Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjelang pertengahan Januari 2025 masih cenderung mendatar, di mana pergerakan IHSG dalam beberapa hari terakhir berada di rentang level psikologis 7.000-7.100.
Bahkan, dana investor asing di pasar saham RI terus mencatatkan outflow sejak perdagangan perdana 2025 hingga kemarin.
Berdasarkan data pasar kemarin, asing kembali mencatatkan penjualan bersih (net sell) atau outflow sebesar Rp 383,46 miliar dengan rincian sebesar Rp 407,78 miliar di pasar reguler dan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 24,31 miliar di pasar tunai dan negosiasi.
Jika dari perdagangan perdana 2025 hingga kemarin atau sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), asing tercatat net sell hingga Rp 3,32 triliun di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 2,6 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp 721,34 miliar di pasar tunai dan negosiasi.
Saham perbankan raksasa, yang menjadi penggerak utama IHSG, juga sejak awal 2025 pergerakannya cenderung kurang menarik.
Dari kinerjanya, terlihat sejak perdagangan perdana di 2025 hingga sesi II hari ini, secara mayoritas lesu. Hanya satu saham perbankan BUKU IV yang berhasil menguat yakni PT Bank Permata Tbk (BNLI), di mana sejak perdagangan perdana 2025 hingga sesi II hari ini melesat 10,31%.
Ada beberapa penyebab IHSG hingga menjelang pertengahan Januari 2025 masih cenderung bergerak mendatar. Pertama yakni kekhawatiran pasar akan kebijakan Presiden AS, Donald Trump ke depan.
Saat ini, pasar masih menanti pelantikan Trump sebagai Presiden AS berikutnya, di mana kebijakan Trump seperti perang dagang, pemangkasan pajak perusahaan di AS, dan potensi kenaikan inflasi, serta potensi gagalnya era suku bunga tinggi.
Selain itu, data-data ekonomi dan tenaga kerja di AS yang masih cukup panas juga menjadi sentimen negatif bagi IHSG.
Terbaru, Laporan Non-Farming Payroll (NFP) AS yang dirilis Jumat malam menunjukkan penciptaan256.000 lapangan kerja pada Desember, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 160.000 pekerjaan.
Hasil tersebut mempertegas ketahanan pasar tenaga kerja AS dan memicu spekulasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan lebih lambat dalam melonggarkan kebijakan suku bunganya.
Bahkan Bank of America (BoFA) merevisi proyeksi kebijakan moneter The Fed, menunjukkan bahwa siklus pemotongan suku bunga telah berakhir.
"Dengan pasar tenaga kerja yang tangguh, kami sekarang berpikir siklus pemotongan Fed telah selesai," tulis tim ekonomi AS bank tersebut dalam sebuah catatan tak lama setelah laporan pekerjaan dirilis.
Proyeksi baru ini dikaitkan dengan laporan pekerjaan Desember yang kuat, yang menunjukkan peningkatan besar dalam jumlah pekerja, dan sedikit penurunan tingkat pengangguran menjadi 4,1%.
Ekonom BofA menyoroti ketangguhan pasar tenaga kerja sebagai faktor kunci dalam penilaian ulang mereka, menunjukkan bahwa kondisi ekonomi tidak mendukung pelonggaran lebih lanjut oleh The Fed.
Hal ini semakin diperparah setelah hasil Federal Open market Committee (FOMC) Minutes The Fed tampak semakin mengkonfirmasi terhadap isyarat perlambatan laju cut rate tahun ini.
Mengutip dari risalah the Fed pekan lalu "Pejabat Federal Reserve pada pertemuan Desember mereka menyatakan kekhawatiran tentang inflasi dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan Presiden terpilih Donald Trump, yang mengindikasikan bahwa mereka akan bergerak lebih lambat dalam pemangkasan suku bunga karena ketidakpastian"
Tanpa menyebut nama Trump, ringkasan pertemuan tersebut menampilkan setidaknya empat penyebutan tentang dampak perubahan dalam kebijakan imigrasi dan perdagangan terhadap ekonomi AS.
