Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?

2 months ago 31

  • Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam kemarin, IHSG melemah sementara rupiah menguat
  • Wall Street terbang setelah Trump menunda pengenaan tariff perdagangan
  • Kebijakan tarif Amerika dan kinerja keuangan emiten akan menjadi penggerak pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam pada perdagangan kemarin. IHSG kembali loyo sementara nilai tukar rupiah masih menguat.

Jelang akhir pekan, pergerakan bursa saham dan rupiah diperkirakan kembali volatile pada perdagangan hari ini mengingat masih terdapat beberapa sentimen dan data-data ekonomi yang dirilis. Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman empat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan Kamis (13/2/2025) ditutup melemah 0,48% ke 6.613,57. IHSG bahkan sempat ambruk 1% lebih ke 6.565,78.

Nilai transaksi perdagangan kemarin mencapai Rp 11,01 triliun dengan volume sebanyak 14,27 miliar lembar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,02 juta kali. Sebanyak 307 saham menguat, 251 saham turun, dan 232 saham stagnan.

Secara sektoral, nyaris setengah sektor yang diperdagangkan di IHSG berada di zona merah, dengan koreksi terbesar terjadi di sektor transportasi yang melemah 0,64%.

Secara spesifik saham emiten kapitalisasi besar dan blue chip masih menjadi beban utama pergerak IHSG kemarin.

Amman Mineral Internasional (AMMN) kemarin turun 5,92% menjadi saham dengan kontribusi terbesar atas pelemahan IHSG sebesar 13,61 indeks poin.

Kemudian ada saham Bank Central Asia (BBCA) yang turun 1,64% dan berkontribusi atas pelemahan IHSG9,76 indeks poin.

Lalu melengkapi tiga besar adalah emiten Prajogo Pangestu, Chandra Asri Pacific (TPIA), yang kembali terperosok usai mengalami penguatan pada perdagangan kemarin. Saham BREN tercatat turun 4,39% dan berkontribusi atas pelemahan 7,43 poin indeks IHSG.

Terpuruknya IHSG seiring dengan aksi jual asing yang masih terjadi. Pada perdagangan 12 Februari 2025, investor asing tercatat melakukan penjualan bersih atau net sell sebesar Rp208,21 miliar di seluruh pasar dan sebesar Rp231,14 miliar di pasar reguler. Di samping itu, mereka juga melakukan pembelian bersih sebesar Rp22,93 miliar di pasar negosiasi dan tunai.

Dari sisi rupiah, mata uang Garuda pada penutupan perdagangan Kamis (13/2/2025) terpantau menguat tipis meskipun data inflasi Amerika Serikat (AS) kembali panas.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah melemah 0,06% di level Rp16.350/US$1 pada perdagangan Kamis (13/02/2025). Posisi tersebut melanjutkan penguatan tipis sehari sebelumnya sebesar 0,06%. Namun, penguatan dua hari kemarin belum bisa menghapus pelemahan dalam mingguan sebesar 0,49%.

Penguatan rupiah seiring dengan tekanan indeks dolar AS (DXY) yang melandai pada perdagangan kemarin.

DXY terpantau mengalami retracement normal usai rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang pada Rabu yang menunjukkan inflasi kembali ketat.

Inflasi AS secara mengejutkan mengalami lonjakan cukup tajam pada Januari 2025. Inflasi menembus 0,5% secara bulanan (month to month/mtm) atau yang tertinggi sejak Agustus 2023 atau hampir 1,5 tahun.

Inflasi juga melesat 3,0% secara tahunan (year on year/yoy) pada Januari 2025 atau tertinggi sejak Juni 2024. Sementara itu, inflasi inti tercatat 3,3% (yoy) pada Januari 2025 atau naik dibandingkan Desember 2024 yang tercatat 3,2%. Inflasi jauh di atas ekspektasi yakni 0,3 (mtm) dan 2,9% (yoy).

Selain itu, Ketua The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan inflasi tetap tinggi di atas target 2% dan bank sentral ingin menjaga kebijakan moneter tetap hati-hati.

Ekspektasi pasar bermanuver dengan cepat dan kini melihat hanya akan ada sekali penurunan suku bunga saja tahun ini. Artinya, era suku bunga tinggi masih berlanjut lebih lama.

Tak hanya sampai di situ, kekhawatiran terhadap potensi dampak ekonomi dari kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump terus mendukung aset-aset safe-haven seperti emas guna menahan banyaknya ketidakpastian saat ini.

Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Kamis (13/2/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun tercatat menguat 0,07% di level 6.851 dari perdagangan sebelumnya. Imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pula sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN).

Pages

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research