7 Teror Trump Intai RI, Investor - Wong Cilik Gak Bisa Tidur Tenang

2 weeks ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan kembali ke Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) dan menjadi Presiden ke-47 Amerika Serikat. Kembali hadirnya Trump sebagai penguasa AS bisa membuat dunia was-was, termasuk Indonesia.

Trump  pernah menjadi Presiden AS pada periode Januari 2017 hingga Januari 2021. Pada saat itu, berbagai kebijakan ia ambil dan memberikan pengaruh besar terhadap global termasuk Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berikut ini, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian ketika Trump menjabat sebagai Presiden AS untuk kedua kalinya atau periode Trump 2.0:

1. Imbal Hasil SBN & SRBI Berpeluang Meningkat

Imbal hasil Treasury AS (UST) tenor 10 tahun meningkat hingga mencapai 4,8% pada 13 Januari 2025, terutama karena kenaikan dalam premium term yield, yang mencerminkan kekhawatiran pasar atas potensi defisit di bawah pemerintahan Trump.

Kenaikan imbal hasil UST ini memengaruhi pasar global, termasuk Indonesia.

Dengan imbal hasil yang begitu tinggi, maka imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun pun terancam mengalami peningkatan. Hal ini diperlukan agar pasar keuangan domestik memiliki daya tarik tersendiri bagi investor asing.

Tidak hanya itu, imbal hasil Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berpeluang meningkat tajam, bahkan untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan sudah bergerak di atas 7%.

"Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, 12 bulan. Tanggal 10 Januari tercatat naik berada masing-masing 7,06%, 7,1% dan 7,23%. Sementara itu, imbal jasil SBN per 14 Januari 2025, meningkat 6,98% dan 7,25% sehingga tetap menjaga daya tarik imbal hasil instrumen keuangan domestik di tengah ketidapkpastian global," papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, Rabu (15/1/2025).

Imbal hasil yang tinggi memang dapat memberikan daya tarik dan alhasil inflow ke pasar keuangan domestik, namun perlu dicatat bahwa dengan imbal hasil yang tinggi, maka pemerintah maupun BI perlu membayarkan return yang cukup besar kepada investor. Hal ini akan menjadi beban bagi keuangan pemerintah maupun BI.

2. Strong Dollar

Kemenangan Donald Trump melawan Kamala Harris dalam pemilu AS juga membuat indeks dolar AS/DXY semakin melambung tinggi karena pasar menilai dengan kemenangan Trump maka inflasi akan semakin sulit ditekan khususnya karena barang impor ke AS yang akan dikenakan tarif lebih tinggi sehingga berujung pada keseluruhan harga barang di AS menjadi lebih mahal.

Indeks dolar saat ini berada di level 109 lebih atau tertinggi sejak November 2022.

Ketika inflasi tak dapat ditekan ke level yang lebih rendah dan menemui target The Fed di angka 2%, maka The Fed tampak akan membiarkan suku bunga berada di level yang cukup tinggi di waktu yang lebih lama atau dengan kata lain bahwa pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih sulit terjadi.

Di saat pemangkasan suku bunga minim terjadi di 2025, maka rupiah tampaknya masih berpeluang terus tertekan setidaknya di awal tahun ini. Hal ini tercermin dari pergerakan rupiah yang terus terkoreksi sejak 5 November 2024 hingga 16 Januari 2025.

Dilansir dari Refinitiv, pada 5 November 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di angka Rp15.730/US$. Namun pada 16 Januari 2025, rupiah sudah bertengger di level Rp16.355/US$.

3. Trade War 2.0

Perang Dagang 'season' 2 presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sepertinya segera dimulai. Meski Trump baru akan dilantik awal 2025, ia sudah mengumumkan akan menjatuhkan sanksi kenaikan tarif impor ke tiga negara, salah satunya China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Khusus China, ia mengatakan akan memberi tarif tambahan sebesar 10% sementara khusus Kanada dan Meksiko akan ada kenaikan tarif 25%. Hal ini dikatakannya di akun media sosial Truth Social miliknya.

Ekonom Senior, Anny Ratnawati menyoroti dampak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Dimana rencana penerapan tarif impor yang tinggi oleh AS ke China akan berimbas ke perang dagang yang bisa mempengaruhi ekonomi dunia termasuk Indonesia.

Dimana tekanan ekonomi China sebagai mitra dagang utama RI akan berimbas juga ke permintaan China ke Indonesia. Selain itu kelebihan produksi China yang tidak bisa masuk pasar AS kan dilarikan ke negara lain termasuk Indonesia, efeknya Industri dalam negeri akan menjadi tertekan daya saingnya utamanya sektor tekstil dan alas kaki.

Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan kebanjiran barang dari China maka produk lokal akan sulit terjual mengingat masyarakat Indonesia akan lebih memilih barang dari China dengan kualitas baik.

