- Pasar keuangan Indonesia ambruk pada pekan lalu, IHSG ambruk
- Wall Street mengakhiri perdagangan di zona merah pada akhir pekan lalu
- Perang dagang, konflik di Timur Tengah, hingga data ekonomi akan menjadi sentimen penggerak pada pekan ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan masih dalam fase loyo dan sepi transaksi. Kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan kemarin selama tiga hari beruntun pun mendorong pesimisme terhadap pasar saham tanah air. Sementara rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil melawan arah.
Pergerakan IHSG dan juga rupiah diperkirakan masih volatile pada perdagangan pekan ini mengingat banyaknya sentimen dan data-data ekonomi yang akan rilis.
Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman tiga pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman empat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambruk nyaris 2% pada akhir perdagangan Jumat (7/2/2025), di mana investor asing yang masih mencatatkan outflow membuat IHSG kembali tertekan.
IHSG ditutup ambruk 1,93% ke posisi 6.742,58. IHSG pun terkoreksi ke level psikologis 6.700 pada akhir perdagangan Jumat (7/2/2025), menjadi level terendah sejak 19 Juni 2024.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan Jumat (7/2/2025), mencapai sekitar Rp 13 triliun dengan melibatkan 17 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 191 saham menguat, 417 saham melemah, dan 188 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor energi menjadi yang paling parah koreksinya dan membebani IHSG paling besar yakni mencapai 6,29%. Selain itu, ada bahan baku, infrastruktur, dan konsumer non-primer yang juga membebani IHSG cukup besar yakni masing-masing mencapai 4,05%, 1,96%, dan 1%.
Sementara dari sisi saham, mayoritas penekan IHSG di sesi I Jumat (7/2/2025) merupakan emiten konglomerasi Prajogo Pangestu, di mana saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan terbesar yakni mencapai 66,7 indeks poin.
Selain BREN, ada PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) sebesar 35,6 indeks poin, PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) sebesar 11,7 indeks poin, dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) sebesar 5,9 indeks poin.
Saham-saham Prajogo menjadi penekan IHSG setelah adanya kabar bahwa tiga saham Prajogo yakni BREN, PT Petrosea Tbk (PTRO), dan CUAN berpotensi tidak masuk ke dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Investable Market pada review Februari 2025.
Beralih ke rupiah, Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cadangan devisa (cadev) mencetak all time high.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah diitutup menguat 0,34% di angka Rp16.270/US$ pada perdagangan Jumat (07/02/2025). Sedangkan secara mingguan, rupiah tampak menguat sebesar 0,15%. Hal ini berbeda dengan pekan sebelumnya yang tampak melemah sebesar 0,77%.
Mata uang Garuda tampak cukup perkasa pada perdagangan akhir pekan usai BI merilis data cadev yang mengalami kenaikan sebesar US$0,4 miliar menjadi US$156,1 miliar untuk periode Januari 2025.
Cadev Indonesia naik tipis pada Januari 2025, didorong oleh penerbitan surat utang global (global bond) oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Kenaikan posisi cadangan devisa tersebut antara lain bersumber dari penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa di tengah kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso.
Posisi cadangan devisa pada akhir Januari 2025 setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Menurut Ramdan, cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Jumat (7/2/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun tercatat melemah 0,72% di level 6.898 dari perdagangan sebelumnya. Imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN). Begitu pula sebaliknya, imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN).
Pages