Sejak kemenangan Trump dalam pemilihan umum 5 November 2024, Ia telah mengisyaratkan rencana untuk mengenakan tarif yang agresif dan menghukum terhadap Tiongkok, Meksiko, dan Kanada serta mitra dagang AS lainnya.
Selain itu, ia bermaksud untuk melakukan lebih banyak deregulasi dan deportasi massal.
"Hampir semua peserta menilai bahwa risiko kenaikan terhadap prospek inflasi telah meningkat," ungkap risalah tersebut.
"Sebagai alasan untuk penilaian ini, para peserta mengutip pembacaan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan baru-baru ini dan kemungkinan dampak dari perubahan potensial dalam kebijakan perdagangan dan imigrasi."
Likuiditas Ketat Penyebab Saham Perbankan Tak Kunjung Bangkit
Salah satu penyebab gerak saham perbankan yang tak kunjung bangkit yakni likuiditasnya yang sangat ketat. Likuiditas ketat mengacu pada kondisi di mana ketersediaan uang tunai atau aset likuid dalam sistem keuangan terbatas. Dalam situasi ini, bank, perusahaan, dan individu mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana atau pinjaman.
Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pertumbuhan secara tahunan (year-on-year/yoy) pertumbuhan kredit seringkali berada di atas pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Jika dilihat lebih rinci, selisih antara kedua hal tersebut juga tampak semakin melebar bulan demi bulan. Sebagai contoh pada Januari 2023, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,53% dan 8,5% (selisih 2,05 poin persentase).
Sementara pada Januari 2024, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan mengalami pelebaran masing-masing menjadi 11,8% dan 5,8% (selisih 6 poin persentase).
Selisih tersebut pun masih cukup lebar hingga pada data terakhir yakni November 2024 yang menunjukkan pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,79% dan 6,3% (selisih 4,49 poin persentase).
Pelebaran selisih ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit dari perbankan tampak lebih agresif dilakukan dibandingkan dana (DPK) yang disimpan. Dalam waktu dekat memang hal ini relatif aman, namun dalam jangka panjang terlebih apabila tidak ditindaklanjuti, maka perbankan akan kehilangan power untuk menyalurkan kredit ke masyarakat/korporat.
Pantauan CNBC Indonesia Research berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang dirilis dari BI melaporkan bahwa golongan pemilik Sektor Swasta Lainnya terkhusus dari sisi Perseorangan merupakan andil terbesar dalam hal DPK.
Namun jika dilihat trennya dalam satu tahun terakhir (Oktober 2023-Oktober 2024), pertumbuhan DPK paling tinggi terjadi pada golongan pemilik Lembaga Keuangan Lainnya (Swasta) yang berisi Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, Modal Ventura, Perusahaan Sekuritas, Perusahaan Reksadana, dan lainnya dengan pertumbuhan sebesar 32,53%.
Seperti diketahui, pada September 2023, BI meluncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi moneter menggantikan Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan.
Bagi bank, SRBI bisa disimpan untuk menambah likuiditas ataupun mendapatkan revenue dengan menjualnya ke pihak lain seperti perusahaan pengelola aset, investor baik dalam ataupun luar negeri, dan investor ritel.
Kehadiran SRBI semula diharapkan bisa meningkatkan pasar sekunder (jual-beli) SRBI antar bank serta bank dengan investor institusi keuangan asing. SRBI juga diharapkan bisa meningkatkan transaksi repo antar bank dengan menggunakan SRBI sebagai kolateral.
Imbal hasil dari SRBI saat ini berada di kisaran 7%, masih 100 bps di atas BI rate. Dengan tingginya imbal hasil yang diperoleh maka menempatkan dana di SRBI akan sangat menarik.
Imbal hasil SRBI akan lebih menarik sebagai acuan dibandingkan BI rate saat bertransaksi pinjam meminjam antar bank ataupun transaksi repo.
Tingginya imbal hasil SRBI ini juga memberikan kesempatan bagi investor baik dalam maupun luar negeri untuk mengalokasikan dananya dibandingkan dimasukkan ke dalam sistem perbankan di Indonesia dalam bentuk DPK.
Sebagai informasi, selama 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 24 Desember 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp37,94 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp167,83 triliun di SRBI.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(chd/chd)