Jakarta, CNBC Indonesia- Harga telur di Amerika Serikat melonjak ke rekor tertinggi, mencapai rata-rata US$4,95 per lusin pada Januari 2025 atau sekitar Rp 80.957 (US$ 1=Rp 16.355). Kenaikan ini dipicu oleh wabah flu burung yang berkepanjangan sejak 2022. Kondisi ini memperparah kelangkaan pasokan dan memicu inflasi pangan di negara tersebut.
Data terbaru dari Bureau of Labor Statistics (BLS) mengonfirmasi tren ini, memperlihatkan lonjakan harga yang lebih dari dua kali lipat dibandingkan titik terendah US$2,04 pada Agustus 2023.
Kondisi ini semakin membebani rumah tangga dan pelaku industri makanan, terutama karena harga di beberapa wilayah bahkan menembus US$10 per lusin atau sekitar Rp 163.550 per lusin. Jika dihitung per biji maka harganya Rp 13.629 per butir.
Varian khusus seperti telur organik dan bebas kandang (cage-free) juga mengalami lonjakan harga yang lebih tajam. Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan harga telur masih akan naik sekitar 20% sepanjang 2025, dengan puncak kenaikan yang biasa terjadi menjelang perayaan Paskah akibat lonjakan permintaan musiman.
Selain persoalan wabah flu burung, faktor biaya produksi turut berkontribusi terhadap lonjakan harga. Peternak menghadapi peningkatan biaya pakan, bahan bakar, serta tenaga kerja akibat tekanan inflasi yang lebih luas.
Investasi dalam sistem biosekuriti juga meningkat demi mengurangi risiko penularan virus di peternakan mereka. Data USDA menunjukkan bahwa lebih dari 23 juta unggas dimusnahkan pada Januari 2025, setelah sebelumnya 18 juta unggas dimusnahkan pada Desember 2024. Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah ayam petelur, yang semakin memperketat pasokan telur di pasar.
Regulasi baru yang diterapkan di beberapa negara bagian AS juga turut berperan dalam ketatnya pasokan telur.
Setidaknya 10 negara bagian, termasuk California, Massachusetts, dan Oregon, telah mengesahkan aturan yang mewajibkan penjualan hanya untuk telur dari sistem bebas kandang. Dampaknya, peternakan dengan sistem ini lebih rentan terhadap gangguan pasokan ketika terjadi wabah, karena jumlah peternakan yang memenuhi standar lebih terbatas dibandingkan peternakan konvensional.
Dengan situasi ini, harga telur di AS berpotensi terus naik, memicu tekanan inflasi lebih lanjut dan mengubah telur dari kebutuhan pokok menjadi barang mewah bagi banyak rumah tangga. Sementara itu, kebijakan pemerintah dan respons industri akan menjadi faktor kunci dalam menentukan apakah harga telur bisa kembali stabil dalam waktu dekat atau justru semakin membebani konsumen dan dunia usaha.
Produksi Berkurang, Telur Jadi Kontributor Inflasi
Produksi telur di Amerika Serikat pada Desember 2024 totalnya mencapai 9,12 miliar, turun 3% dari 2023. Produksi ini termasuk 7,83 miliar table eggs (telur yang segar dan masih dalam cangkangnya) dan 1,29 miliar telur tetas, di mana 1,9 miliar adalah jenis broiler dan 95,9 juta adalah jenis telur untuk tetas.
Jumlah ayam petelur pada Desember rata-rata mencapai 373 juta, turun 3% dari 2023. Produksi telur per 100 ayam petelur pada Desember adalah 2.448 telur, 1% lebih rendah dibandingkan dengan Desember 2023.
Jumlah ayam petelur pada 1 Januari 2025 mencapai 369 juta, turun 2% dari tahun lalu.
Tingkat bertelur per hari pada 1 Januari 2025 rata-rata 78,6 telur per 100 layam petelur, 1% lebih rendah dibandingkan dengan 1 Januari 2024.
Jumlah anak ayam jenis telur yang menetas pada Desember turun 1% sementara jumlah anak ayam jenis broiler yang menetas naik 3% dibandingkan dengan 2023.
Lonjakan harga telur menjadi salah satu pemicu inflasi. Laju inflasi AS secara mengejutkan mengalami lonjakan cukup tajam pada Januari 2025. Inflasi menembus 0,5% secara bulanan (month to month/mtm) atau yang tertinggi sejak Agustus 2023 atau hampir 1,5 tahun.
Inflasi juga melesat 3,0% secara tahunan (year on year/yoy) pada Januari 2025 atau tertinggi sejak Juni 2024. Sementara itu, inflasi inti tercatat 3,3% (yoy) pada Januari 2025 atau naik dibandingkan Desember 2024 yang tercatat 3,2%.
Inflasi jauh di atas ekspektasi yakni 0,3 (mtm) dan 2,9% (yoy).
Harga telur menjadi salah satu kontributor inflasi terbesar dengan kenaikan harga mencapai 15% (mtm) dan 55% (yoy) pada Januari 2025.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)