Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan suku bunga global mengarah pada pelonggaran pada 2025. Hampir seluruh bank sentral dunia mengubah stance kebijakan moneternya dari ketat menjadi longgar.
Kebijakan menurunkan suku bunga pada 2024 oleh sebagian besar bank sentral di dunia dilakukan sejalan dengan melandainya inflasi dan mulai melonggarnya kebijakan suku bunga di Amerika Serikat (AS).
Pelonggaran suku bunga juga dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mengingat sebelumnya dengan suku bunga tinggi, konsumsi menjadi tertahan dan aktivitas kredit/peminjaman relatif rendah.
Berikut ini pantauan CNBC Indonesia Research terhadap empat bank sentral di dunia, yakni bank sentral AS (The Fed), bank sentral China (PBoC), bank sentral Indonesia (BI), dan bank sentral Jepang (BoJ).
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara The Fed, BI, dan PBoC dengan BoJ. Tema besar keputusan suku bunga acuan The Fed, BI, dan PBoC yakni adalah pemangkasan di tahun ini, sementara BoJ justru menaikkan suku bunganya.
The Fed Pangkas 100 bps
Jika dilihat lebih rinci, The Fed mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Mereka kemudian menahan suku bunga di level 5,25-5,50% pada September 2023-Agustus 2024 atau lebih dari setahun.
The Fed baru memangkas suku bunga pada September 2024 sebesar 50 bps, dilanjutkan pada November 2024 sebesar 25 bps, dan Desember sejumlah 50 bps. Dengan kata lain, The Fed telah memangkas sebesar 100 bps disepanjang 2024. Hal tersebut terjadi mengingat tren pertumbuhan inflasi AS terus melandai sehingga memberikan ruang bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneternya.
The Fed menilai bahwa risiko terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi berada dalam kondisi seimbang. Penyesuaian suku bunga ini diharapkan dapat menjaga kekuatan perekonomian dan pasar tenaga kerja, sambil memastikan inflasi tetap terkendali.
Namun yang perlu dicermati adalah potensi pemangkasan suku bunga diperkirakan pada 2025 diperkirakan tidak sebesar 2024.
Proyeksi dari Summary of Economic Projections (SEP) periode Desember 2024 menunjukkan bahwa dot plot matrix 2025 hanya sebesar 50 bps. Hal ini ditengarai mengingat potensi kenaikan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Hal ini dikenal dengan istilah 'hawkish cut'.
Dot plot dalam SEP Desember 2024 ini tampak lebih pesimis dibandingkan September 2024 mengingat inflasi utama dan inti pada 2025 dinaikkan ke estimasi masing-masing 2,4% dan 2,8%, sedikit lebih tinggi dari proyeksi September dan di atas target 2% Fed untuk akhir 2024.
Keputusan komite ini diambil meskipun inflasi tidak hanya tetap di atas target bank sentral, tetapi juga sementara ekonomi diproyeksikan oleh Fed Atlanta akan tumbuh pada tingkat 3,2% di kuartal keempat dan tingkat pengangguran berada sekitar 4%.
Hawkish cut dari The Fed ini terjadi setelah Presiden Terpilih AS, Donald Trump menang dalam pemilihan presiden melawan Kamala Harris dan dinilai pasar cenderung akan meningkatkan harga-harga di pasar atau dengan kata lain membuat inflasi lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya.
Sebagai catatan, kemenangan Trump akan membuat inflasi semakin sulit ditekan khususnya karena barang impor ke AS yang akan dikenakan tarif lebih tinggi sehingga berujung pada keseluruhan harga barang di AS menjadi lebih mahal.
Ketika inflasi tak dapat ditekan ke level yang lebih rendah dan menemui target The Fed di angka 2%, maka The Fed tampak akan membiarkan suku bunga berada di level yang cukup tinggi di waktu yang lebih lama atau dengan kata lain bahwa pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih sulit terjadi.
BI Menaikkan dan Menurunkan 25 bps
Sementara suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) pada awal 2024 berada di angka 6% dan ditahan suku bunganya hingga Maret 2024 kemudian mulai menaikkan 25 bps ke angka 6,25% pada April 2024 dipicu oleh dinamika global yang bergerak sangat cepat serta untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus tertekan sejak awal 2024.
Lebih lanjut, BI menahan suku bunga hingga Agustus 2024 dan mulai menurunkan suku bunganya pada September 2024 sebesar 25 bps mengingat nilai tukar rupiah yang terus mengalami penguatan dengan signifikan sejak puncaknya pada Juni 2024.
Pertimbangan berikutnya adalah inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat rendah di seluruh komponen sehingga mencapai 2,12% (year on yeay/yoy) pada Agustus 2024. Inflasi inti tercatat sebesar 2,02% (yoy), sementara inflasi volatile food (VF) terus menurun menjadi 3,04% (yoy), dari level bulan sebelumnya 3,63% (yoy).
Terakhir pada Desember 2024, BI kembali menahan suku bunganya di level 6% untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, ia menekankan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan AS dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah.
PBoC Turunkan LPR 1 & 5 Tahun
Selaras dengan The Fed dan BI, PBoC juga menurunkan suku bunganya untuk Loan Prime Rate (LPR) satu tahun maupun lima tahun di 2024. Hal ini dilakukan mengingat kondisi perekonomian China yang terus tertekan hari demi hari khususnya dari sektor properti yang merupakan salah satu driver utama penggerak roda perekonomian.
PBoC bahkan jauh dulu memangkas suku bunga demi mendongrak ekonomi China yang lesu.
Di awal 2024 atau tepatnya Februari 2024, LPR tenor lima tahun diturunkan sebesar 25 bps ke angka 3,95% sementara LPR tenor satu tahun masih ditahan di angka 3,45%.
