Belum Dilantik, Trump Sudah Buat Repot Prabowo

3 weeks ago 12

Jakarta, CNBC Indonesia - Arus dana asing masih terus keluar dari pasar keuangan domestik pada pekan lalu. Investor asing tak segan-segan melakukan net sell dalam jumlah yang cukup besar. Faktor ini menjadi salah satu pemicu meroketnya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).

Arus dana asing dan meroketnya imbal hasil ini dipicu oleh ketidakpastian di pasar keuangan karena data ekonomi di Amerika Serikat (AS) serta kekhawatiran pasar terhadap kebijakan ekonomi Donald Trump yang akan dilantik pada 20 Januari 2025.
Derasnya arus modal asing yang keluar serta lonjakan imbal hasil SBN tentu saja membebani pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru melangkah sejak Oktober 2024.

Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 6-9 Januari 2025, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp4,38 triliun, terdiri dari jual neto Rp1,92 triliun di pasar saham, jual neto Rp2,90 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan beli neto Rp0,44 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen sampai dengan 9 Januari 2025, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp1,10 triliun di pasar saham, beli neto Rp3,83 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp2,67 triliun di SRBI.

Jika dilihat lebih rinci, investor terus melakukan penjualan terhadap instrumen investasi SBN yang tercermin dari imbal hasil yang mengalami kenaikan tajam.

Dilansir dari Refinitiv, imbal hasil SBN tenor 10 tahun tercatat naik ke 7,291% atau naik 1,7% pada 13 Januari 2025.Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak November 2022 atau sekitar dua tahun terakhir.

Salah satu penyebab derasnya dana asing keluar dari pasar keuangan domestik adalah data ekonomi AS yang masih kuat, terkhusus data Non-Farm Payroll (NFP) yang tercatat di atas konsensus.

Laporan NFP AS yang dirilis Jumat malam menunjukkan penciptaan256.000 lapangan kerja pada Desember, jauh di atas ekspektasi pasar sebesar160.000 pekerjaan. Hasil tersebut mempertegas ketahanan pasar tenaga kerja AS dan memicu spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) akan lebih lambat dalam melonggarkan kebijakan suku bunganya.

Bahkan Bank of America (BoFA) merevisi proyeksi kebijakan moneter The Fed, menunjukkan bahwa siklus pemotongan suku bunga telah berakhir.

"Dengan pasar tenaga kerja yang tangguh, kami sekarang berpikir siklus pemotongan Fed telah selesai," tulis tim ekonomi AS bank tersebut dalam sebuah catatan tak lama setelah laporan pekerjaan dirilis.

Proyeksi baru ini dikaitkan dengan laporan pekerjaan Desember yang kuat, yang menunjukkan peningkatan besar dalam jumlah pekerja, dan sedikit penurunan tingkat pengangguran menjadi 4,1%.

Ekonom BofA menyoroti ketangguhan pasar tenaga kerja sebagai faktor kunci dalam penilaian ulang mereka, menunjukkan bahwa kondisi ekonomi tidak mendukung pelonggaran lebih lanjut oleh The Fed.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa inflasi tetap di atas target Fed, dengan proyeksi bank sentral sendiri untuk tahun 2025 menunjukkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dan risiko yang condong ke atas.

BofA tidak mengantisipasi revisi bulan depan akan secara signifikan mempengaruhi keputusan Fed. Perusahaan ini percaya bahwa pasar tenaga kerja telah stabil setelah periode volatilitas di musim panas dan awal musim gugur, dan bahwa revisi tersebut kemungkinan akan mencerminkan penurunan tingkat, bukan perubahan dalam tren keseluruhan.

Para ekonom juga mencatat bahwa baik inflasi berbasis pasar maupun PCE inti telah mendatar pada tingkat yang tidak sesuai dengan target Fed, sehingga menawarkan sedikit jaminan untuk perubahan kebijakan.

"Kegiatan ekonomi tetap kuat. Kami melihat sedikit alasan untuk pelonggaran tambahan," mereka menyimpulkan.

Hal ini semakin diperparah setelah hasil Federal Open market Committee (FOMC) Minutes The Fed tampak semakin mengkonfirmasi terhadap isyarat perlambatan laju cut rate tahun ini.

Mengutip dari risalah the Fed pekan lalu "Pejabat Federal Reserve pada pertemuan bulan Desember mereka menyatakan kekhawatiran tentang inflasi dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan Presiden terpilih Donald Trump, yang mengindikasikan bahwa mereka akan bergerak lebih lambat dalam pemangkasan suku bunga karena ketidakpastian"

Tanpa menyebut nama Trump, ringkasan pertemuan tersebut menampilkan setidaknya empat penyebutan tentang dampak perubahan dalam kebijakan imigrasi dan perdagangan terhadap ekonomi AS.

Sejak kemenangan Trump dalam pemilihan umum bulan November, Ia telah mengisyaratkan rencana untuk mengenakan tarif yang agresif dan menghukum terhadap Tiongkok, Meksiko, dan Kanada serta mitra dagang AS lainnya.

Selain itu, ia bermaksud untuk melakukan lebih banyak deregulasi dan deportasi massal.

"Hampir semua peserta menilai bahwa risiko kenaikan terhadap prospek inflasi telah meningkat," ungkap risalah tersebut.

