REPUBLIKA.CO.ID, COPENHAGEN – Perubahan iklim diperkirakan mendorong meluasnya habitat nyamuk pembawa malaria. Temuan baru University of Copenhagen mengungkapkan, risiko kesehatan publik dapat meningkat tajam bila pemanasan global tak dibatasi.
Setiap tahun sekitar 600 ribu orang meninggal akibat malaria, sebagian besar di Sub-Sahara Afrika. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kelembapan dapat menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi nyamuk malaria untuk berkembang biak dan menyebar.
“Penelitian kami mengindikasikan perubahan iklim akan menguntungkan nyamuk malaria, bila tidak segera bertindak, sekitar 200 juta sampai 1 miliar orang berisiko (terserang malaria),” kata ketua penelitian yang dipublikasikan di jurnal Global Change Biology, Tiem van der Deure seperti dikutip Phys.org, Kamis (27/11/2025).
Van der Deure yang merupakan mahasiswa doktoral University of Copenhagen menjelaskan angka 200 juta adalah proyeksi konservatif, sementara skenario 1 miliar memasukkan pertumbuhan populasi. Ia menegaskan, perluasan area sebaran malaria akan membuat jutaan orang terpapar tanpa memiliki imunitas maupun pengalaman menghadapi penyakit tersebut.
Peneliti menyebut malaria telah lama menjadi beban kesehatan di Afrika, namun dinamika iklim membuat ancaman ini semakin kompleks. Studi Copenhagen mengungkap perubahan iklim berpotensi mendorong nyamuk pembawa malaria bergerak ke wilayah-wilayah yang sebelumnya bebas malaria.
Para peneliti menganalisis respons enam spesies nyamuk pembawa malaria terhadap perubahan iklim. Anna-Sofie Stensgaard dari Departemen Kedokteran Hewan University of Copenhagen mengatakan perbedaan antarnyamuk sangat signifikan meski tidak terlihat dengan mata telanjang. “Namun mereka memiliki perbedaan yang sangat besar, bahkan saat kami tidak bisa menemukannya dengan mata telanjang, perilaku dan kondisi lingkungan yang mereka sukai sangat bervariasi,” kata Stensgaard.
Tim peneliti melatih algoritma dengan data ribuan nyamuk yang diobservasi, lalu memodelkan kondisi lingkungan yang paling menguntungkan bagi masing-masing spesies dalam berbagai skenario iklim. “Dari enam spesies yang kami teliti, tiga spesies diperkirakan akan menyebar, sementara (populasi) tiga spesies lainnya tidak turun signifikan, secara keseluruhan ini tren yang mengkhawatirkan,” ujar van der Deure.
Hasil proyeksi menunjukkan habitat nyamuk akan meluas terutama di Afrika Timur dan Tengah, sementara Afrika Barat tetap menjadi wilayah yang paling disukai. Van der Deure menegaskan penyebaran ini masih dapat dicegah jika pemanasan global dibatasi.
“Skenario-skenario iklim kami menunjukkan, kita dapat mencegah hal ini dengan membatasi perubahan iklim, kami meneliti satu skenario di mana dunia berlangsung seperti ini seterusnya dan skenario ketika kita berhasil mencapai target Perjanjian Paris,” katanya.
Profesor David Nogues dari Pusat Mikrobiologi, Evolusi dan Iklim University of Copenhagen menilai temuan ini menjadi pengingat kuat mengenai urgensi mencapai target Perjanjian Paris. Ia menyebut kegagalan menahan pemanasan global tidak hanya meningkatkan permukaan air laut dan intensitas cuaca ekstrem, tetapi juga membuka jalan bagi krisis kesehatan publik.
Penelitian ini memperingatkan otoritas kesehatan global agar bersiap menghadapi perluasan penyebaran malaria ke wilayah yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak penyakit tersebut. Stensgaard mencontohkan Eropa Utara, yang meski pernah mengalami malaria di masa lalu, suhu saat ini tetap terlalu dingin bagi parasit untuk berkembang biak. “Globalisasi, perdagangan internasional dan penggunaan lahan juga memainkan peran besar,” ujarnya.

2 hours ago
2










































