Ini Sosok Penjaga Laut RI, Bikin Bangsa Asing Tak Lagi Bisa Asal Masuk

3 weeks ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah merdeka Indonesia rentan dimasuki negara asing. Bukan disebabkan oleh militer yang lemah, tetapi karena aturan berlaku. Indonesia mewarisi aturan peninggalan kolonial, yakni Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam aturan ini, pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Misalkan, Pulau Jawa hanya memiliki laut 3 mil dari garis pantai. Laut bebas setelah jarak tersebut dinyatakan sebagai laut internasional.

Dengan demikian, wilayah laut Indonesia antarpulau tidak terintegrasi. Laut internasional di antara pulau-pulau besar jelas membuat Indonesia rentan dimasuki negara asing. Kondisi demikian membuat para diplomat awal Indonesia memperjuangkan konsep kesatuan wilayah laut. 

Singkat cerita, konsep tersebut melahirkan Deklarasi Djuanda pada 1957. Lewat Deklarasi Djuanda, pemerintah Indonesia menyebut batas terluar wilayah Indonesia terhitung 3 mil, 12 mil atau 6 mil laut ditambah 6 mil zona perikanan. Pemerintah menuangkan deklarasi ini lewat UU No.4 Tahun 1960.

Meski begitu, aturan dan deklarasi bersifat semu sebab hanya diakui oleh Indonesia sendiri. Awaloedin Djamin dalam Ir. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (2001) menyebut, dunia internasional ramai-ramai mengecam Deklarasi Djuanda. Kedaulatan Indonesia pun kembali terganggu.

Sampai akhirnya, semua masalah itu selesai dua dekade kemudian, salah satunya, berkat tangan dingin Hasjim Djalal. 

Tokoh Integrasi Laut Indonesia

Bagi Hasjim Djalal, laut tak semestinya dipandang sebagai alat pemisah dan pemecah-belah kesatuan bangsa. Laut harus menjadi pemersatu. 

"Laut harus sebagai pemersatu, penghubung, bukan pemisah, yang mengarahkan kita berpikir sebagai satu bangsa dalam satu kesatuan teritorial antara darat, laut, udara dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya, termasuk kekayaan alamnya," tutur Hasjim, dalam makalah berjudul "Deklarasi Djuanda dalam Perspektif Sejarah" (2010).

Konsep yang juga dikenal Wawasan Nusantara ini kemudian jadi salah satu perjuangan Hasjim di percaturan politik internasional. Hasjim memang sudah terlibat aktif di bidang kelautan sejak tahun 1961.

Sekembalinya dari AS, dia menjadi Panitia Hukum Laut Indonesia di Dewan Maritim Nasional bentukan PM Djuanda. Di sana dia berupaya merumuskan Wawasan Nusantara untuk tersebar di dalam negeri yang kemudian melahirkan Keppres No.103 tahun 1963 terkait perairan Indonesia sebagai suatu kesatuan lingkaran maritim yang tunduk pada hukum Indonesia.

Namun, titik kulminasi perjuangan Hasjim terjadi pada 1973. Kala itu, urgensi pengaturan wilayah laut semakin tinggi usai terjadi banyak kasus maritim. Dari segi geopolitik misalnya, meningkatnya Perang Dingin (1945-1991) membuat banyak kapal militer asing seenaknya masuk perairan internasional, yang sebenarnya, masuk wilayah Indonesia. 

Maka, dia pun memperjuangkan Wawasan Nusantara di Konferensi Hukum Laut PBB dan berbagai perjanjian diplomatik bersama negara tetangga. Kebetulan, Hasjim bertugas sebagai Direktur Hukum dan Perjanjian Internasional di Departemen Luar Negeri. Kelak, dia juga bakal menjadi Dubes RI untuk PBB. 

Hasjim mengaku diskusi di PBB soal laut Indonesia berjalan sangat alot. Saat itu, dia didukung penuh dan dibantu oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja (1979-1988).

Dalam "Indonesia's Archipelagic Sea Lanes" (2009) Hasjim menceritakan, salah satu isu yang diusung tak hanya mengakui kepentingan negara kepulauan dalam menjaga persatuan dan menjalankan kedaulatan atas perairan, tapi juga soal lalu lintas kapal asing. Maksudnya, aturan negara kepulauan harus juga mengakomodasi lalu lintas pelayaran asing. 

Untungnya, dalam adu urat di meja perundingan kali ini, Hasjim banyak mendapat dukungan negara-negara sahabat usai lebih dulu menggalang dukungan mereka. Pria kelahiran 1934 ini mengaku tak seperti perjuangan lampau yang "soft power". Kali ini dia sangat garang. Sampai akhirnya, negara-negara berbasis kepulauan banyak mendukung langkah Indonesia. Sebab, jika konsep Wawasan Nusantara diakui PBB, maka nasib mereka juga akan baik. 

Singkat cerita, upaya mengusung Wawasan Nusantara ini akhirnya berjalan positif. Berkat jerih payah Hasjim Djalal dan rekannya Mochtar, PBB mengakui gagasan para diplomat terdahulu dalam konsep Wawasan Nusantara dan Deklarasi Djuanda 1957 di UNCLOS 1982.

"Lewat UNCLOS 1982, kedaulatan Indonesia atas perairan kepulauannya, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya, berikut semua sumber daya di dalamnya, telah dijamin hukum internasional," kenang Hasjim. 

Sejak saat itu, Indonesia diakui sebagai Negara Kepulauan (Archipelago State). UNCLOS 1982 lantas diratifikasi lewat UU No.17 tahun 1985. Seluruh lautan di Indonesia terintegrasi. Tak ada lagi kapal asing seenaknya masuk melintasi perairan yang sebenarnya masuk wilayah Indonesia. Luas perairan Indonesia juga bertambah sebab hukum laut menghitung ulang jarak teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif. 

Pengabdian Hasjim sendiri berhenti pada 1994. Dia pensiun dari Pejambon. Kariernya kemudian dilanjutkan oleh sang anak, Dino Patti Djalal. Meski pensiun, Hasjim tetap keliling bercerita konsep Wawasan Nusantara dan isu diplomatik lain. Sayang, cerita itu tak lagi bisa didengar.

Hasjim Djalal kini berpulang. Hasjim wafat pada 12 Januari 2025 karena sakit. 

Selamat jalan, Pahlawan Laut Indonesia!


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research