Awas Rencana Trump Soal Utang: Sri Mulyani Bakal Makin Pening!

1 month ago 23

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menghilangkan batas utang/debt ceiling menjadi gebrakan yang mengguncang dunia.

Dalam wawancara telepon dengan NBC News, Trump mengatakan bahwa menghapuskan batas utang sepenuhnya akan menjadi "hal paling cerdas yang bisa dilakukan [Kongres]. Saya sepenuhnya mendukung itu."

"Para Demokrat mengatakan mereka ingin menghapusnya. Jika mereka ingin menghapusnya, saya akan memimpin perjuangannya," tambah Trump yang dilansir dari NBC News.

Trump menyarankan bahwa batas utang adalah konsep yang tidak berarti dan bahwa tidak ada yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi jika batas itu suatu hari dilanggar.

"Itu tidak berarti apa-apa, kecuali secara psikologis," kata Trump.

Batas Utang Pemerintah AS

Sebagai informasi, batas utang adalah batas yang ditetapkan oleh anggota legislatif yang menentukan berapa banyak pemerintah federal dapat meminjam untuk membayar tagihannya.

Dikutip dari Center on Budget and Policy Priorities (CBPP), Kongres menggunakan kekuasaannya yang diberikan oleh Konstitusi untuk mengatur peminjaman federal dengan memungkinkan Departemen Keuangan meminjam sesuai kebutuhan, namun juga dengan memberlakukan batasan hukum atas jumlah uang yang dapat dipinjam untuk membiayai operasionalnya.

Utang yang tunduk pada batas ini menggabungkan utang yang dimiliki oleh publik dengan surat utang Departemen Keuangan yang dimiliki oleh dana pensiun dan dana khusus pemerintah, tanpa menghitung aset keuangan (surat utang Departemen Keuangan) yang dimiliki oleh dana pensiun atau aset keuangan lain yang dimiliki oleh pemerintah.

Setelah batas utang tercapai, pemerintah harus menaikkan batas utang, menangguhkan batas utang agar tidak berlaku, melanggar batas utang, atau gagal membayar kewajibannya untuk membayar tagihannya. Kongres telah menaikkan atau menangguhkan batas utang lebih dari 100 kali sejak 1940. Antara 2013 dan 2024, batas utang dinaikkan atau ditangguhkan sementara sebanyak sepuluh kali, dan terakhir kali ditangguhkan pada 3 Juni 2023, hingga 1 Januari 2025.

Menaikkan atau menangguhkan batas utang tidak langsung mengubah jumlah peminjaman atau pengeluaran federal yang akan datang. Sebaliknya, itu memungkinkan pemerintah untuk membayar program dan layanan yang telah disetujui oleh Kongres.

Selain itu, kebutuhan untuk menaikkan atau menangguhkan batas utang bukanlah indikator yang dapat diandalkan untuk menilai kesehatan kebijakan anggaran. Sebagai contoh, Kongres harus menaikkan batas utang lebih dari 30 kali antara akhir Perang Dunia II dan pertengahan 1970-an, meskipun rasio utang terhadap PDB sangat menurun selama periode ini.

Demikian pula, utang yang tunduk pada batas meningkat pada akhir 1990-an meskipun anggaran mengalami surplus dan jumlah utang yang dimiliki oleh publik menurun karena Jaminan Sosial juga mencatatkan surplus besar dan meminjamkan surplus tersebut kepada Departemen Keuangan.

Total utang AS telah mengalami kenaikan dengan sangat pesat khususnya setelah adanya peristiwa-peristiwa besar yang memicu lonjakan besar utang termasuk Perang Afghanistan dan Irak, Resesi Hebat 2008, dan pandemi COVID-19.

Dari tahun anggaran 2019 hingga 2021, pengeluaran meningkat sekitar 50%, sebagian besar disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pemotongan pajak, program stimulus, peningkatan pengeluaran pemerintah, dan penurunan pendapatan pajak yang disebabkan oleh pengangguran yang meluas umumnya menjadi penyebab lonjakan tajam dalam utang nasional.

Untuk diketahui, per 30 September 2024 saja, total utang AS tercatat sebesar US$35,46 triliun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama 2023 yang tercatat sebesar US$33,16 triliun.

Potensi Tambahan Utang AS

Berdasarkan estimasi Committee for a Responsible Federal Budget (CRFB), rencana Trump akan meningkatkan utang sebesar US$7,75 triliun. Estimasi ini adalah pembaruan dari analisis sebelumnya pada 7 Oktober, dan mencakup tambahan proposal kebijakan.

