Prabowo Ingin Bisnis di RI Murah dan Gampang, Nyatanya Tak Semudah Itu

3 weeks ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia - Iklim bisnis di Indonesia dihadapkan pada sejumlah persoalan, mulai dari tingginya biaya logistik hingga sulitnya mendapatkan perijinan.

Ketika negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia melesat maju dengan efisiensi ekonomi, Indonesia masih bergulat dengan birokrasi yang berbelit dan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang menjulang tinggi.

Presiden Prabowo Subianto bersama jajaran ekonominya, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, bertekad untuk menurunkan ICOR ke level 4 dalam waktu 3-4 tahun ke depan. Namun, mampukah ambisi ini menyelamatkan Indonesia dari ketertinggalan?

ICOR Tinggi, Biaya Ekonomi Pun Mahal

ICOR merupakan cerminan betapa efisiennya sebuah negara memanfaatkan investasi untuk menghasilkan output ekonomi.  Semakin besar nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu. Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi mulai dari sarana infrastrukur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan ICOR pada tahun 2022 sebesar 6,25%. Angka ini sudah turun di bawah 2021 yakni 8,16%.

Artinya, untuk menghasilkan output 1 maka Indonesia membutuhkan 6,25 kali investasi. Misalnya, dibutuhkan investasi sebesar Rp 6,51 miliar untuk menghasilkan output sebesar Rp 1 miliar.

Untuk perbandingan, beberapa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Weda Bay di Maluku Utara berhasil mencatatkan ICOR di bawah 4, berkat efisiensi dari hulu ke hilir. "Kalau kita punya lebih banyak wilayah seperti Weda Bay, Indonesia bisa jadi benchmark global," ujar Airlangga dalam forum Indonesia Business Council (13/1/2025).

Namun secara nasional, ICOR yang tinggi mencerminkan persoalan mendasar. Infrastruktur yang belum terintegrasi, birokrasi yang rumit, biaya logistik yang mahal, hingga regulasi yang sering kali tumpang tindih menjadi akar masalah.

World Bank melalui laporan Ease of Doing Business (EoDB) 2020 menempatkan Indonesia di peringkat 73, di bawah Vietnam (70) dan Malaysia (12). Ini menunjukkan bahwa selain ICOR, aspek kemudahan berbisnis juga menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.

Ease of Doing Business, Kenapa Tetangga Lebih Unggul?

Malaysia dan Thailand, misalnya, berhasil menyederhanakan proses izin usaha dan pengelolaan infrastruktur. Malaysia bahkan menghapus inspeksi jalan dan drainase yang dilakukan Dewan Kota Kuala Lumpur untuk mempercepat konstruksi.

Thailand di sisi lain memperkenalkan inspeksi bertahap dalam proses pembangunan untuk menjaga efisiensi. Langkah-langkah ini tak hanya meningkatkan peringkat mereka dalam EoDB tetapi juga mengurangi biaya ekonomi secara signifikan.

Sebaliknya, Indonesia menghadapi tumpang tindih peraturan, ego sektoral, dan lambannya kepastian hukum. Proses memulai bisnis (starting a business) menjadi titik terlemah dengan peringkat 140, jauh tertinggal dari Malaysia (126) dan Vietnam (115). Bahkan, biaya tinggi dalam pemberian izin lahan sering kali menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.

Untuk menurunkan ICOR dan memperbaiki EoDB, pemerintah memprioritaskan pengembangan KEK yang terintegrasi. "Kalau infrastruktur terhubung dan efisiensi meningkat, roda bisnis akan berputar lebih cepat," tegas Airlangga. Namun, ia juga mengingatkan bahwa sektor seperti pariwisata masih terkendala, terutama akibat mahalnya tiket pesawat. "Kapasitas angkutan udara kita masih jauh dari kondisi sebelum pandemi Covid-19," tambahnya.

Selain itu, Airlangga memastikan bahwa efisiensi dalam KEK pariwisata perlu didukung oleh perbaikan regulasi lintas sektor. Proses ini memang membutuhkan waktu, namun langkah konkret seperti integrasi infrastruktur dan digitalisasi layanan perizinan mulai menunjukkan hasil positif di beberapa wilayah seperti Jakarta dan Surabaya.

Vietnam Melaju Kencang, Indonesia di Persimpangan

Dalam konteks ASEAN, Vietnam mencatatkan peningkatan investasi asing sebesar 101% selama 2013-2022, jauh melampaui Indonesia yang hanya tumbuh 20%. Meski Indonesia masih menarik bagi investor asing dengan angka investasi di kisaran US$ 20 miliar, stagnasi ini menunjukkan perlunya terobosan besar dalam kebijakan ekonomi.

World Bank juga menyoroti regulasi ketenagakerjaan Indonesia yang terlalu rigid. Kebijakan upah minimum yang tinggi sering kali membebani pelaku usaha, terutama UMKM. Riset menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% di sebuah provinsi di Indonesia dapat mengurangi pembukaan lapangan kerja hingga 0,8%. Kondisi ini menjadi penghalang signifikan dalam meningkatkan daya saing Indonesia di mata global.

Dengan target ICOR di level 4 dan perbaikan EoDB, pemerintahan Presiden Prabowo memikul tugas berat untuk membawa Indonesia menuju efisiensi ekonomi yang lebih baik. Langkah-langkah seperti digitalisasi layanan, integrasi infrastruktur, dan reformasi birokrasi harus dieksekusi dengan cepat dan tepat.

Namun, tanpa komitmen kuat dari semua pihak, Indonesia berisiko tetap menjadi negara dengan potensi besar tetapi realisasi yang minim. Saat negara-negara tetangga melesat maju, waktunya bagi Indonesia untuk benar-benar membuktikan bahwa ambisi ini bukan sekadar mimpi kosong.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research