"Sebagai alasan untuk penilaian ini, para peserta mengutip pembacaan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan baru-baru ini dan kemungkinan dampak dari perubahan potensial dalam kebijakan perdagangan dan imigrasi."

Beban Pemerintah RI Membengkak
Arus keluar di SBN memicu merangkaknya imbal hasil SBN. Pada penutupan perdagangan Senin (13/1/2024) menembus 7,29% atau tertinggi dalam setahun.

Lonjakan imbal hasil US Treasury terus melonjak setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS. Kebijakan ekonomi Trump yang sangat pro dalam negeri serta proteksionismenya membuat modal kembali banjiri pasar AS.

Akibatnya dolar AS terbang dan imbal hasil US Treasury juga ikut naik. Imbal hasil US Treasury bahkan kini menembus 4,79% atau level tertinggi dalam setahun. Padahal, imbal hasil masih bergerak di angka 4,2% sebelum Trump terpilih pada pemilu 5 November 2024.

Gejolak imbal hasil diperkirakan masih akan tetap tinggi ke depan.  Dengan kebijakan ekonomi dalam negerinya, inflasi AS kemungkinan sulit melandai dengan cepat.
Sebagai akibatnya, The Fed bisa memperlambat pemangkasan suku bunga. Kondisi ini bisa membuat dolar AS dan imbal hasil US Treasury terbang.

Lonjakan imbal hasil ini bisa berdampak besar terhadap beban negara dalam membayar bunga utang. Kenaikan imbal hasil SBN dikhawatirkan berdampak pada peningkatan beban bunga utang pemerintah mengingat pemerintah harus membayar bunga lebih mahal kepada investor.

Merujuk data Kementerian Keuangan dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pembayaran bunga utang pada periode 2013-2023 melesat 289%.
Proporsi pembayaran bunga utang terhadap total belanja negara juga melesat dari 6,85% pada 2013 melonjak ke 14,09% pada 2023. Artinya, hampir sepertujuh anggaran pemerintah dipakai hanya untuk membayar utang.

Pertumbuhan bunga utang pada 2014-2023  rata-rata mencapai 14,62%. Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan pendapatan pemerintah hanya 7,6% dalam pada 2014-2023.

Bunga Utang 2025
Merujuk APBN 2025, pembayaran bunga utang mencakup pembayaran kupon atas SBN, bunga atas Pinjaman dan biaya lain yang timbul dalam rangka menjalankan program pengelolaan utang.

Besaran pembayaran beban bunga mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Secara inheren, beban bunga
utang mengandung risiko yang terpapar oleh volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan tingkat suku bunga.

Selain itu, faktor eksternal yang turut mempengaruhi beban bunga adalah sentimen pasar atas instrumen surat berharga negara, volume kebutuhan pembiayaan anggaran, dan kondisi perekonomian terkini sebagai dasar atau landasan bagi bergeraknya/geliat aktivitas di pasar keuangan baik domestik maupun global.


Dalam 2025, pembayaran bunga utang dialokasikan sebesar Rp552, 85 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 15,3% dari belanja negara secara keseluruhan.

Pembayaran bunga utang dalam negeri menembus Rp497,62 triliun sementara luar negeri mencapai Rp 55,23 triliun.

Jika imbal hasil SBN tenor 10 tahun terus melesat maka besar kemungkinan pembiayaan bunga utang akan bengkak.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan akan lebih banyak menerbitkan SBN ritel pada 2025. Seri yang diterbitkan pun juga lebih banyak ketimbang tahun lalu. Langkah ini merupakan bentuk antisipasi atas ketidakpastian global yang bisa datang kapan saja serta memperdalam inklusi keuangan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Suminto mengatakan, pada tahun lalu, realisasi penerbitan SBN ritel mampu menyerap dana Rp148,36 triliun. Sedangkan pada tahun ini, nilainya ia pastikan akan melebihi itu.

"Kita harapkan akan lebih besar dari Rp148 triliun," kata Suminto dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Senin (13/1/2025).

Suminto mengatakan, penerbitan SBN pada 2025 yang semakin banyak ini karena selain untuk mendukung pembiayaan APBN, juga berfungsi sebagai instrumen investasi bagi masyarakat.

"Tentu akan kita jaga dan akan kita tingkatkan karena SBN ritel selain dukung pasar SBN kita, tapi juga merupakan outlet investasi yang baik bagi masyarakat," ungkap Suminto.

Dengan semakin banyaknya jumlah surat utang yang diterbitkan di tahun ini dengan imbal hasil yang tinggi, maka beban pemerintah dalam memberikan imbal hasil kepada investor akan semakin tinggi yang secara jangka lebih panjang akan dapat memberikan tekanan bagi negara.

Apabila berkaca dari imbal hasil SBN tenor 10 tahun dan dibandingkan dengan target yield SBN tenor 10 tahun pemerintah, maka seringkali terjadi perbedaan.

Dalam rentang periode 2014 hingga 2024, sebanyak lima kali tercatat bahwa realisasi imbal hasil SBN tenor 10 tahun di atas dari target yang ditetapkan pemerintah dan sebanyak enam kali tercatat bahwa realisasi imbal hasil SBN tenor 10 tahun di bawah dari target yang ditetapkan pemerintah.

Semakin jauh realisasi imbal hasil SBN tenor 10 tahun melampaui dari target yang ditetapkan pemerintah, maka beban yang pemerintah RI tanggung untuk membayar utang akan semakin besar.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research