- Ekonomi dunia dan Indonesia diproyeksi masih diliputi ketidakpastian dan kekhawatiran
- Terpilihnya kembali Trump, kebijakan The Fed, serta ketegangan geopolitik menjadi risiko bagi ekonomi di 2025
- IHSG, rupiah, hingga harga komoditas akan menghadapi tantangan yang tidak ringan sepanjang 2025
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia menatap 2025 dengan sejumlah kekhawatiran dan keraguan. Suasana muram sangat terasa bahkan sebelum dunia melangkah ke awal 2025.
Untuk menyambut lembaran baru 2025, CNBC Indonesia hari ini menghadirkan edisi khusus membahas prospek ekonomi 2025.
Prospek tersebut akan dilihat dari berbagai sudut mulai dari kerangka ekonomi global dan nasional dari kebijakan fiskal dan moneter. Bagaimana dampak perkembangan global dan nasional terhadap pergerakan rupiah, bursa saham, dan harga komoditas tahun ini selengkapnya bisa dibaca pada halaman 1-6 artikel ini
Ketidakpastian ekonomi dan politik diperkirakan akan semakin kencang menghantui dunia dan Indonesia tahun ini.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed), ketegangan geopolitik, dan macetnya ekonomi China menjadi sejumlah faktor mengapa dunia menatap penuh kecemasan di 2025.
Dari dalam negeri, banyak kekhawatiran juga belum reda. Pelemahan daya beli, banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), serta melemahnya harga komoditas menjadi alasan pesimisme. Namun, tidak semuanya muram.
Satu hal positif yang patut ditunggu dari dalam negeri adalah hadirnya program dari pemerintahan baru. Presiden Prabowo Subianto akan memimpin secara penuh mulai 2025.
Sejumlah program populer diharapkan ikut menggerakkan ekonomi, terutama makan siang gratis. Insentif yang ditebar pemerintah dari awal tahun juga diharapkan bisa mendongrak daya beli.
Dunia Dihantui Kebijakan Trump Hingga The Fed
Bank Dunia memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,7% pada 2025, sedikit lebih baik dibandingkan 2024 (2,6%). Sebaliknya, Dana Moneter Internasional (IMF) melihat ekonomi global akan stagnan 3,2% pada 2025.
Dalam padangan IMF, ekonomi dunia akan stagnan karena adanya eskalasi konflik regional, kebijakan moneter yang tetap ketat dalam waktu lama, meningkatnya volatilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan yang lebih dalam di China, dan terus meningkatnya kebijakan proteksionis.
Terpilihnya Trump dikhawatirkan akan menajamkan kebijakan proteksionisme sejumlah negara. Politikus berusia 78 tahun tersebut pernah menjadi penguasa AS pada 2016-2020 dan memicu perang dagang dengan China melalui kebijakan proteksionisme tarifnya.
Perang Dagang Trump periode pertama memanas pada 2018 hingga membuat pertumbuhan global melandai ke 3,0% pada tahun tersebut dari 3,2% pada 2017.
Selama masa kampanye presiden periode 2 hingga menjelang pelantikan periode 2 pada Januari 2025, Trump bahkan sudah berkoar-koar akan kembali menggunakan semboyan "America First" dalam kebijakakannya.
Berbeda dengan periode pertamanya, Trump pada periode 2 atau kerap disebut Trump 2.0 diperkirakan akan membuat dunia lebih cemas karena proteksionismenya yang lebih luas. Tak hanya melawan China, Trump berkomitmen untuk mengurangi defisit dengan negara-negara yang selama ini menyumbang defisit dalam jumlah besar.
Berkaca pada data statistik perdagangan AS, Indonesia menjadi salah satu penyumbang defisit terbesar ke-15.
Dampak paling terasa di Asia kemungkinan besar akan terjadi melalui kebijakan Trump terkait perdagangan, di mana ia mengancam selama kampanye untuk mengenakan tarif 60% pada produk-produk China dan tarif universal sebesar 10% atau 20%.
Katrina Ell, direktur riset ekonomi di Moody's Analytics, mengatakan Asia menjadi salah satu wilayah yang bisa dirugikan oleh kebijakan tarif Trump.
"Kebijakan perdagangan global Trump menimbulkan kecemasan khususnya di Asia, mengingat platform proteksionis yang kuat, di mana tarif yang lebih agresif pada impor ke AS telah dijanjikan," tutur Ell, dikutip dari BBC.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mewanti-wanti mengenai "kemuraman" pada 2025.
Perry menjelaskan terpilihnya Trump dengan kebijakan "American First" bisa membawa perubahan besar terhadap landscape geopolitik dan perekonomian dunia.
Terpilihnya Trump bisa berdampak pada kenaikan tarif hingga perang dagang, meningkatkan ketegangan politik hingga memberi disrupsi pada rantai pasok global.
"Akibatnya prospek ekonomi global akan meredup pada 2025 dan 2026. Ketidakpastian akan semakin tinggi," tutur Perry, dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) pada hari ini, Jumat (29/11/2024).
Perry menjelaskan setidaknya ada lima hal yang tengah mengancam ekonomi global dan memicu ketidakpastian. Lima faktor tersebut adalah:
1. Slower & divergent growth
Pertumbuhan dunia saat ini tidak merata di mana secara umum melandai.
"Pertumbuhan ekonomi AS membaik, Ekonomi Eropa dan China melambat. Indoensai dan India cukup baik," tutur Perry.
