Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa satu dari enam perusahaan ragu untuk menerima Generasi Z alias Gen Z sebagai karyawan. Apa alasannya?
Melansir dari Yahoo! Finance, sebanyak satu dari enam perusahaan di Amerika Serikat (AS) mengaku ragu untuk mempekerjakan Gen Z berusia 20 tahunan akibat dinilai lebih malas jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, tidak profesional, dan kemampuan komunikasi yang buruk.
Sebuah survei oleh Intelligent menemukan bahwa 17 persen perusahaan ogah memberi pekerjaan kepada orang berusia 20 tahunan dan tiga perempatnya mengaku tidak puas dengan perguruan tinggi dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, pada 2024 sebanyak 60 persen perusahaan telah memberhentikan karyawan Gen Z.
Dilaporkan, alasan di balik pemberhentian karyawan muda adalah tidak siap di dunia kerja atau tidak profesional. Adapun, satu dari tujuh perusahaan tengah mempertimbangkan untuk berhenti mempekerjakan lulusan baru alias fresh graduate pada 2025.
Menurut survei yang sama, ada banyak pengusaha yang dengan cepat memecat para pekerja muda setelah masa probation. Para pengusaha menyebut bahwa Gen Z kurang profesional dan memiliki tingkat kepatuhan yang buruk terhadap standar tempat kerja.
"Banyak lulusan perguruan tinggi baru-baru ini yang sering kali tidak siap menghadapi lingkungan kurang terstruktur, dinamika budaya tempat kerja, dan ekspektasi pekerjaan yang mandiri," kata Kepala Penasihat Pengembangan Karier dan Pendidikan Intelligent, Huy Nguyen, dikutip Selasa (22/10/2024).
Nguyen menambahkan, meskipun mungkin fresh graduate memiliki pengetahuan teoritis dari perguruan tinggi, mereka seringkali kurang memiliki pengalaman dunia nyata dan keterampilan nonteknis sehingga menciptakan "gesekan" antara karyawan muda dan pekerja berpengalaman.
Lantas, mengapa fresh graduate kerap kesulitan di dunia kerja?
Foto: Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerja dalam acara Indonesia Career Expo di Grand ITC Permata Hijau, Jakarta, Selasa (8/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Salah satu alasan mengapa Gen Z kerap kesulitan di dunia kerja adalah mereka kerap menolak kehidupan korporat, terutama jika menyangkut tugas-tugas yang dianggap tidak penting. Pengusaha teknologi, Joe Procopio mencatat bahwa banyak Gen Z merasa frustrasi karena diberi sederet tugas yang membosankan, bukan pekerjaan bermakna.
"Bukannya mereka tidak ingin kembali ke kantor. Mereka tidak ingin terlibat dalam apa pun yang mereka lakukan saat tiba di sana," ujar Procopio.
"Alasan mengapa tidak ada keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan bukanlah karena kehidupan telah hilang, melainkan karena pekerjaan telah hilang. Semuanya kini menyatu," lanjutnya.
Selain itu, Gen Z dinilai mungkin kurang memahami norma-norma profesional, seperti komunikasi, aturan berpakaian, ketepatan waktu, dan kerja sama tim. Akibat tumbuh dengan pola pikir keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work life balance), banyak pekerja Gen Z memandang pekerjaan sebagai bagian dari kehidupan, bukan pusatnya.
Lalu, pandemi Covid-19 juga diklaim semakin memperkuat tantangan ini. Sebab, banyak lulusan yang kehilangan pengalaman kerja awal penting, seperti magang saat pademi. Akibatnya, "paparan" Gen Z terhadap dinamika tempat kerja dan etiket profesional cenderung hilang.
Namun, survei tersebut tidak melepaskan tanggung jawab manajer yang lebih tua. Daripada mengabaikan pekerja Gen Z berdasarkan stereotip, laporan tersebut mengatakan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk membantu profesional muda agar berhasil dengan memberikan dukungan yang terstruktur.
"Manajer dapat dengan mudah menerima stereotip umum Gen Z dan mengabaikannya sepenuhnya. Namun, perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama untuk mempersiapkan fresh graduate untuk tempat kerja tertentu dan memberi mereka peluang terbaik untuk berhasil," kata Nguyen.
Lantas, bagaimana cara Gen Z untuk bisa meningkatkan prospek karier?
Guna melawan persepsi ini, para pencari kerja muda harus fokus pada pengembangan soft skills, seperti komunikasi, kerja sama tim, dan manajemen waktu. Perlu diingat bahwa magang dan peran paruh waktu (part-time) sangat berharga untuk memperoleh pengalaman di dunia nyata dan mempelajari ekspektasi di tempat kerja. Bahkan, peran kecil pun dapat memberikan wawasan penting tentang lingkungan profesional.
Survei Intelligent juga menekankan terkait pentingnya etos kerja. Sebanyak 54 persen pemberi kerja mengatakan bahwa mereka cenderung mempekerjakan kandidat yang menunjukkan etos kerja yang kuat, memiliki kemampuan beradaptasi, dan ketepatan waktu yang baik.
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Seruput Cuan Bisnis Kopi, Kala Dompet Kelas Menengah Susut
Next Article Banyak Gen Z Nonton Konser Pakai Kartu Kredit, Ini Alasannya