Jakarta, CNBC Indonesia - Pulau Migingo memiliki luas kurang dari setengah lapangan sepakbola. Namun, tempat yang disebut sebagai pulau terpadat di dunia ini dihuni lebih dari 500 orang pada 2019.
Terletak di perbatasan antara Kenya dan Uganda, Pulau Migingo dikelilingi perairan dalam yang kaya akan ikan.
Laporan Al Jazeera menyebut bahwa pulau berbatu yang luasnya kurang dari 2.000 meter persegi tersebut dipenuhi gubuk-gubuk kecil yang kondisinya memprihatinkan. Gubuk-gubuk tersebut sebagian berfungsi sebagai bar, rumah bordil, dan kasino terbuka. Meski kondisinya tidak layak, Pulau Migingo sangat diperebutkan oleh Kenya dan Uganda yang sama-sama mengklaim kepemilikan.
Foto: Pulau Migingo yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar mencari ikan di Danau Victoria di perbatasan Uganda dan Kenya. (AFP/YASUYOSHI CHIBA/File Foto)
Migingo tidak lebih dari sekadar batu yang menjorok keluar dari air sebelum danau itu mulai surut pada awal 1990-an, menurut Emmanuel Kisiangani, seorang peneliti senior di kantor Institut Studi Keamanan Pretoria.
Hasil tangkapan ikan telah sangat berkurang selama bertahun-tahun di komunitas nelayan di sekitar Danau Victoria karena penangkapan ikan yang berlebihan dan invasi tanaman eceng gondok yang menghalangi transportasi di danau dan akses ke pelabuhan. Namun, spesies seperti ikan Nil (disebut juga ikan Barramundi Afrika) masih melimpah di perairan dalam sekitar Migingo, menjadikan pulau ini pusat penangkapan ikan yang berharga dan unik.
Disebut menjadi lokasi 'Perang Terkecil'
Foto: Pulau Migingo yang dihuni padat penduduk terutama oleh nelayan yang mencari ikan di Danau Victoria di perbatasan Uganda dan Kenya. (AFP/YASUYOSHI CHIBA)
Saat pemukiman manusia mulai berkembang di pulau berbatu itu, Kenya dan Uganda memutuskan untuk membentuk komite bersama demi menentukan perbatasan pada tahun 2016. Kedua negara mengandalkan peta yang berasal dari tahun 1920-an. Namun, tidak ada hasil dari komite tersebut.
Pulau Migingo pada akhirnya dikelola bersama oleh kedua negara, tetapi ketegangan kadang-kadang muncul. Sejumlah nelayan lokal menyebutnya sebagai "perang terkecil" di Afrika.
"Mereka belum memutuskan siapa pemilik pulau ini," kata nelayan Uganda Eddison Ouma. "Itu adalah tanah tak bertuan."
Berkat ekspor yang terus berlanjut ke Uni Eropa dan melonjaknya permintaan ikan barramundi di Asia, ikan besar itu telah menjadi ekspor bernilai jutaan dolar lebih.
Uganda mulai mengerahkan polisi bersenjata dan marinir ke Migingo untuk mengenakan pajak kepada nelayan.
Sementara, nelayan Kenya mulai mengeluh bahwa mereka dilecehkan oleh pasukan Uganda karena berbagai alasan, termasuk tuduhan penangkapan ikan ilegal di perairan Uganda. Sebagai tanggapan, pemerintah Kenya mengerahkan marinir ke Migingo yang hampir membuat kedua negara itu bertengkar.
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini: