Warga di Wilayah Ini Kena Penyakit Serang Saraf, Bikin Tak Bisa Jalan

6 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Siapa sangka, di sebuah kota kecil di Brasil, kisah sedih tentang pernikahan sepupu membawa dampak besar pada generasi mereka. Kota terpencil itu adalah Serrinha dos Pintos, di sebelah timur laut Brasil dan berpenduduk kurang dari 5.000 orang.

Melansir BBC, Serrinha dos Pintos menjadi tempat penting dalam perjalanan riset seorang ahli biologi dan genetika, Silvana Santos. Di sanalah ia pertama kali mengidentifikasi kondisi medis langka yang belum pernah tercatat sebelumnya, yaitu sindrom Spoan. Penyakit ini disebabkan oleh mutasi genetik yang menyerang sistem saraf dan perlahan melemahkan tubuh. Masalah ini baru muncul jika mutasi diwariskan dari kedua orang tua, sesuatu yang mungkin terjadi jika pasangan memiliki hubungan darah dekat.

Penemuan sindrom Spoan membawa Santos meraih penghargaan bergengsi, termasuk masuk daftar 100 perempuan paling berpengaruh versi BBC tahun 2024. Tapi sebelum penelitiannya, warga Serrinha hidup tanpa jawaban atas penyakit aneh yang membuat anak-anak mereka lemah dan tidak bisa berjalan.

Kini, berkat penelitian tersebut, warga setempat lebih memahami apa itu sindrom Spoan dan pentingnya genetika. "Ia memberi kami diagnosis yang dulu tidak pernah ada. Sejak saat itu, bantuan mulai berdatangan, dari dana hingga kursi roda," cerita Marquinhos, salah satu warga yang terdampak, melansir dari BBC, dikutip Senin (12/5/2025).

Kota Terasing yang Menyimpan Misteri

Silvana Santos sendiri tinggal di São Paulo, kota metropolitan terbesar di Brasil. Di sanalah, lewat obrolan dengan tetangganya, yang ternyata berasal dari Serrinha, ia pertama kali mendengar kisah tentang banyaknya orang yang tidak bisa berjalan tanpa sebab yang jelas.

Salah satunya, seorang gadis kecil bernama Zirlândia, menunjukkan gejala aneh: matanya bergerak tanpa kendali, tubuhnya lunglai, dan ia membutuhkan kursi roda serta bantuan untuk aktivitas sehari-hari.

Penyelidikan panjang akhirnya membawa Santos dan timnya mengungkapkan, kelainan ini disebabkan oleh faktor genetik. Mereka bahkan menemukan 82 kasus serupa di seluruh dunia.

Saat akhirnya mengunjungi Serrinha dos Pintos, Santos melihat sendiri realita di balik cerita itu. Kota ini terisolasi, dengan pernikahan antar sepupu yang sangat umum terjadi. Banyak pasangan bahkan tidak tahu mereka masih berkerabat. Ada pula yang sengaja menikah dengan kerabat dekat, percaya bahwa hubungan keluarga mempererat pernikahan.

Padahal, menurut ahli genetika Luzivan Costa Reis dari Universitas Federal Rio Grande do Sul, risiko memiliki anak dengan kelainan genetik dari pernikahan sepupu meningkat menjadi 5%-6%, dua kali lipat dari pasangan yang tidak berkerabat.

Penelitian menunjukkan lebih dari 30% pasangan di Serrinha dos Pintos adalah kerabat, dan sepertiga dari mereka memiliki setidaknya satu anak penyandang disabilitas.

Bertahun-tahun Mencari Jawaban

Santos memulai penelitiannya dengan sederhana: berkendara ribuan kilometer, mengetuk pintu rumah, minum kopi bersama keluarga-keluarga Serrinha, sambil mengumpulkan sampel DNA dan mendengarkan kisah mereka.

Niat awalnya hanya melakukan penelitian tiga bulan, tapi semua itu berubah menjadi dedikasi seumur hidup. Pada tahun 2005, hasil kerja kerasnya dipublikasikan: sindrom Spoan resmi tercatat dalam dunia medis.

Mutasi genetik ini ternyata bukan baru terjadi. Diduga muncul lebih dari 500 tahun lalu, dibawa oleh para pemukim awal dari Eropa, termasuk Portugis, Belanda, dan komunitas Yahudi Sephardic. Penemuan dua kasus serupa di Mesir semakin menguatkan teori asal usul mutasi ini dari Semenanjung Iberia.

"Kemungkinan besar, kasus ini berasal dari orang-orang Yahudi Sephardic atau Moor yang melarikan diri dari Inkuisisi," jelas Santos.

Walaupun belum ada obat, pemahaman tentang sindrom Spoan membawa perubahan besar. Kini, anak-anak yang dulu hanya bisa terbaring sudah mendapat kursi roda yang membantu mereka lebih mandiri. Sebutan "cacat" perlahan tergantikan dengan "pengidap Spoan".

Tapi perjuangan masih panjang. Penyakit ini memburuk seiring bertambahnya usia. Di Serrinha, banyak pasien yang saat mencapai usia 50 tahun menjadi sangat bergantung pada orang lain.

Salah satunya, Chiquinho, kini berusia 59 tahun, sudah kehilangan kemampuan bicara. Adiknya, Marquinhos, 46 tahun, hanya bisa berkomunikasi terbatas. Ibunya, Inés, yang juga menikah dengan sepupunya, mengungkapkan betapa berat membesarkan anak-anak dengan kebutuhan khusus. "Kami mencintai mereka sepenuh hati, tapi kami juga ikut merasakan penderitaan mereka," katanya.

Kini, perhatian Santos beralih ke generasi baru. Bersama Kementerian Kesehatan Brasil, ia memimpin program skrining genetik terhadap 5.000 pasangan, untuk membantu mereka memahami risiko sebelum menikah, bukan untuk melarang, tetapi untuk memberi pilihan sadar.

Santos, yang kini menjadi profesor, masih sering mengunjungi Serrinha. Setiap kali datang, rasanya seperti pulang ke rumah.

"Silvana Santos sudah menjadi bagian dari keluarga kami," ujar Inés, penuh rasa syukur.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Efek Domino Perang Dagang ke Bisnis Parfum Lokal

Next Article Marak Serangan Jantung di Usia Muda, Lakukan ini Sebelum Terlambat...

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research