TAUD Beber Dugaan Pelanggaran Polisi Terkait Aksi May Day di DPR

19 hours ago 5

Jakarta, CNN Indonesia --

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menemukan sejumlah dugaan pelanggaran oleh aparat dalam menangani aksi peringatan Hari Buruh se-Dunia atau International May Day di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (1/5).

Mulai dari tindakan represif, penghalangan terhadap akses bantuan hukum hingga pelanggaran saat melakukan pemeriksaan terhadap massa aksi.

"Aparat kepolisian menabrak hukum dan bertindak represif serta brutal pada massa aksi ketika aksi masih berlangsung," demikian dikutip dari siaran pers TAUD, Jumat (2/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari temuan mereka, polisi mengadang, menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR sekitar pukul 08.20 WIB. Bahkan, ada mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas.

"Tindakan tersebut telah melanggar UU 1/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak menyampaikan pendapat sebagaimana yang diatur berdasarkan Pasal 5 UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," ucap mereka.

Polisi disebut juga melakukan penganiayaan kepada paramedis yang sedang berjaga di posko. Temuan TAUD menyebut 4 dari 14 massa aksi yang ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan.

"Tim medis ini mendapat penganiayaan berupa pemukulan pada bagian kepala dan leher," ungkap TAUD.

"Pada beberapa korban, penganiayaan dilakukan sekitar 3-4 menit padahal korban sudah menyerah dan tidak memberikan tindakan reaksi apa pun," sambungnya.

TAUD menambahkan ada tiga orang massa aksi yang mengalami luka bocor kepala akibat kekerasan fisik yang diduga dilakukan polisi.

Sejumlah 13 dari 14 orang massa aksi yang ditangkap mengalami luka luar dan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Para korban, sebut mereka, mengaku dipukul, dipiting, didorong, ditendang, hingga dilindas oleh kendaraan bermotor.

"Peristiwa ini secara jelas melanggar UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kode Etik Profesi Kepolisian," tutur mereka.

Polisi diduga menutup fasilitas umum dengan memasang kawat berduri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang seharusnya menjadi akses jalan bagi masyarakat termasuk massa aksi yang ingin menggunakan haknya untuk menyeberang jalan di sekitar lokasi unjuk rasa.

Polisi disinyalir membubarkan aksi yang sedang berlangsung tanpa peringatan dan alasan yang sah menurut hukum. Sekitar pukul 17:00 WIB, polisi juga melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan untuk membubarkan aksi.

"Pembubaran dilakukan ketika aksi dan hiburan musik masih berlangsung dengan menggunakan water canon dan gas air mata yang tidak sesuai dengan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," ungkap TAUD.

TAUD mengungkapkan polisi diduga melakukan kekerasan kepada jurnalis dan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik. Hal ini bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers.

Banyak hal lain lagi yang menjadi temuan TAUD berkaitan dengan dugaan kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh polisi dalam menangani aksi peringatan hari buruh tersebut.

"Aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan seksual berupa pelecehan seksual fisik dan nonfisik kepada salah seorang massa aksi perempuan yang ditangkap," ucap TAUD.

Halangi bantuan hukum

Tim TAUD mengaku tidak segera mendapat kabar dari Polda Metro Jaya untuk meminta konfirmasi identitas massa aksi yang ditangkap. Informasi baru diperoleh dan terkonfirmasi dengan jelas pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.

Pengacara publik dari TAUD diminta menyerahkan ponsel (alat kerja) saat pendampingan tanpa dasar yang jelas.

Polisi disebut menyita telepon genggam milik massa aksi yang ditangkap sehingga sulit menghubungi keluarga dan pengacara.

"Tindakan tersebut telah melanggar Pasal 14 Kovenan HAM Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi dalam UU 12/2005 maupun Pasal 60 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas jaminan untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai guna mempersiapkan pembelaannya dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri," tandasnya.

Pemeriksaan sewenang-wenang

TAUD menyebut polisi melakukan pemeriksaan tes urine secara sewenang-wenang padahal yang berlangsung bukan bagian dari proses penyidikan tindak pidana narkotika.

"Bahkan, pemaksaan tes urine dilakukan sebelum adanya pendampingan oleh pengacara. Kepolisian juga melakukan permintaan sidik jari dan email pribadi di mana ini berpotensi melanggar hak atas data pribadi sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan data pribadi," ucap TAUD.

TAUD mengatakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap massa aksi dilakukan dengan prosedur ilegal, melalui berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi yang tidak dikenal dalam KUHAP. Dugaannya untuk mencari kesalahan karena ketiadaan bukti permulaan yang cukup.

Polisi disebut melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan luka berat, berlangsung hingga pukul 05.00 pagi di mana orang yang diperiksa sudah mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga menyebabkan ada kecenderungan untuk mengiyakan pertanyaan.

Kata TAUD, hal itu dapat dipandang sebagai bentuk torture atau penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi melalui UU 5/1998.

"Dalam kondisi menahan rasa sakit, kepolisian tetap melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang massa aksi yang sudah diminta untuk beristirahat dari pemeriksaan terlebih dahulu oleh Dokter pada Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya," ungkap TAUD.

"Tindakan pemeriksaan ini dilakukan setelah korban seolah-olah disuruh beristirahat ketika ada penasihat hukum setelah pemeriksaan dokter. Sesaat setelah penasihat hukum meninggalkan ruangan untuk membiarkan massa aksi beristirahat, polisi membangunkan massa aksi ini dan meneruskan pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasihat hukum dan dalam kondisi menahan rasa sakit," lanjutnya.

Lebih lanjut, polisi disebut menghalang-halangi korban kekerasan untuk mengakses rumah sakit. Untuk dapat mengakses rumah sakit, penasihat hukum perlu berdebat dengan kepolisian mengenai kebutuhan dari pemeriksaan lebih lengkap di rumah sakit guna memastikan kondisi korban penganiayaan aparat.

"Akibat adanya penundaan untuk dibawa ke rumah sakit, kondisi korban semakin buruk dan hingga kini harus dirawat di rumah sakit," pungkasnya.

Belum ada keterangan dari polisi mengenai temuan dari TAUD tersebut. CNNIndonesia.com sudah menghubungi Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi tetapi belum mendapat respons.

Pada Jumat (2/5) siang, Ade Ary menyampaikan pihaknya 'mengamankan' 14 orang atas tuduhan bertindak anarkis karena mengganggu ketertiban umum dan melakukan perbuatan pidana.

Mereka sejak tadi malam dilakukan pendalaman di Polda Metro Jaya.

"Kami sangat menyayangkan kejadian kemarin, walaupun dalam waktu yang cepat sudah berhasil diamankan dan situasi saat ini juga kondusif ya," kata Ade Ary, Jumat (2/5).

"Update-nya nanti akan kami sampaikan lagi. Saat ini pemeriksaan masih berlangsung di Subdit Kamneg," lanjut dia.

(ryn/wis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research