Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump terhadap berbagai negara di dunia berpotensi membuat kenaikan harga barang atau dengan kata lain inflasi.
Pada pekan lalu, Trump mengatakan bahwa ia akan umumkan tarif baru 25% pada Senin (10/2/2025) hari ini. Hal ini berlaku untuk semua impor baja dan aluminium ke Paman Sam, dalam perombakan kebijakan "bea masuk logam" besar-besaran yang dirinya lakukan.
Trump, berbicara kepada wartawan di Air Force One dalam perjalanannya ke NFL Super Bowl di New Orleans, juga mengatakan bahwa ia akan mengumumkan tarif timbal balik atau resiprokal pada Selasa atau Rabu, yang akan berlaku segera. Ia mengatakan AS akan menyamakan tarif yang dikenakan oleh negara lain dan bahwa ini akan berlaku untuk semua negara.
Sebelumnya, perselisihan soal perang dagang baru saja terjadi antara AS dengan China.
Trump menaikkan tarif 10% ke impor negeri itu Selasa pekan lalu.
Hal ini pun membuat balasan dari pemerintah Xi Jinping. Kementerian Keuangan China mengatakan mereka akan menaikkan tarif tambahan sebesar 15% pada impor batu bara dan gas alam cair AS mulai 10 Februari.
Deutsche Bank dalam laporannya menjelaskan bahwa tarif baru AS, kapan pun mereka mulai diberlakukan, akan berdampak ke sekitar 44% dari seluruh impor ke AS. Besaran tersebut setara dengan $1,35 triliun dan kemungkinan akan meningkatkan inflasi AS hingga 1%.
Deutsche Bank juga mengatakan bahwa tarif yang berkelanjutan akan memiliki "dampak ekonomi yang jauh lebih besar" bagi perekonomian Kanada dan Meksiko dibandingkan dengan Brexit di Inggris. Pemberi pinjaman swasta terbesar Jerman tersebut memperkirakan kedua negara tersebut akan terjerumus ke dalam resesi dalam beberapa minggu mendatang.
Lalu apa saja serangan Beijing kepada AS?
1.LNG & Batu Bara hingga Minyak & Peralatan Pertanian
Kementerian Keuangan China akan mengenakan tarif 15% atas impor gas alam cair (LNG) dan batu bara AS. Pungutan 10% juga diberikan atas minyak, peralatan pertanian, dan beberapa mobil.
Perlu diketahui, sekitar 5,4% dari impor LNG China berasal dari AS, dengan total 4,16 juta ton tahun lalu dan bernilai US$2,41 miliar. China membeli sekitar 10% dari ekspor LNG AS tahun lalu.
2. Pembatasan pada Rare Earth
Kementerian Perdagangan China dan Administrasi Umum Bea Cukai juga akan mulai mengenakan kontrol ekspor atas beberapa mineral dan logam tanah jarang (rare earth) yang penting bagi industri teknologi dan dan energi hijau AS. Ini terkait logam tungsten, telurium, bismut, indium, dan molibdenum serta produk-produk terkaitnya.
Kementerian Perdagangan China mengatakan tindakan ini dilakukan untuk "menjaga kepentingan keamanan nasional".
Pembatasan ini diyakini berpotensi memukul AS lebih keras. Tungsten misalnya, digunakan dalam produksi berbagai hal seperti peluru artileri, pelat baja, dan alat pemotong karena kekerasannya yang ekstrem.
Sekitar 60% tungsten yang dikonsumsi AS digunakan untuk tungsten karbida, yang digunakan dalam konstruksi, pengerjaan logam, serta pengeboran minyak dan gas. China memproduksi sekitar 80% pasokan global pada tahun 2023.
Ini juga diyakini mengganggu ekspor Indium AS, yang penting dalam produksi layar ponsel dan TV. Termasuk telurium, bismut, serta molibdenum, yang penting untuk hal-hal seperti pengerjaan logam.
3. Penyelidikan ke Google hingga Calvin Klein
Regulator antimonopoli China juga mengumumkan penyelidikan terhadap Google milik Alphabet sambil memasukkan PVH Corp, perusahaan induk untuk berbagai merek termasuk Calvin Klein. Perusahaan bioteknologi Illumina juga masuk dalam daftar perusahaan potensial yang dapat menjadi sasaran sanksi.
4. Truk Listrik & Tesla
Truk listrik yang diimpor dari AS juga akan dikenakan tarif sebesar 10%. Ini diyakini berdampak pada Tesla, milik sekutu Trump, Elon Musk, yang telah mempromosikan truk listriknya di China.
Perang Dagang AS
Trump selama masa jabatan pertamanya,2017 - 2021,mengenakan tarif sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Tetapi kemudian memberikan beberapa mitra dagang kuota bebas bea, termasuk Kanada, Meksiko, dan Brasil.
Kebijakan makin diperlebar di masa mantan Presiden Joe Biden ke Inggris, Jepang, dan Uni Eropa (US), seiring utilisasi kapasitas pabrik baja AS yang telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data pemerintah dan American Iron and Steel Institute, sumber impor baja AS terbesar adalah Kanada, Brasil, dan Meksiko, diikuti oleh Korea Selatan (Korsel) dan Vietnam.
Dengan selisih yang besar, Kanada adalah pemasok logam aluminium primer terbesar ke AS, yang mencakup 79% dari total impor dalam 11 bulan pertama tahun 2024. Meksiko adalah pemasok utama skrap aluminium dan paduan aluminium.
Bagaimana Dengan Inflasi Dunia?