Selama masa kampanye presiden periode 2 hingga menjelang pelantikan periode 2 pada Januari 2025, Trump bahkan sudah berkoar-koar akan kembali menggunakan semboyan "America First" dalam kebijakakannya.

Berbeda dengan periode pertamanya, Trump pada periode 2 atau kerap disebut Trump 2.0 diperkirakan akan membuat dunia lebih cemas karena proteksionismenya yang lebih luas. Tak hanya melawan China, Trump berkomitmen untuk mengurangi defisit dengan negara-negara yang selama ini menyumbang defisit dalam jumlah besar.
Berkaca pada data statistik perdagangan AS, Indonesia menjadi salah satu penyumbang defisit terbesar ke-15.

4. Investasi Asing Langsung

Ketidakpastian kebijakan ekonomi AS dapat mempengaruhi arus investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia. Perusahaan AS mungkin lebih fokus pada pasar domestik, mengurangi investasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dari AS ke Indonesia mengalami penurunan dari 2017 hingga 2020 (masa kepemimpinan Trump).

Pada 2017, realisasi investasi PMA dari AS sebesar US$1,99 miliar. Kemudian secara konsisten mengalami penurunan setiap tahunnya dan hanya menjadi US$0,75 miliar pada 2020.

Dikhawatirkan, hal ini akan kembali terjadi di masa era pemerintahan Trump kedua. Jika hal ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional akan semakin sulit terjadi baik dalam hal Infrastruktur, Lapangan kerja, hingga Transfer teknologi.

5. Daya Beli Terganggu

Terpilihnya Trump bisa mengancam perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia. Bila dampaknya parah maka hal itu bisa menekan harga komoditas hingga pada ujungnya bisa mengganggu pendapatan jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidup dari komoditas, seperti sawit dan batu bara. Bila pendapatan turun maka daya beli juga bisa ikut tertekan.

Untuk diketahui, perang dagang ikut andil besar dalam menekan ekonomi global hingga perdagangan internasional serta jatuhnya harga komoditas.

Volume perdagangan dunia pada 2018 melambat menjadi 3,7% dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya sebesar 4,7%. Penurunan aktivitas ekonomi dunia berkontribusi pada penurunan sebagian besar harga komoditas global.

Perekonomian dunia melambat dengan hanya tumbuh 3,7% pada 2018 dari 3,8% pada 2017.

Situasi daya beli masyarakat di Indonesia cenderung masih lemah setidaknya hingga Desember 2024 di tengah suku bunga yang masih cukup tinggi, rupiah yang melemah, termasuk badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus terjadi hingga saat ini.

Sebagai informasi, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena PHK selama periode Januari hingga awal Desember 2024.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer mengungkapkan ada potensi berlanjutnya gelombang PHK yang mengancam dunia usaha. Dia bilang, ada sekitar 60 perusahaan yang berencana melakukan PHK dalam waktu dekat. Baginya ini sangat mengerikan.

Lonjakan dolar AS juga akan membawa konsekuensi lain.

Kemenangan Trump dapat membawa tekanan pada daya beli masyarakat Indonesia melalui peningkatan harga barang impor, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi. Untuk mengatasi dampak ini, kebijakan domestik yang tepat diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.

Harga barang impor yang dikonsumsi masyarakat umum juga bisa melambung, mulai dari kedelai hingga gandum.

6. Perekonomian Global & China Melambat

Slogan kampanye Trump yakni 'Make America Great Again/MAGA' menekankan kembalinya kejayaan AS melalui kebijakan ekonomi, perdagangan, dan keamanan yang lebih nasionalis dan proteksionis.

Dengan hal tersebut, maka bisa menghambat arus masuk produk ke pasar di AS. Ketika hal tersebut terjadi, maka ekspor dari China ke AS berpotensi berkurang, begitu pula ekspor Indonesia ke China maupun Indonesia ke AS berpotensi menurun juga.

Spillover effect dari sikap Trump tersebut berdampak pada roda perekonomian China dan Indonesia melambat. Tidak sampai di situ, kebijakan Trump juga akan membuat perekonomian dari berbagai negara yang ekspor ke AS berpotensi melemah di tengah demand yang rendah.

7. Penerimaan Negara Terhambat

Melandainya harga komoditas dan ekspor bisa berdampak buruk kepada penerimaan negara, baik dari pendapatan perpajakan atau non-perpajakan seperti bea keluar dan royalti.

Hal ini membuat pemerintah perlu berupaya lebih untuk mencari sumber pendanaan agar rasio defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lebih dari 3%, salah satunya dengan menerbitkan surat utang.

Namun yang perlu menjadi perhatian adalah jika pemerintah menerbitkan surat utang dalam jumlah yang besar dan disertai dengan imbal hasil yang tinggi, maka hal ini tampak seperti 'gali lubang tutup lubang' yang artinya hal ini hanya akan menjadi short term solution soal utang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research