak hanya itu, dia juga mengizinkan orang Tionghoa mendirikan rumah duka dan memperbolehkan penyebaran agama Kristen.

Sikap Suyitno sebagai penguasa membuat rakyat mencintainya dan menyebutnya sebagai Raja Jawa yang hidup sederhana. Pada sisi lain, para pembenci Suyitno memandangnya sebagai Raja Jawa yang pelit.

Para penulis biografi Mangkunegara VI mengambil contoh, para pembenci ini adalah pejabat Belanda yang ditolak Suyitno dan juga para bangsawan atau orang terdekatnya sendiri.

Mereka yang sejak kecil hidup bergelimang harta merasa dirugikan oleh kebijakan Suyitno karena tak lagi bisa hidup mewah dan menjadi susah. Bahkan, mereka juga tak lagi dihormati sebab sudah setara rakyat biasa.

Pada akhirnya, berbagai tekanan membuat Suyitno tak enak hati dan memutuskan mundur sebagai Raja Jawa. Dia kemudian mengasingkan diri bersama keluarga ke Surabaya sampai meninggal pada 24 Juni 1928.

Raja yang Manjadi Ganas Usai Pindah ke Istana Baru

Sejak menjadi orang nomor satu di Mataram, Raja Amangkurat I berupaya mengkonsolidasikan Kerajaan Mataram, melakukan sentralisasi pemerintahan, dan menumpas semua pemberontakan.

Semua program itu dilakukan dengan cara-cara bengis yang menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), sudah diperlihatkan sejak awal berkuasa. Polanya dia selalu menghabisi para penentang, baik itu di kalangan istana atau di daerah.

Setahun sejak berkuasa, misalnya, Amangkurat I terbukti melakukan pembunuhan terhadap Panglima Mataram Wiraguna.

Wiraguna ditugaskan Amangkurat I pergi ke Ujung Timur Jawa untuk mengusir pasukan Bali. Namun, sesampainya di sana, dia dan pasukannya dibunuh atas perintah Amangkurat I. Tak hanya itu, keluarga Wiraguna juga bernasib sama.

Pola-pola seperti ini, menurut Ricklefs, membuat orang-orang yang masih hidup sangat ketakutan. Alhasil, mereka mau tidak mau menjadi menurut sekalipun itu dilakukan sangat sulit.

Kebengisan Amangkurat I pun makin menjadi-jadi tatkala dia pindah ke istana baru di kawasan Plered. Di sana, Ricklefs menggambarkan istana berdiri sangat megah berdindingkan batu merah.

"Menunjukkan kepermanenan dan kekokohan yang ingin ditunjukkan Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaan," tulis Rickfles.

Setelahnya, Amangkurat I makin sering menghabisi banyak orang. Pada akhirnya, kebiasaan bunuh-membunuh berdampak buruk terhadap kekuasaan Amangkurat I sendiri. Para loyalis dan orang-orang di daerah berbalik arah.

"Kezalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka [...]. Oleh karena itu, para sekutu dan para taklukannya di daerah-daerah terpencil mendapat kesempatan baik untuk melepaskan kesetiaan mereka kepada Amangkurat I," tulis sejarawan asal Australia itu.

Puncaknya terjadi pada 1677. Kala itu, para loyalis Amangkurat I sudah tak tahan atas kelakuan sang Raja Jawa. Terlebih, Amangkurat I yang sudah beranjak tua terbukti tak bisa membawa kemajuan bagi kerajaan. Maka, mereka pun bergabung dengan para pemberontak.

Sejarawan de Graff dalam Runtuhnya Istana Mataram (1987) menyebut, beralihnya dukungan para loyalis dan pembesar Jawa dari Amangkurat I ke kelompok pemberontak membuat pertahanan Mataram hancur dari dalam.

Alhasil, pada Juli 1677, istana Amangkurat I sukses diambil alih pasukan Madura pimpinan Raden Trunojoyo. Meski begitu, hidup Amangkurat I masih selamat sebab dia sudah lebih dulu kabur dari istana sebulan sebelum istana jebol.

Kemudian Juni 1677 dia bersama pengawal dan keluarga. Dia pergi ke Imogiri tempat pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Di sana dia mengkonsolidasikan kembali kekuatan. Namun, apa daya kekuatannya tak begitu besar.

Dia pergi lagi ke Barat. Kali ini seorang diri. Namun, perjalanannya tak tuntas sebab de Graff menuliskan dia meninggal di tengah jalan, sekitar Wanayasa dan Ajibarang.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research