2.Reemergence inflation pressures
Laju penurunan inflasi dunia diperkirakan akan melambat pada 2026 karena gangguan rantai pasok dan perang dagang
3. Higher US rate
Penurunan suku bunga bank sentral AS The Federal Reseve (The Fed) akan semakin terbatas dan lebih lambat. Sementara itu, imbal hasil US Treasury akan naik tinggi di 2025 dan 2026 karena membengkaknya defisit dan utang AS.
4. Strong dolar
Dolar AS dan imbal hasil US Treasury melonjak tajam usai Trump terpilih. Pada hari ini, Senin (13/1/2025), indeks dolar (DXY) bahkan menembus 109,,64 atau level tertingginya dalam setahun.
5. Invest in America
Kenaikan dolar serta meningkatnya US Treasury memicu derasnya aliran modal asing ke AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengingatkan akan besarnya risiko ke depan. Konflik geopolitik yang terjadi di Timur Tengah, hingga Eropa, seperti antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir memiliki imbas terhadap perekonomian banyak negara, termasuk negara-negara maju.
"Jadi aku mohon supaya kita semua terus jaga di awal tahun kebersihan berfikir kebersihan hati untuk terus kerja sama untuk kemudian menjaga, merawat, membangun, melindungi Indonesia dari berbagai kemungkinan guncangan," kata Sri Mulyani saat mewakili Presiden Prabowo Subianto dalam seremoni Pembukaan Perdagangan Bursa Efek Indonesia 2025, Jakarta, Selasa (2/1/2025).
Selain Trump dan geopolitik, kebijakan The Fed serta masih lambatnya ekonomi China bisa menjadi risiko tahun ini.
Seperti diketahui, dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Desember 2024, The Fed menunjukkan bahwa mereka mungkin hanya akan menurunkan dua kali lagi pada 2025.Ekspektasi tersebut tercermin dari dot plot terbaru Desember ini. Dot plot merupakan matriks ekspektasi dan pandangan suku bunga masa depan dari masing-masing anggota FOMC.
Merujuk dot plot terbaru, dua pemotongan yang diekspektasikan pada 2025 ini hanya setengah dari target komite ketika plot tersebut terakhir diperbarui pada September dengan ekspektasi pemangkasan sebesar 100 bps pada 2025.
"Dengan langkah hari ini, kami telah menurunkan suku bunga sebesar satu poin persentase dari puncaknya, dan stance kebijakan kami kini jauh lebih longgar. Oleh karena itu, kami bisa lebih berhati-hati saat mempertimbangkan penyesuaian lebih lanjut terhadap suku bunga kebijakan kami." ujar Chairman The Fed Jerome Powell di konferensi pers usai rapat Desember 2024 lalu.
Trump telah mengusulkan berbagai pemotongan pajak pada manfaat Jaminan Sosial, pendapatan tip, dan pendapatan lembur serta pengurangan regulasi. Secara kolektif, langkah-langkah ini dapat merangsang pertumbuhan. Pada saat yang sama, Trump mengancam untuk mengenakan berbagai tarif dan mencari deportasi massal migran, yang dapat mempercepat inflasi.
Dengan pelonggaran The Fed yang mengecil maka kemungkinan besar BI juga akan memperlambat pemangkasan suku bunga acuan mereka. Kondisi ini bisa menekan pertumbuhan.
Pelemahan Ekonomi China
Bank Dunia memproyeksi ekonomi China hanya akan tumbuh 4,5% tahun ini. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan 2023 sebesar 5,2% atau proyeksi di 2024 sekitar 5%.
Ekonomi Sang Naga melandai dengan cepat dalam setahun terakhir dan hanya mencapai 4,6% (year on year/yoy) pada kuartal III-2024.
Melemahnya ekonomi China tentu menjadi alarm buat Indonesia mengingat Tiongkok adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi Asia, mitra dagang terbesar Indonesia dan salah satu investor asing terbesar di Tanah Air.
Melandainya ekonomi China juga bisa menekan harga komoditas mengingat Tiongkok adalah konsumen terbesar untuk sejumlah komoditas, termasuk batu bara.
Ancaman Daya Beli dan Tugas Berat APBN
Di tengah tingginya ketidakpastian, APBN diharapkan bisa menjadi buffer sekaligus penggerak pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Dalam APBN 2025, pemeriintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun. Total belanja negara 2025 mencapai sebesar Rp3.621,3 triliun, termasuk sebesar Rp1.541,4 triliun belanja non-K/L pada belanja pemerintah pusat. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp616,2 triliun.
Belanja negara inilah yang diharapkan ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi, terutama dari rangsangan insentif.
Pemerintah mengalokasikan insentif sebesar Rp 265,6 triliun untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025. Insentif ini bertujuan untuk dimaksudkan untuk melindungi daya beli masyarakat dan UMKM, mendorong konsumsi hingga investasi.
Daya beli masyarakat menjadi pembahasan hangat sejak pertengahan tahun lalu. Sejumlah indikator menunjukkan daya beli masyarakat melandai. Di antaranya adalah deflasi selama lima bulan beruntun (Mei-September 2024), anjloknya penjualan mobil, fenomena makan tabungan, berkurangnya tabungan di masyarakat, anjloknya kelas menengah, hingga penjualan ritel untuk beberapa sektor yang ambruk.
Melemahnya daya beli bahkan ikut menyeret aktivitas manufaktur Indonesia PMI Manufaktur ke jurang koreksi. Indeks PMI Manufaktur terkoreksi selama lima bulan beruntun (Juli-November 2024).
Mengawali 2025, kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dengan kembali ekspansifnya PMI serta berakhirnya deflasi..
Pages