Gencatan Senjata Israel-Hamas Demi Ekonomi, Palestina Sudah Hancur

2 weeks ago 14

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik kemanusiaan di Gaza antara Israel dengan Palestina memasuki babak baru, di mana Israel dan Hamas telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata di Gaza mulai Minggu mendatang.

Pemerintah Qatar mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata Gaza, Rabu waktu setempat. Gencatan senjata akan dimulai Minggu, 19 Januari nanti. Ini terjadi persis sebelum pelantikan Presiden Amerika Serikat (AS) Terpilih Donald Trump.

Sebelumnya Trump memang menegaskan perang tersebut harus selesai sebelum ia dilantik. Jika tidak akan "ada neraka" yang muncul.

Perjanjian gencatan senjata sendiri akan berlangsung tiga tahap. Belum jelas berapa lama gencatan berlangsung, tapi tahap pertama akan memakan waktu 42 hari.

Baru tahap satu yang diungkap detil. Sementara tahap dua dan tiga belum, namun akan diselesaikan di fase satu.

Namun mediator bersama Qatar, AS, dan Mesir akan memantau kesepakatan gencatan senjata melalui badan yang berpusat di Kairo. Bakal ada mekanisme yang jelas untuk menegosiasikan tahap dua dan tiga gencatan senjata.

"Mendesak ketenangan di Gaza sebelum kesepakatan mulai berlaku," ujar Perdana Menteri (PM) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani.

Pada tahap pertama kesepakatan, sebanyak 33 sandera Israel yang diculik Hamas ke Gaza akan dibebaskan. Mereka yang dibebaskan adalah perempuan sipil dan rekrutan militer perempuan, anak-anak, orang tua, termasuk warga sipil yang sakit dan terluka.

Sebagai gantinya, ratusan warga Palestina yang ditahan Israel akan dibebaskan. Namun, seorang pejabat Israel mengatakan angka itu tergantung berapa banyak dari 33 sandera yang masih hidup.

Dua sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan, kelompok itu meminta ribuan dibebaskan. Termasuk mereka yang dijatuhi hukuman panjang.

"Jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan sebagai ganti sandera Israel pada tahap kedua dan ketiga akan diselesaikan selama 42 hari pertama," kata Sheikh Mohammed.

Negosiasi tahap kedua akan dimulai pada hari ke-16 gencatan senjata tahap awal. Tahap ini, merujuk laporan Times of Israel, akan mencakup pembebasan tawanan yang tersisa, termasuk "tentara pria, pria usia militer Israel, dan jenazah sandera yang terbunuh".

Selama gencatan senjata awal yang berlangsung 42 hari, pasukan Israel akan mundur dari daerah padat penduduk Gaza. Menurut Sheikh Mohammed INI untuk "memungkinkan pertukaran tahanan, serta pertukaran jenazah dan pemulangan orang-orang yang mengungsi".

Israel nantinya akan mempertahankan zona penyangga di Gaza selama tahap pertama. Pasukan Israel diperkirakan akan tetap berada hingga 800 meter di dalam Gaza yang membentang dari Rafah di selatan hingga Beit Hanun di utara.

"Pasukan Israel tidak akan sepenuhnya mundur dari Gaza sampai semua sandera dikembalikan", kata pejabat Israel.

Qatar mengharapkan gencatan senjata ini menjadi halaman terakhir perang. Negeri yang dari awal memimpin pembicaraan gencatan senjata dan menjadi rumah petinggi Hamas itu berharap semua pihak akan berkomitmen untuk melaksanakan semua ketentuan perjanjian.

Namun Presiden AS Joe Biden mengatakan fase kedua yang belum diselesaikan akan membawa "akhir permanen perang". Biden mengatakan tahap kedua akan mencakup pertukaran pembebasan sandera yang masih hidup, termasuk tentara pria. Kemudian semua pasukan Israel yang tersisa akan ditarik dari Gaza.

Alasan Ekonomi di Balik Gencatan Senjata Israel-Hamas

Penghentian perang untuk sementara bakal berdampak positif terhadap ekonomi di kawasan tersebut.

Perdamaian ini sendiri terjadi saat ekonomi Israel masih terus di bayang-bayangi peperangan negara itu dengan Gaza. Dalam laporan OECD Economic Outlook yang dirilis bulan lalu, perang akan makin membebani aktivitas dan defisit fiskal yang sudah besar.

Di sisi lain, deeskalasi yang cepat dapat melepaskan permintaan yang terpendam. Perdamaian antara Israel dan Gaza juga pun diramalkan memperbaiki kondisi fiskal yang saat ini mengalami defisit.

