Jakarta, CNBC Indonesia - Pelantikan Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump tinggal menghitung jam di mana pelantikan akan dilaksanakan di Gedung Kongres AS (US Capitol) pada Senin (20/1/2025) sekitar pukul 12:00 waktu AS atau Selasa dini hari besok waktu Indonesia Selasa (21/1/2025) pukul 01:00 WIB.
Trump akan menjadi presiden AS ke-47. Ini sekaligus menjadi pelantikan kedua kalinya bagi Trump. Dia sebelumnya menjabat sebagai presiden pada 2017-2021.
Saat periode pertama Trump menjabat Presiden AS pada 2017-2021, banyak dampak yang diberikan di pasar finansial. Salah satunya yakni pergerakan bursa saham Amerika Serikat atau dikenal dengan Wall Street.
Sejak Trump menjadi orang nomor satu di AS pada 20 Januari 2017, hingga lengser, pergerakan Wall Street secara garis besar terpantau positif. Hanya saja sempat terjatuh pada 2020, itupun karena efek dari dahsyatnya pandemi Covid-19.
Secara tahunan, kinerja tiga indeks utama Wall Street di masa pemerintahan Trump pertama periode 2017-2021 terpantau positif. Hanya pada 2018 saja yang kinerjanya memburuk.
Pada 2018, menjadi awal mula perang dagang antara AS dengan China. Hal inilah yang membuat tiga indeks utama Wall Street kompak mencatatkan kinerja buruknya.
Trump mengobarkan perang dagang dengan China sejak 2018. Perekonomian global terkena getahnya di 2019, pertumbuhan menjadi melambat termasuk AS dan China. Ketika dua raksasa ekonomi dunia tersebut mengalami pelambatan, seluruh dunia juga terseret.
Guna memacu perekonomian yang melambat akibat perang dagang yang dikobarkan Trump, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga kali masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,75%.
Hebatnya, pada 2020, saat pandemi Covid-19, Wall Street masih mampu mencatatkan kinerja positif, meski secara grafik sempat ambruk di awal Maret atau awal mulai pandemi Covid-19 merebak.
Bangkitnya Wall Street di 2020 meski ada pandemi Covid-19 terjadi karena pada saat itu Trump menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah.
Stimulus fiskal serta stimulus moneter merupakan bahan bakar utama bagi emas untuk menguat. Tapi sekali lagi, kedua stimulus tersebut digelontorkan akibat pandemi Covid-19.
Stimulus fiskal dan moneter memberikan dua efek positif bagi pasar saham Negeri Paman Sam, setelah sempat ambruk di awal Maret 2020.
Sementara itu di era Presiden AS Joe Biden periode 2021-2024, pergerakan Wall Street juga hampir mirip seperti era Trump, di mana hanya sekali Wall Street mengalami kehancuran yakni pada 2022 lalu.
Hal ini lantaran disebabkan oleh kenaikan suku bunga The Fed yang lebih agresif dari yang diperkirakan banyak orang karena berusaha untuk menghancurkan inflasi terburuk dalam empat dekade.
Wall Street di Pemerintahan Trump Kedua Bakal Lebih Perkasa?
Tentunya, pada pemerintahan Trump pertama periode 2017-2021, Wall Street secara mayoritas bergerak positif. Adapun di pemerintahan kedua Trump, Wall Street berpotensi makin kencang meski ada potensi perang dagang AS-China bakal lebih besar.
Pada periode kemenangan Trump atas presiden AS berikutnya hingga menjelang pelantikannya, Wall Street cenderung positif. Harapannya jika Trump sudah menjabat, Wall Street bisa lebih kencang karena didukung oleh kebijakan proteksionisme, yang diusung Trump dalam kampanye "America First".
Kebijakan "America First" sendiri merupakan kebijakan yang mengutamakan kepentingan ekonomi domestik AS. Hal ini pernah dilakukannya pada pemerintahan pertama periode 2017-2021.
Tujuannya untuk melindungi industri dalam negeri AS, meningkatkan keuntungan ekonomi domestik, dan mengurangi ketergantungan pada pasar luar negeri.
Salah satu langkahnya adalah dengan menaikkan tarif impor yang tinggi terhadap sejumlah barang dari beberapa negara, seperti China, Eropa, dan Kanada. Hal itu bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri AS yang dianggap tidak adil atas persaingan asing.
Kebijakan menaikkan tarif impor juga menjadi upaya untuk memberikan insentif kepada konsumen AS untuk memilih produk-produk lokal sehingga permintaan dan produksi dalam negeri diharapkan semakin meningkat.
Langkah ini diambil untuk memperkuat sektor industri AS, menciptakan lapangan kerja domestik, dan mengurangi defisit perdagangan yang telah lama menjadi perhatian bagi pemerintahan AS.
Dengan adanya kebijakan ini, maka potensi emiten-emiten di AS makin leluasa untuk melakukan aksi korporasi dan ekspansif. Kemudahan ini pada akhirnya dapat menopang saham-saham emiten di AS tersebut dan juga menggairahkan pasar saham AS.
Namun, dengan adanya potensi perang dagang AS-China yang lebih besar, ditambah secara historis perang dagang tersebut membuat gejolak di pasar global pada 2018 silam, bukan tidak mungkin pergerakan Wall Street akan lebih volatil seperti pada pemerintahan pertama Trump 2017-2021 lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)