Jakarta, CNBC Indonesia- Harga batu bara menutup Januari 2025 dengan catatan penguatan, setelah mencapai US$ 121,9 per ton pada 31 Januari. Kenaikan ini menandai pemulihan harga dari posisi terendahnya di awal bulan.
Kenaikan ini sekaligus mencerminkan dampak berbagai sentimen global, mulai dari lonjakan impor Eropa hingga ketidakpastian ekonomi China. Setelah sempat tertekan di awal tahun, harga batu bara global berhasil bangkit berkat kombinasi faktor geopolitik dan gangguan pasokan.
Awal Tahun Lesu, China Jadi Faktor Utama
Memasuki awal Januari, harga batu bara cenderung melemah akibat permintaan global yang stagnan. Data menunjukkan pada 15 Januari harga batu bara bertengger di US$ 117,15 per ton, mencerminkan pelemahan dibandingkan periode sebelumnya. Sentimen utama berasal dari China, di mana aktivitas manufaktur terkontraksi. Indeks Manufaktur PMI resmi China turun ke 49,1, mencerminkan pelemahan industri yang berujung pada kekhawatiran terhadap permintaan batu bara dari negara konsumen terbesar dunia itu.
Gelombang Bangkit di Tengah Sanksi Rusia dan Jerman
Namun, sentimen mulai berbalik pada 22 Januari ketika sanksi baru Amerika Serikat terhadap Rusia memperketat pasokan global. Batu bara Rusia mengalami penurunan ekspor, memicu kenaikan harga akibat kekhawatiran pasar terhadap ketidakseimbangan pasokan. Pada periode ini, harga batu bara sempat melonjak hingga US$ 124,45 per ton, mencatatkan level tertinggi sejak awal tahun.
Sementara itu, di Eropa, Jerman memberikan kejutan dengan mengindikasikan kemungkinan memperpanjang masa operasional pembangkit batu bara mereka. Kendala dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga gas serta keandalan energi terbarukan yang belum stabil mendorong Jerman untuk tetap mengandalkan batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pernyataan dari CEO operator jaringan Jerman Amprion GmbH memperkirakan bahwa pembangkit batu bara bisa tetap diperlukan hingga 2030-an, menjadi angin segar bagi pasar batu bara global.
Trump dan Batu Bara Amerika, Gebrakan yang Kontra Tren
Sementara Eropa cenderung mengurangi ketergantungan batu bara, mantan Presiden AS Donald Trump kembali membuat gebrakan kontroversial dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos. Trump mengusulkan pembangunan pembangkit listrik batu bara baru untuk mengamankan pasokan listrik bagi pertumbuhan kecerdasan buatan (AI). Pernyataan ini bertentangan dengan tren energi bersih di AS, di mana batu bara hanya menyumbang 16% dari total energi nasional.
Meskipun demikian, kelompok industri batu bara di AS melihat kebijakan ini sebagai peluang, terutama bagi ekspor. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pembangkit listrik tenaga batu bara di AS lebih mahal dibandingkan sumber energi terbarukan, menimbulkan keraguan atas keberlanjutan strategi ini.
Eropa Banjir Impor, Batu Bara Menguat
Pada akhir Januari, harga batu bara kembali menguat seiring dengan lonjakan impor Eropa. Data S&P Global Commodities at Sea menunjukkan total impor batu bara termal Eropa pada kuartal IV 2024 melonjak menjadi 8,5 juta metrik ton, naik signifikan dari 5,2 juta metrik ton di kuartal sebelumnya. Lonjakan ini didorong oleh kombinasi faktor, termasuk volatilitas harga gas dan produksi tenaga angin yang lebih lemah dari perkiraan. Akibatnya, harga batu bara CIF ARA 6.000 kcal/kg NAR naik menjadi US$ 117,15 per metrik ton dari sebelumnya US$ 113,45.
Tren Menurun di Tengah Transisi Energi Meski mengalami kebangkitan di akhir bulan, prospek batu bara tetap dibayangi oleh tren transisi energi global. Uni Eropa semakin agresif dalam menghapus batu bara dari bauran energinya, dengan 11 negara berkomitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara dalam lima tahun ke depan. Sementara itu, China dan India tetap menjadi faktor penentu, meskipun konsumsi batu bara di China diperkirakan stagnan di 4.940 juta ton pada 2025.
Secara keseluruhan, harga batu bara global diperkirakan akan menghadapi tekanan dalam jangka panjang. Bank Dunia memproyeksikan harga batu bara akan melandai sekitar 12% pada 2025 akibat moderasi permintaan China. Namun, volatilitas tetap menjadi faktor utama, dengan ketidakpastian geopolitik dan kebijakan energi dari negara-negara utama yang berpotensi mengerek harga di tengah transisi energi yang tak terhindarkan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(emb/emb)