Jakarta, CNBC Indonesia - Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang sering disebut sebagai pahlawan devisa, menyimpan kisah penuh perjuangan di balik angka dan statistik.
Biaya rekrutmen, kesenjangan keterampilan, hingga cerita mereka yang terjebak dalam sektor informal adalah bagian dari kenyataan yang PMI atau Tenega Kerja Indonesia (TKI) hadapi. Apakah di balik tantangan itu, ada potensi besar untuk dioptimalkan demi kesejahteraan yang lebih baik?
Indonesia mencatat biaya rekrutmen PMI rata-rata sebesar Rp6 juta, jauh lebih rendah dibandingkan Filipina yang mencapai Rp10,67 juta dan Vietnam yang menembus Rp97,35 juta.
Namun, biaya yang lebih rendah ini tidak serta-merta menjamin kenyamanan. Contohnya, PMI tujuan Hong Kong membayar hingga Rp24 juta, hampir lima kali lipat dari biaya untuk Malaysia (Rp5 juta). Bandingkan dengan Vietnam yang menghadapi biaya fantastis sebesar Rp133,34 juta untuk tujuan Korea Selatan.
Keunggulan ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih kompetitif. Waktu pengembalian biaya rekrutmen PMI hanya sekitar 1,3 bulan, lebih cepat dibandingkan Filipina (1,2 bulan) dan jauh lebih singkat dibandingkan Vietnam (7,4 bulan). Meski demikian, efisiensi biaya tetap menjadi tantangan, terutama karena tingginya permintaan pada sektor informal.
Mayoritas PMI Indonesia memiliki latar pendidikan SMA/SMK (33,22%), sementara hanya 5,21% yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Ironisnya, 95,6% PMI bekerja di sektor yang membutuhkan keterampilan rendah hingga sedang. Hal ini menciptakan mismatch keterampilan yang signifikan, di mana tingkat pendidikan tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja di negara tujuan.
Fenomena overeducation ini berdampak negatif terhadap pendapatan dan kepuasan kerja PMI. Banyak pekerja yang terpaksa menerima pekerjaan dengan gaji rendah, terutama di sektor informal seperti pekerja rumah tangga di Malaysia atau Hong Kong.
Sebanyak 31,5% pekerja migran Indonesia mengalami overeducation, sementara 12,9% lainnya mengalami undereducation. Mayoritas PMI (55,6%) memiliki kesesuaian antara tingkat pendidikan dan kemampuan kerja, meskipun mismatch masih menjadi tantangan signifikan dalam produktivitas tenaga kerja migran Indonesia.
Menurut data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah PMI yang ditempatkan pada 2023 mencapai 274.965, naik 37% dari tahun sebelumnya.
Taiwan menjadi tujuan utama dengan 83.216 PMI, diikuti Malaysia (72.260) dan Hong Kong (65.916). Namun, dominasi sektor informal tetap terlihat, terutama pada periode Juni hingga Agustus 2024, di mana penempatan sektor informal lebih tinggi dibandingkan sektor formal.
Secara demografis, mayoritas PMI berasal dari daerah perdesaan (52,01%), mencerminkan minimnya peluang kerja formal di wilayah-wilayah ini. Gender juga memainkan peran penting; pada Agustus 2024, 69,78% PMI adalah perempuan, meskipun jumlah mereka menurun 5,23% dari bulan sebelumnya.
Tingginya mismatch keterampilan dan dominasi sektor informal menunjukkan bahwa memang sistem pendidikan dan pelatihan pra kerja perlu diperkuat. Pemerintah harus berfokus pada pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar internasional, serta memastikan perlindungan hukum bagi PMI, khususnya perempuan yang rentan terhadap eksploitasi.
Meski Indonesia unggul dalam efisiensi biaya rekrutmen, tantangan seperti mismatch keterampilan dan dominasi sektor informal tetap menjadi isu utama. Jika dibandingkan Filipina dan Vietnam, Indonesia memiliki keunggulan dalam waktu pengembalian biaya, namun masih perlu meningkatkan kualitas pekerjaan yang ditawarkan. Dengan langkah strategis yang tepat, PMI bisa menjadi aset penting bagi pembangunan ekonomi nasional sekaligus mengangkat martabat tenaga kerja Indonesia di dunia internasional.
CNBC Research Indonesia
(emb/emb)