Lebih lanjut, estimasi biaya rendah dan tinggi yang dilakukan memperkirakan bahwa rencana rencana Trump dapat meningkatkan utang antara US$1,65 triliun hingga US$15,55 triliun.

crfbFoto: Fiscal Impact of Harris & Trump in Campaign Plans (trillions, 2026-2035)
Sumber: CRFB

Rencana Trump periode 2026-2035 akan didominasi oleh proposal untuk memperpanjang dan memodifikasi Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).

Sementara penerimaan tertinggi akan didapatkan dari dengan menetapkan tarif dasar universal dan tarif tambahan.

crfbFoto: The Trump Plan (billions, 2026-2035)
Sumber: CRFB

Dampak Terhadap Indonesia

Ulah Trump yang akan menghapus debt ceiling akan membuka peluang untuk obligasi AS dicetak tanpa batas.

Artinya supply meningkat yang membuat yield US Treasury akan terus naik. Dengan yield yang tinggi ini akan membuat minat investor beralih lebih banyak ke obligasi AS dibandingkan saham, mengingat dari risiko lebih konservatif.

Sebagai dampaknya, imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) pun akan mengikuti pergerakan di AS. Dengan imbal hasil yang lebih tinggi maka pemerintah Indonesia bisa terbebani. Imbal hasil yang tinggi akan membuat pemerintah mengeluarkan anggaran lebih dalam membayar bunga utang.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan pun akan menawarkan imbal hasil lebih tinggi kepada investor untuk menarik minat mereka.

Apalagi secara rating berdasarkan S&P, surat utang AS tercatat AA+, sementara Indonesia hanya BBB. Maka dari itu tidak menutup kemungkinan capital outflow berpotensi mengalir deras keluar dari Tanah Air dan masuk ke AS.

Bagaimana Dampaknya ke RI?

Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan mengungkapkan penghapusan batas utang di AS dapat memiliki dampak signifikan terhadap Indonesia melalui mekanisme pasar global.

"Tanpa batas utang, AS memiliki fleksibilitas untuk terus menerbitkan utang guna membiayai belanja pemerintah, yang bisa meningkatkan imbal hasil obligasi AS (US Treasury). Hal ini membuat aset-aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia kurang menarik dibandingkan dengan aset berbunga tinggi di AS, sehingga dapat memicu capital outflow yang lebih deras," kata Felix.

"Outflow ini dapat melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan domestik, terutama jika investor asing mengurangi eksposur mereka pada obligasi pemerintah dan pasar saham Indonesia," tambah Felix.

Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray menyampaikan jika debt ceiling di hapuskan di era Trump, maka akan semakin banyak US Treasury yang akan di terbitkan, karena pemerintahan Trump perlu dana masuk untuk pertumbuhan di pemerintah AS.

"Imbal hasil US Treasury akan terus meningkat sehingga akan berimbas pada yield obligasi Indonesia yang juga akan tertahan kalau sekarang indikasi 10 tahun di 7,06% bisa-bisa akan bertahan di level 7,00%," ujar Birger.

Ia pun menambahkan bahwa ada potensi skenario terjadi arus dana keluar dari pasar keuangan domestik dan masuk ke pasar keuangan AS.

Begitu pula dengan Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Wisnubroto yang juga mengatakan bahwa Trump ingin  agresif untuk menerbitkan utang, dan dampaknya adalah volatilitas yang terjadi di pasar obligasi.

"Hal ini berpotensi untuk memicu kenaikan yield dari US treasury," papar Rully.

Ekonom Bank Central Asia, Barra Kukuh Mamia juga menyampaikan hal serupa bahwa jika US debt ceiling dihapuskan, maka Trump semakin leluasa dalam memberikan tax cut dan tambah utang. Lebih lanjut, dalam jangka panjang, outflow dari pasar keuangan Indonesia pun bisa terasa dengan jelas.

Barra pun memberikan contoh kasus ketika awal 2023 juga ada isu debt ceiling, sehingga AS tidak bisa berutang dalam beberapa waktu. Kemudian ada deal untuk menaikkan debt ceiling pada Juni, dan tidak lama kemudian tepatnya pada Juli, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen menerbitkan surat utang dalam jumlah yang banyak. Alhasil yield naik dan rupiah yang pada awalnya menguat di early 2023 kemudian mengalami tekanan.

Sebagai catatan, Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 16-19 Desember 2024, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp8,81 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp3,67 triliun di pasar saham, Rp4,43 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp0,71 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research