Likuiditas Bank Kering, 'Jantung' Ekonomi RI Bisa Berhenti Berdenyut

3 weeks ago 12

Jakarta, CNBC Indonesia - Ilustrasi aliran darah yang semakin tak lancar atau yang dikenal sebagai likuiditas ketat di dunia perbankan Indonesia mungkin cukup menggambarkan kekhawatiran yang ada saat ini.

Likuiditas ketat mengacu pada kondisi di mana ketersediaan uang tunai atau aset likuid dalam sistem keuangan terbatas. Dalam situasi ini, bank, perusahaan, dan individu mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana atau pinjaman.

Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pertumbuhan secara tahunan (year on year/yoy) pertumbuhan kredit seringkali berada di atas pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Jika dilihat lebih rinci, selisih antara kedua hal tersebut juga tampak semakin melebar bulan demi bulan. Sebagai contoh pada Januari 2023, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,53% dan 8,5% (selisih 2,05 poin persentase).

Sementara pada Januari 2024, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan mengalami pelebaran masing-masing menjadi 11,8% dan 5,8% (selisih 6 poin persentase).

Selisih tersebut pun masih cukup lebar hingga pada data terakhir yakni November 2024 yang menunjukkan pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,79% dan 6,3% (selisih 4,49 poin persentase).

Pelebaran selisih ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit dari perbankan tampak lebih agresif dilakukan dibandingkan dana (DPK) yang disimpan. Dalam waktu dekat memang hal ini relatif aman, namun dalam jangka panjang terlebih apabila tidak ditindaklanjuti, maka perbankan akan kehilangan power untuk menyalurkan kredit ke masyarakat/korporat.

Pantauan CNBC Indonesia Research berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang dirilis dari BI melaporkan bahwa golongan pemilik Sektor Swasta Lainnya terkhusus dari sisi Perseorangan merupakan andil terbesar dalam hal DPK.

Namun jika dilihat trennya dalam satu tahun terakhir (Oktober 2023-Oktober 2024), pertumbuhan DPK paling tinggi terjadi pada golongan pemilik Lembaga Keuangan Lainnya (Swasta) yang berisi Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, Modal Ventura, Perusahaan Sekuritas, Perusahaan Reksadana, dan lainnya dengan pertumbuhan sebesar 32,53%.

SRBI Jadi Saksi Likuditas yang Kering

Seperti diketahui, pada September 2023, BI meluncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi moneter menggantikan Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) Surat Berharga Negara atau RR SBN untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan.

Bagi bank, SRBI bisa disimpan untuk menambah likuiditas ataupun mendapatkan revenue dengan menjualnya ke pihak lain seperti perusahaan pengelola aset, investor baik dalam ataupun luar negeri, dan investor ritel.

Kehadiran SRBI semula diharapkan bisa meningkatkan pasar sekunder (jual-beli) SRBI antar bank serta bank dengan investor institusi keuangan asing. SRBI juga diharapkan bisa meningkatkan transaksi repo antar bank dengan menggunakan SRBI sebagai kolateral.

Imbal hasil dari SRBI saat ini berada di kisaran 7%, masih 100 bps di atas BI rate. Dengan tingginya imbal hasil yang diperoleh maka menempatkan dana di SRBI akan sangat menarik.

Imbal hasil SRBI akan lebih menarik sebagai acuan dibandingkan BI rate saat bertransaksi pinjam meminjam antar bank ataupun transaksi repo.

Tingginya imbal hasil SRBI ini juga memberikan kesempatan bagi investor baik dalam maupun luar negeri untuk mengalokasikan dananya dibandingkan dimasukkan ke dalam sistem perbankan di Indonesia dalam bentuk DPK.

Sebagai informasi, selama 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 24 Desember 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp37,94 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp167,83 triliun di SRBI.

Kehadiran SRBI dan banyaknya alternatif instrumen penempatan dana memberikan dampak yang kurang baik bagi pertumbuhan simpanan bank terutama dalam hal deposito.

Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupulu mengatakan bahwa likuiditas masih tersedia di pasar, namun mahal akibat dampak dari suku bunga tinggi.

"Likuiditas aman, likuiditas no issue. Cuma masalah kan harganya. Jadi kalau tanya 'Likuiditas ketat nggak?' Definisi ketat itu kan pesannya nggak ada. Likuiditas ada, tapi harganya naik. Itu yang terjadi Jadi lo beli pakaian, pakaian ada nggak? Ada, tapi harganya naik," kata Nixon.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan bahwa likuiditas perbankan lebih dari cukup untuk mendukung penyaluran kredit. Satu indikator adalah rasio alat likuid per dana pihak ketiga (AL/DPK) per September sebesar 25,4%, lebih tinggi dari rerata tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun-tahun sebelumnya AL/DPK lebih kurang sekitar 15%. "Dari sisi makroprudensial juga kami pastikan bahwa likuiditas di perbankan secara keseluruhan adalah lebih dari cukup," katanya.

Soal likuiditas ketat sebenarnya sudah menjadi pembahasan yang cukup panjang beberapa waktu lalu dan hal ini juga sempat menjadi concern Presiden RI 2019-2024, Joko Widodo.

Pada akhir 2023 Jokowi sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap peredaran uang yang makin kering, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sekitar 5%.

Jokowi menilai masalah tersebut muncul karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).

Terpisah, ekonom LPPI Ryan Kiryanto mengatakan bahwa secara umum, perbankan sedang memiliki "isu besar" terkait likuiditas. Hal ini terlihat dari posisi rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan yang mencapai 87,50% per Oktober 2024, menunjukkan bahwa likuiditas perbankan RI sudah ketat.

"Nah, itu jelas menunjukkan bahwa space atau ruang bank kita untuk lebih agresif ekspansi [kredit] semakin terbatas. Apalagi bank-bank yang memang memiliki stance yang konservatif. Konservatif itu adalah bankir-bankir yang nggak mau ngebut, nggak mau ngegas, nggak mau agresif. Dengan LDR di bank itu 80% ke atas, mereka pasti lebih prudent, lebih hati-hati artinya tidak terlalu bernafsu ya untuk ekspansi," jelas Ryan saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024).

IndONIA Lampaui BI Rate

Ciri lain yang mengindikasikan likuiditas yang ketat yakni return Indonesia Overnight Index Average (IndONIA) yang melebih suku bunga acuan BI (BI rate).

Terakhir, pada 10 Januari 2025, terpantau imbal hasil IndONIA sebesar 6,05%. Angka ini di atas dari BI rate yang sejak 18 September 2024 berada di level 6%.

Bahkan jika dilihat lebih jauh, sejak pertengahan Agustus 2024 hingga Januari 2025, imbal hasil IndONIA seringkali berada di atas BI rate.

Sebagai catatan, IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia

IndONIA juga dapat diartikan sebagai suku bunga acuan yang mencerminkan rata-rata suku bunga untuk transaksi pinjaman antarbank (overnight) di Indonesia. INDONIA digunakan sebagai referensi untuk suku bunga jangka pendek dalam transaksi keuangan dan merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pasar uang.

Lantas, apa perbedaan IndONIA dengan BI rate?

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research