Binatang Ini Banyak Hidup di RI, Bisa Sulap Sampah Jadi "Emas"

2 weeks ago 15

Jakarta,CNBC Indonesia-  Industri budidaya maggot, terutama larva Black Soldier Fly (BSF), semakin dilirik.  Budidaya ini bisa menjadi alternatif mencari cuan yang menggiurkan.

Dengan kemampuan mengolah limbah organik menjadi pakan bernutrisi tinggi, bisnis ini menawarkan profitabilitas yang menggiurkan.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Evi Prihartini , Hamidah Hendrarini, Pawana Nur Indah Master of Agribusiness Study Program, Faculty of Agriculture, UPN "Veteran" Jawa Timur di Omah Maggot Warna-Warni, Pasuruan, bisnis ini memiliki Net Present Value (NPV) sebesar Rp119 juta dengan Internal Rate of Return (IRR) 76% dan payback period hanya 2 tahun 1 bulan.

Petugas PPSU memperlihatkan ulat Maggot atau larva lalat BSF yang dibudidayakan di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (05/7/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Foto: Petugas PPSU memperlihatkan ulat Maggot atau larva lalat BSF yang dibudidayakan di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (05/7/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Petugas PPSU memperlihatkan ulat Maggot atau larva lalat BSF yang dibudidayakan di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (05/7/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Keunggulan utama bisnis ini terletak pada efisiensi biaya dan dampaknya yang ramah lingkungan. Maggot mampu mengubah limbah organik menjadi protein berkualitas untuk pakan ternak, seperti ayam dan ikan.

Dengan biaya produksi rendah, yaitu hanya Rp27 juta per tahun untuk biaya variabel, peternak dapat memproduksi hingga 35,95 ton maggot per tahun, menghasilkan pendapatan Rp251 juta selama tiga tahun.

Selain itu, penggunaan maggot membantu mengurangi ketergantungan pada pakan impor yang mahal, menjadi solusi penting bagi sektor peternakan di tengah kenaikan biaya logistik.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi meninjau bank sampah pusat pengelolahan sampah organik dapur dengan maggot di kawasan perumahan di Bantar Gebang, Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Foto: Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi meninjau bank sampah pusat pengelolahan sampah organik dapur dengan maggot di kawasan perumahan di Bantar Gebang, Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi meninjau bank sampah pusat pengelolahan sampah organik dapur dengan maggot di kawasan perumahan di Bantar Gebang, Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Budidaya maggot juga membuka peluang pemberdayaan masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Inisiatif seperti pelatihan teknologi budidaya maggot dan kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk memperluas pasar lokal dan ekspor menjadi strategi utama.

Teknologi modern memungkinkan konversi maggot segar menjadi tepung (mag meal) yang lebih awet dan bernilai tinggi. Inovasi ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di pasar protein alternatif global

Sebagai pembanding, ada negara lain yang juga memanfaatkan Maggot.
Menurut The Seattle Times, Zimbabwe memanfaatkan maggot dalam konteks yang berbeda, yaitu sebagai respons terhadap krisis pangan akibat kekeringan. Petani di Nyangambe mengandalkan maggot untuk mengurangi biaya produksi pakan ternak, yang sebelumnya mencapai 80% dari total biaya operasional.

Dengan maggot, biaya tersebut dapat ditekan hingga 40%, memberikan solusi hemat biaya bagi peternak kecil. Selain itu, maggot membantu petani meningkatkan ketahanan pangan melalui pemanfaatan limbah organik menjadi protein ternak yang terjangkau.

Meski berangkat dari krisis, Zimbabwe menunjukkan bahwa maggot mampu menjadi "alat penyelamat" bagi petani yang terdampak perubahan iklim dan kenaikan harga pakan impor. Pendekatan ini berbasis komunitas dan melibatkan pelatihan yang didukung oleh USAID untuk memperluas adopsi teknologi maggot.

Indonesia dan Zimbabwe sama-sama memanfaatkan potensi maggot untuk pakan ternak dan pengelolaan sampah, namun ada perbedaan signifikan dalam skala operasi dan target pasar

Di Indonesia, budidaya maggot sudah berkembang dalam skala komersial dengan dukungan teknologi modern, seperti konversi maggot menjadi tepung. Sementara itu, Zimbabwe lebih menitikberatkan pada skala kecil berbasis komunitas.

Lalu, di Indonesia, fokus utama adalah efisiensi biaya produksi pakan dan pengurangan sampah organik. Sebaliknya, Zimbabwe berfokus pada ketahanan pangan di tengah kondisi krisis iklim.

Budidaya Maggot, Binatang Pengurai Sampah Organik. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)Foto: Budidaya Maggot, Binatang Pengurai Sampah Organik. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Budidaya Maggot, Binatang Pengurai Sampah Organik. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Dengan dukungan infrastruktur sederhana namun sistematis, peternak Indonesia mampu menghasilkan hingga Rp251 juta dalam tiga tahun dari penjualan maggot . Di Zimbabwe, manfaat ekonominya lebih terfokus pada penghematan biaya daripada pendapatan langsung.

Meski menjanjikan, bisnis maggot tidak luput dari tantangan. Ketergantungan pada sinar matahari untuk proses pertumbuhan dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang manfaat maggot menjadi kendala utama. Namun, strategi promosi digital dan investasi dalam teknologi pengendalian lingkungan dapat mengatasi tantangan ini.

Dengan kombinasi nilai ekonomis, keberlanjutan lingkungan, dan potensi pemberdayaan sosial, maggot bukan hanya sekadar solusi lokal untuk pengelolaan sampah, tetapi juga dapat menjadi pilar penting dalam ekonomi hijau di masa depan.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research