5 Peristiwa Bikin IHSG Gonjang-Ganjing Tahun Ini : Ada FCA!

1 month ago 22

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang natal dan tahun baru, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih saja dalam tren konsolidasi.

Sepanjang tahun ini, IHSG sudah banyak diterpa berbagai hal yang menghambat lajunya menguat. Berikut CNBC Indonesia merekap lima hal yang menjadi badai IHSG :

Polemik Penerapan FCA

Pada pertengahan tahun ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengeluarkan kebijakan yang cukup sensasional dan menimbulkan kontroversi, yakni Full Call Auction (FCA).

Mekanisme FCA ini sempat di protes pelaku pasar karena dinilai merugikan investor bahkan dapat menyerang saham-saham big caps atau yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar seperti pada kasus sebelumnya yang mengenai saham milik konglomerasi RI Prajogo Pangestu, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).

Buntut dari itu, BEI pun akhirnya melakukan kaji ulang implementasi kebijakan Papan Pemantauan Khusus (PPK) dengan mekanisme FCA yang dilakukan untuk kepentingan stakeholders dan pasar. Berikut hasil revisi-nya :

Kekhawatiran Resesi AS

Berikutnya, IHSG sempat anjlok cukup parah pada 5 Agustus 2024 hingga 3,40% dalam sehari akibat mencuatnya kekhawatiran resesi Amerika Serikat (AS).

Merujuk Sahm Recession Indicator, risiko resesi muncul ketika rata-rata tingkat pengangguran dalam tiga bulan terakhir dikurangi dengan tingkat pengangguran terendah dalam setahun terakhir menghasilkan angka 0,50 poin persentase.

Rata-rata laju pengangguran AS dalam tiga bulan terakhir (Mei, Juni, dan Juli) tercatat sebesar 4,13% (4% pada Mei 2024, 4,1% pada Juni 2024, dan 4,3% pada Juli 2024. Sementara pada Juli 2023 sebesar 3,6%. Sebagai catatan, tingkat pengangguran pada Juli 2023 adalah yang terendah dalam setahun terakhir.

Hasil hitungan menunjukkan Sahm Rule Indicator pada Juli 2024 menunjukkan sebesar 0,53 poin persentase.

Kekhawatiran tersebut tak hanya menjadi black monday bagi IHSG, tetapi ke seluruh bursa di kawasan Asia Pasifik.

Indeks Nikkei Jepang tercatat menjadi yang paling parah dengan penurunan lebih dari 12% dalam sehari. Penyusutan tersebut merupakan merupakan penurunan satu hari terbesar sejak aksi jual Black Monday pada tahun 1987.

Kemenangan Trump Picu Perang Dagang - Debt Ceiling Dihapuskan

Gonjang-ganjing yang dihadapi IHSG berikutnya adalah efek pasca kemenangan Trump.

Euforia kemenangan Trump membuat pelaku pasar mengantisipasi kebijakan proteksionisnya yang bakal membayangi pasar keuangan dengan risiko inflasi dan perang dagang.

Pada periode pertama pemerintahan Trump ditandai serangkaian kebijakan kontroversial, seperti Perang dagang AS-Tiongkok melalui pengenaan tarif tinggi dan pembatasan impor, Keputusan untuk menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran dan perjanjian iklim Paris, serta upaya pengetatan kontrol imigrasi.

Terpilihnya Trump ke-dua kali sebagai Presiden Amerika Serikat tak bisa dipungkiri akan membawa arah baru terhadap tatanan perekonomian global.

Baru-baru ini saja Presiden Terpilih AS Donald Trump mengutarakan pernyataan keras terhadap negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China atau Tiongkok, dan Afrika Selatan) melalui platform media sosialnya.

Trump menyampaikan akan menerapkan tarif 100% kepada negara-negara anggota aliansi BRICS, serta memperingatkan penutupan akses pasar AS bagi negara-negara tersebut jika tidak menggunakan dollar AS dalam perdagangan.

Tak berhenti sampai di situ, baru-baru ini Trump berulah lagi dengan menyampaikan potensi penghapusan debt ceiling.

Debt Ceiling singkatnya merupakan jumlah maksimal utang yang bisa ditarik oleh pemerintah AS melalui penerbitan obligasi.

Jika batas maksimal ini dihapus, maka utang AS bisa tanpa batas. Sebagai informasi, debt ceiling ini selalu naik sejak 1917, sudah lebih dari 100 kali.

Penyesuaian terakhir dilakukan per Juni 2023 di level US$ 31 triliun dan bertahan hingga awal 2025. Padahal utang AS masih lanjut naik mencapai US$ 36 triliun per Desember 2024. Artinya, pemerintah AS harus menggerus kas negara untuk membiayai operasional pemerintahannya.

Jika debt ceiling ini terus naik, obligasi AS akan terus dicetak. Artinya supply meningkat yang membuat yield US Treasury akan terus naik. Imbasnya, yield SBN RI akan sulit turun, kemungkinan bakal bertahan di atas 7%.

Dengan yield yang tinggi ini akan membuat minat investor beralih lebih banyak ke obligasi dibandingkan saham, mengingat dari risiko lebih konservatif.

Prospek Suku Bunga Turun Lebih Lambat

Selanjutnya rintangan untuk iHSG masih datang dari prospek suku bunga, yang meskipun sudah turun tetapi masih di level tinggi.

Pada tahun ini, Bank Indonesia (BI) hanya menurunkan suku bunga sekali, tepatnya pada September lalu sebesar 25 basis poin (bps). Sehingga BI Rate sampai saat ini bertahan di level 6%.

Sementara itu, bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) pada tahun ini menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali. Sementara proyeksi tahun depan hanya akan turun dua kali saja.

Bank sentral AS (The Fed) pada Summary of Economic Projections/SEP pekan lalu menunjukkan bahwa potensi cut rate 2025 hanya sebesar 50 basis poin/bps. Angka ini hanya setengah dari target komite ketika plot tersebut terakhir diperbarui pada September dengan ekspektasi pemangkasan sebesar 100 bps pada 2025.

The FedFoto: The Fed
The Fed

"Dengan langkah hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami." ujar Chairman The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat.

Lebih lanjut, pejabat Fed menunjukkan dua pemotongan lagi pada 2026 dan satu lagi pada 2027. Dalam jangka panjang, komite memandang suku bunga "netral" berada pada 3%, 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan pembaruan September, karena tingkat ini secara perlahan meningkat sepanjang tahun ini (3% vs 2,9%).

Rupiah Merana, Dolar Masih Bertahan di Level Rp16.000

Tantangan berikutnya datang dari nilai tukar RI yang masih merana terhadap dolar AS.

Mendekati akhir tahun rupiah malah melemah, bahkan sempat menembus level di atas Rp16.300/US$.

Gerak rupiah yang terus merana ini ditengarai keperkasaan indeks dolar AS (DXY) yang terbang ke atas 108. Sejalan dengan itu, yield US Treasury juga terbang ke atas 4,50%, sudah setara dengan posisi US Interest rate saat ini.

Keperkasaan dolar AS membuat posisi rupiah untuk menguat cukup sulit, terutama akibat potensi kebijakan moneter the Fed yang cukup hati-hati dalam menurunkan suku bunga yang potensi lebih konservatif, sementara dari dalam negeri daya beli masyarakat masih belum pulih

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research