"Normalisasi parsial dalam lingkungan bisnis diasumsikan memungkinkan peningkatan ekspor dan konsumsi swasta mulai pertengahan tahun 2025," tulis laporan OECD, dikutip Kamis (16/1/2025).

Kondisi ekonomi Israel sangat terdampak oleh konflik. Peningkatan tajam dalam aktivitas militer telah mendorong permintaan pemerintah meningkat lebih dari seperlima dari level sebelum perang pada paruh kedua tahun 2024.

Selain itu, pembatasan pekerja Palestina untuk masuk bekerja ke Israel telah membebani Negeri Yahudi itu.

"Kekurangan tenaga kerja yang terus-menerus dalam konstruksi telah membatasi investasi. Beberapa pekerja asing baru (0,4% dari lapangan kerja) telah memasuki Israel sejak izin kerja ditangguhkan untuk warga Palestina (4% dari lapangan kerja sebelum perang)." tulis laporan tersebut.

Berdasarkan data dari Trading Economics, Produk Domestik Bruto (PDB) Israel hingga kuartal III-2024 mencapai 3,8%. Angka ini juga masih bersifat proyeksi kedua.

Namun berdasarkan analisis OECD, proyeksi PDB Israel pada 2024 dipangkas menjadi 1,9%, dari sebelumnya diproyeksikan tumbuh 3,3%. Namun, PDB Israel pada 2025 dan 2026 diproyeksikan tumbuh 2,4% dan 4,6%.

Pengeluaran militer membuat permintaan pemerintah tetap tinggi. Normalisasi parsial dalam lingkungan bisnis diasumsikan memungkinkan peningkatan ekspor dan konsumsi swasta mulai pertengahan 2025.

Kekurangan tenaga kerja menghambat konstruksi dan memicu tekanan harga. Risiko tampak besar seperti meningkatnya konflik akan semakin membebani aktivitas dan defisit fiskal yang sudah besar. Di sisi lain, de-eskalasi yang cepat dapat melepaskan permintaan yang terpendam.

Kebijakan fiskal harus mengambil tindakan untuk terus mengurangi defisit di tahun-tahun mendatang. Peningkatan pendapatan diperlukan untuk mendanai pengeluaran pertahanan yang terus meningkat sambil memfokuskan pengeluaran pada bidang-bidang utama, termasuk penelitian, pendidikan, dan investasi publik.

Kebijakan moneter harus tetap ketat untuk memastikan inflasi kembali ke kisaran target. Kedatangan pekerja asing dalam jumlah besar dan pembukaan kembali izin kerja bagi warga Palestina akan mengurangi kekurangan tenaga kerja.

Sementara di Palestina, data dari Trading Economics menunjukkan bahwa PDB-nya per kuartal III-2024 mencapai minus 31%. Namun, Bank Dunia (World Bank) memperkirakan bahwa ekonomi Palestina akan mengalami penurunan PDB riil sebesar 17-26% pada 2024, karena konflik yang telah berdampak serius pada semua sektor ekonomi di negara tersebut.

Selain itu, kombinasi kendala fiskal dan pembatasan yang diberlakukan oleh Israel menghambat akses terhadap layanan kesehatan, sehingga berdampak buruk pada masyarakat, terutama di Gaza.

"Selama lima tahun terakhir, perekonomian Palestina pada dasarnya mengalami stagnasi, dan diperkirakan tidak akan membaik kecuali kebijakan di lapangan diubah," kata Stefan Emblad, Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza.

"Wilayah Palestina secara de facto telah berada dalam kesatuan pabean dengan Israel selama tiga puluh tahun, namun bertentangan dengan apa yang diharapkan ketika perjanjian ditandatangani, perbedaan antara kedua perekonomian terus melebar, dengan pendapatan per kapita di Israel hampir 14-15. kali lebih tinggi dibandingkan di wilayah Palestina.

Bila melihat data di atas, gambaran ekonomi Israel dan Palestina memang seperti bumi dan langit alias 'jomplang'. Contohnya saja PDB Israel yang menyentuh US$ 520,86 miliar sementara Palestina hanya mencapai US$ 17,66 miliar.

Jika dirupiahkan dengan kurs saat ini US$ 1= Rp 16.200, maka PDB Israel mencapai Rp 8.438 triliun sementara Palestina hanya Rp 286,09 triliun.

PDB per kapita yang mencerminkan tingkat kesejahteraan warga sebuah negara juga timpang. PDB per kapita Israel mencapai Rp 706,32 juta per tahun sementara Palestina hanya Rp 87,32 juta.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research