Pemotongan LPR selama lima tahun menargetkan untuk pemulihan pasar properti di negeri tirai bambu tersebut. Selain itu, dapat meningkatkan keterjangkauan pembeli dengan menurunkan suku bunga Kredit Perumahan Rakyat/KPR.
Kemudian pada Juli 2024, LPR tenor satu dan lima tahun masing-masing diturunkan suku bunganya sebesar 10 bps menjadi 3,35% dan 3,85%. Pemotongan ini dilakukan setelah China melaporkan data ekonomi kuartal kedua yang lebih lemah dari yang diperkirakan sebelumnya dan para pemimpin puncaknya mengadakan pleno yang terjadi sekali sekitar setiap lima tahun.
Negara tersebut hampir menghadapi deflasi dan menghadapi krisis properti yang berkepanjangan, utang yang meningkat pesat, serta sentimen konsumen dan bisnis yang lemah. Ketegangan perdagangan juga meningkat, karena pemimpin global semakin waspada terhadap dominasi ekspor China.
Pertumbuhan ekonomi China tampak mengalami mengalami penurunan untuk kuartal II-2024. Perlambatan tersebut tercermin mengingat hanya tumbuh sebesar 4,7% yoy atau terendah sejak kuartal I-2023.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dari perkiraan para analis. Dalam catatan AFP dan CNBC International, Bloomberg dan Reuters mensurvei PDB China 5,1%.
"Penjualan ritel yang merupakan ukuran utama konsumsi melambat menjadi hanya 2% pada Juni 2024 turun dari 3,7% pada bulan Mei," kata Biro Statistik Nasional (NBS) China dalam sebuah pernyataan.
Kemudian pada Oktober 2024, PBoC menurunkan suku bunga pinjaman acuannya sebesar 25 bps untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Penyesuaian ini menurunkan LPR satu tahun dari 3,35% menjadi 3,1% dan LPR lebih dari lima tahun dari 3,85% menjadi 3,6%.
Langkah ini merupakan bagian dari serangkaian kebijakan moneter yang bertujuan untuk merangsang perekonomian di tengah tantangan yang sedang berlangsung. Selain pemotongan suku bunga, PBoC juga mengumumkan pengurangan rasio cadangan wajib (RRR) bank sebesar 50 basis poin untuk menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem keuangan.
Langkah-langkah ini mencerminkan komitmen PBoC untuk mendukung aktivitas ekonomi dan memastikan stabilitas keuangan di tengah tekanan ekonomi domestik dan global.
BoJ Pilih Naikkan Suku Bunga
Namun berbeda halnya dengan BoJ yang justru menaikkan suku bunganya di tahun ini mengingat lemahnya nilai tukar yen dan faktor lainnya.
Di awal 2024, suku bunga BoJ berada di -0,1% pada saldo kebijakan (Policy-Rate Balances) di rekening giro yang dimiliki oleh lembaga keuangan di Bank. Selain itu, Bank akan membeli sejumlah obligasi pemerintah Jepang (JGB) yang diperlukan tanpa menetapkan batas atas agar hasil JGB 10 tahun tetap berada di sekitar 0%.
Kemudian pada Maret 2024, BoJ menaikkan suku bunganya atau pertama kalinya dalam 17 tahun terakhir menjadi 0,1%. Hal tersebut dilakukan karena terjadi peningkatan inflasi, dengan laju inflasi mencapai atau bahkan melebihi target 2% yang ditetapkan oleh BoJ. Kenaikan harga ini mendorong BoJ untuk menyesuaikan kebijakan moneternya guna menjaga stabilitas harga.
Selanjutnya, BoJ kembali memutuskan untuk menaikkan suku bunganya pada Juli 2024 menjadi sekitar 0,25% menandai perubahan signifikan dari kisaran sebelumnya antara nol hingga sekitar 0,1%.
Penyesuaian ini merupakan bagian dari strategi BoJ yang lebih luas untuk menormalkan kebijakan moneter setelah periode panjang suku bunga yang sangat rendah. Keputusan tersebut bertujuan untuk mengatasi tantangan ekonomi, termasuk depresiasi yen, dan menyesuaikan diri dengan tren global menuju pengetatan kebijakan moneter.
Langkah BoJ untuk menaikkan suku bunga menjadi 0,25% merupakan respons terhadap berbagai indikator ekonomi dan kondisi pasar, mencerminkan komitmennya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengatasi tekanan inflasi.
Kenaikan suku bunga pada Juli silam memicu reaksi kuat dari pasar keuangan; yen Jepang langsung menguat, sementara pasar saham anjlok tak lama setelahnya. Dalam empat hari perdagangan setelah kenaikan suku bunga tersebut, nilai yen terhadap dolar AS naik hampir 8%, dan indeks pasar saham Nikkei 225 turun lebih dari 18%. Akibatnya, BOJ mendapat kritik atas keputusannya untuk menaikkan suku bunga kebijakan.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa jika BOJ terus memperketat kebijakan moneternya, saham-saham Jepang dan pemegang aset dalam mata uang asing dapat mengalami kerugian lebih lanjut.
Pada pertemuan terakhir, tepatnya Desember 2024, BoJ menahan suku bunga acuannya di level 0,25%. Namun yang menjadi perhatian berikutnya adalah bahwa ada kemungkinan pada awal 2025 mendatang, BoJ akan menaikkan suku bunganya sebagaimana tercermin dalam ringkasan pendapat pada pertemuan Desember mereka. Meski BOJ mempertahankan suku bunga tetap di 0,25% dalam pertemuan tersebut, Gubernur Kazuo Ueda menjelaskan bahwa keputusan ini diambil untuk mengumpulkan lebih banyak data terkait momentum kenaikan upah tahun depan dan kebijakan ekonomi pemerintahan baru di AS.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)