Kemenkum | CNN Indonesia
Kamis, 01 Mei 2025 18:05 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena sound horeg mencuri perhatian publik sebagai bagian dari hiburan di ruang terbuka, mulai dari pesta pernikahan, arak-arakan, hingga panggung rakyat.
Kegiatan tersebut punya ciri khas sendiri. Yakni menggunakan speaker atau sound system yang memiliki daya besar dan memutar lagu-lagu populer dengan aransemen yang unik, serta terkadang disertai dengan pertunjukan visual atraktif.
Namun, suara yang keras serta dentuman yang keluar dari speaker seringkali menimbulkan keresahan. Selain mengganggu ketenangan, juga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan di sekitar sound horeg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, pro kontra pun muncul di masyarakat atas atraksi ini. Bagaimanakah sebenarnya kedudukan 'sound horeg' dalam kacamata pelindungan kekayaan intelektual (KI)?
Dalam wawancara di kantor DJKI pada Rabu (30/4), Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Agung Damarsasongko mengimbau kepada masyarakat untuk menelaah terlebih dahulu fenomena sound horeg yang ramai diperbincangkan di masyarakat.
"Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi KI nya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat," ujarnya dalam keterangan resmi.
Menurutnya, hal tersebut sangat penting untuk dibedakan terlebih dahulu. Sebab, terdapat hasil karya kreativitas seseorang yang harus tetap dihargai dan dilindungi kekayaan intelektualnya.
Dalam satu fenomena sound horeg mengandung beberapa obyek KI yang masing-masing dapat dilindungi sebagai kreativitas.
Lebih lanjut, adanya teknologi yang digunakan untuk menimbulkan suara dengan desibel yang tinggi dapat dilindungi patennya, sedangkan bentuk kreasi sound horeg yang beraneka ragam dapat dilindungi desain industrinya apabila terdapat kebaruan pada produknya.
"Kemudian untuk musik remix yang diputar, ini dapat dilindungi hak ciptanya dengan tidak meninggalkan hak moral dan hak ekonomi para pemilik karya yang diremix," ujarnya.
"Dalam artian, musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu atau kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan," terang Agung.
Sementara itu, menyikapi penolakan masyarakat yang sedang berkembang, Agung mengajak pihak-pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan aturan supaya fenomena ini dapat digunakan pada tempat dan kesempatannya, sehingga tidak memberikan dampak buruk kepada masyarakat tanpa menghilangkan pelindungan KI atas kreativitas yg dihasilkan.
(inh)