Berdasarkan data dari Bank Dunia, inflasi global pada 2018 tercatat sebesar 2,4% (year on year/yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan 2017, 2016, dan 2015 yang masing-masing sebesar 2,3%, 1,6%, dan 1,4%.
Sebagai catatan, Trump mengawali perang dagang di awal pemerintahan pertamanya pada 2018.
Untuk diketahui, inflasi global adalah tingkat kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan di seluruh dunia dalam periode waktu tertentu. Inflasi ini mencerminkan perubahan rata-rata harga di berbagai negara, yang memengaruhi daya beli masyarakat, biaya produksi, dan stabilitas ekonomi global.
Inflasi global biasanya diukur menggunakan indikator seperti:
- Indeks Harga Konsumen (CPI) Global: Menghitung rata-rata perubahan harga barang dan jasa konsumsi di berbagai negara.
- Indeks Harga Produsen (PPI): Mengukur perubahan harga dari perspektif produsen di tingkat global.
- Inflasi Inti (Core Inflation): Mengabaikan komponen yang sangat fluktuatif seperti harga energi dan pangan untuk melihat tren inflasi yang lebih stabil.
Banyak faktor yang memengaruhi inflasi global, seperti:
- Permintaan Global: Ketika permintaan terhadap barang dan jasa meningkat di banyak negara, harga cenderung naik.
- Gangguan Rantai Pasokan: Krisis logistik, bencana alam, atau pandemi dapat menghambat pasokan global dan mendorong harga naik.
- Harga Komoditas: Lonjakan harga minyak, gas, atau bahan pangan dapat memicu inflasi di seluruh dunia.
- Kebijakan Moneter Global: Perubahan suku bunga di negara-negara besar, seperti AS, dapat memengaruhi inflasi global melalui aliran modal dan nilai tukar mata uang.
- Kenaikan ongkos produksi dan logistik: Kenaikan tarif secara otomatis akan mengerek harga barang karena ada penambahan biaya dari barang yang diproduksi dan akan dijual ke sebuah negara.
Kenaikan ongkos inilah yang diperkirakan akan mengerek inflasi. Sebagai contoh, barang yang dulu hanya dikenakan bea masuk atau pajak impor sebesar 5% kini tarifnya ditingkatkan menjadi 15%. Artinya, ada selisih kenaikan yang harus ditanggung produsen hingga eksportir. Barangpun akan semakin mahal ketika sampai di tangan pembeli.
Mampukah Minyak Jadi Penekan Inflasi?
Perang dagang Trump jilid 2 kemungkinan besar akan dibarengi dengan kebijakan "drill baby drill" atau pengeboran minyak secara besar-besaran. Dengan demikian, produksi minyak akan naik secara signifikan sehingga bisa menekan harga. Sebagai catatan, Bank Dunia menunjukkan bahwa periode 2001 - 2022, harga minyak menjadi pendorong utama inflasi global.
Harga energi, terutama yang bersumber dari minyak, sebagai komponen yang selama ini memicu inflasi bisa mengurangi potensi adanya kenaikan inflasi.
Foto: Impact of global shocks on global inflation (percentage point)
Sumber: Bank Dunia
Bank Dunia memproyeksi sepanjang 2025, keseimbangan pasar minyak global tampak terus mengalami kenaikan baik dari sisi supply maupun demand, namun posisi supply diperkirakan terus berada di atas demand.
Foto: Global oil market balance
Sumber: Bank Dunia
Proyeksi Inflasi Global 2025 & 2026
Inflasi global terus menurun tahun lalu seiring dengan meredanya harga energi dan pangan, membaiknya rantai pasokan, serta efek tertunda dari kebijakan moneter yang ketat. Akibatnya, proporsi negara dengan inflasi di atas target diperkirakan akan turun pada 2025 ke tingkat terendah sejak puncaknya pada tahun 2022.
Namun, inflasi inti (core inflation) tetap tinggi tahun lalu, yang mengurangi dampak disinflasi dari penurunan tajam inflasi energi dan pangan.
Inflasi diperkirakan akan terus menurun pada 2025, didorong oleh:
- Pelemahan harga inti, seiring dengan menurunnya permintaan dan meredanya pasar tenaga kerja.
- Penurunan lebih lanjut harga komoditas.
Meskipun demikian, beragam kemungkinan hasil inflasi tetap terbuka, sebagian disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan yang meningkat di berbagai negara.
Ke depan, inflasi utama global diperkirakan akan turun menjadi rata-rata 2,7% pada periode 2025-2026, yang secara umum konsisten dengan target inflasi di banyak negara maju dan negara berkembang (EMDEs).
Namun, angka ini belum menghitung dampak perang dagang Trump dengan banyak negara. Artinya, ada kemungkinan angkanya naik dari proyeksi awal.
Namun, rentang kemungkinan jalur inflasi global selama periode proyeksi ini cukup luas, mencerminkan adanya ketidakpastian kebijakan yang signifikan. Hal ini terkait dengan potensi terjadinya:
- Perubahan besar dalam kebijakan fiskal, dan
- Kenaikan tarif global yang signifikan.
Dalam proyeksi dasar (baseline forecast), penurunan inflasi diharapkan didorong oleh:
- Pelemahan harga inti (core prices) seiring meredanya permintaan di sektor jasa,
- Pelonggaran pasar tenaga kerja,
- Melambatnya pertumbuhan upah, dan
- Penurunan lebih lanjut harga komoditas.
Sejalan dengan proyeksi ini, berbagai survei ekspektasi inflasi menunjukkan adanya tren penurunan inflasi global yang berlanjut tahun ini dan tahun depan.
Foto: Global CPI Inflation
Sumber: Bank Dunia
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)