Jakarta, CNBC Indonesia - Tepat hari ini 146 tahun lalu, Kartini dilahirkan ke dunia. Namanya dalam sejarah harum sebagai sosok pejuang emansipasi wanita di masa penjajahan silam.
Namun, popularitas Kartini yang melesat di kemudian hari berbanding terbalik dengan nasib para keluarganya. Tak sedikit dari mereka hidup menderita. Mulai dari tak diakui negara sendiri, sengsara di masa tua, dan menjadi korban amukan massa saat lansia. Siapa saja?
1. Kardinah
Kardinah merupakan adik kandung Kartini. Pada 1902, Kardinah menikah dengan Raden Mas Haryono, putra Bupati Tegal Reksonegoro. Kelak, Mas Haryono juga menjadi Bupati Tegal dan praktis membuat nama Kardinah juga terangkat.
Pada masa kolonialisme, status Kardinah sebagai keluarga pejabat tak masalah. Namun, saat Indonesia merdeka, status tersebut jadi malapetaka. Rakyat yang mengalami penindasan hebat di masa penjajahan menjadikan para pejabat dan keluarganya sebagai objek balas dendam.
Kardinah pun tak luput dari sasaran. Pada 19 Oktober 1945, rumah Kardinah dimasuki paksa masyarakat yang ngamuk. Mereka datang mencari Bupati Tegal yang juga menantu Kardinah, yakni Sunarjo. Namun, akibat Sunarjo tak ketemu, massa menyasar Kardinah, istri Sunarjo, cucu perempuan, hingga pembantu.
Sejarawan Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah (1989) menyebut, Kardinah dan korban lain dipaksa keluar rumah dengan menanggalkan pakaian untuk diganti karung goni. Mereka diarak keliling kota sembari dihujat banyak orang. Kala itu, Kardinah sudah berusia 64 tahun.
Aksi keji ini kemudian berakhir ketika Kardinah mengeluhkan rasa sakit di sekujur tubuh. Setelahnya, Kardinah dan korban lain dibawa menggunakan truk dan ditahan di rumah Wedana Adiwerna.
Kejadian ini membuat Kardinah trauma berat. Dia memilih menghabiskan waktu di sisa hidupnya di kota baru, yakni Salatiga, sampai wafat pada 1970.
2. Soesalit
Soesalit merupakan anak kandung Kartini. Kehidupannya bersama ibu hanya empat hari. Pada 17 September 1904, Kartini dinyatakan wafat. Setelahnya, Soesalit diasuh oleh nenek dan keluarga lain sampai tumbuh dewasa.
Pada 1943, Soesalit memilih jalan di dunia militer. Dia kemudian tergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan Panglima Divisi III Diponegoro. Selama menjadi tentara, karier Soesalit sangat cemerlang. Dia berhasil menjadi andalan dalam menghadapi musuh.
Akan tetapi, Soesalit mengalami batu sandungan pada 1948. Dia dituduh pemerintah terlibat dalam Peristiwa Madiun yang identik dengan kelompok komunis. Dalam Kartini: Sebuah Biografi (1977) diceritakan, dia kemudian dicopot sebagai panglima dan ditahan tanpa bukti peradilan jelas.
Setelah dibebaskan Soekarno, Soesalit menjadi tentara di belakang meja dan langsung meredup. Dia sempat menjadi penasehat menteri pertahanan. Ketika pensiun, Soesalit dikabarkan hidup dalam keadaan melarat.
Sebab dia punya sikap yang berbeda dan patut menjadi teladan. Dia tak pernah menonjolkan prestasi diri, tak pernah menyebut keturunan Kartini yang disukai banyak orang, dan tidak mau meminta hak-haknya sebagai veteran dan pensiunan tentara kepada pemerintah.
Keadaan demikian terus dialami Soesalit sampai wafat pada 17 Maret 1962.
3. Sosrokartono
Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan kakak kandung Kartini yang lahir pada 10 April 1877. Semasa hidup, Sosrokartono pandai memanfaatkan keistimewaan sebagai keluarga ningrat. Dia banyak menghabiskan pendidikan hingga ke Eropa.
Dalam Sosrokartono: Sebuah Biografi (1987), dia tercatat sebagai mahasiswa Polytechnische School te Delft dan Universitas Leiden. Setelah lulus, dia kemudian berkarier sebagai jurnalis. Dia banyak menulis di surat kabar Belanda hingga koran Amerika Serikat. Bahkan, dia sempat menjadi juru bicara untuk negara-negara sekutu dalam Perang Dunia I (1914-1918).
Kecemerlangan karier Sosrokartono terjadi karena dia menguasai banyak bahasa. Dia tak hanya bisa berbahasa Inggris dan Belanda, tetapi juga Rusia, Prancis, Jerman, dan 30 bahasa lain. Atas dasar ini, dia dijuluki 'Si Jenius dari Timur'.
Anugerah kecerdasan itu dia terapkan juga dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dia tergabung dalam beragam organisasi pergerakan tahun 1900-an. Sayang, kecerdasan Sosrokartono tak dihargai negara sendiri.
Meski harum di Eropa, Sostrokartono tak diakui pemerintah Hindia Belanda. Alasannya karena dia tak mau diajak kerjasama pemerintah dan memilih berjuang demi Indonesia. Alhasil, saat pulang ke Jawa, Sostrokartono tak bisa kerja. Ruang geraknya dipersempit dan terus-terusan difitnah.
Sampai akhirnya, itu semua membuat Sostrokartono mengalami tekanan batin. Sejak 1942 dia mengalami kelumpuhan hingga wafat pada 1952.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: