Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah lima hari beruntun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami masa yang sulit.
Pada hari ini, pergerakan-nya masih akan potensi volatil lantaran ada data genting dari Amerika Serikat (AS) sampai efek lanjutan rilis laporan keuangan.
IHSG secara month to date (MTD) pada Februari tahun ini sudah jatuh 8,12%. Penurunan tajam indeks pasar saham ini rasanya seperti flashback pada Februari 2020 di mana IHSG jatuh 8,20%.
Secara teknikal, ada teori mengatakan "history must repeat itselft". Pada 2020 waktu itu ada Pandemi Covid-19 yang membuat pasar saham gonjang ganjing dengan bottom market terjadi pada Maret.
Jika pergerakan pasar tahun ini hampir mirip seperti 2020 lalu, maka potensial kejatuhan IHSG ini tidak akan berakhir pada Februari saja, yang artinya the worst case bisa berlangsung sampai Maret tahun ini.
Foto: Tradingview
IHSG
Namun, kita perlu pahami bahwa bottom market ini tidak ada yang bisa menebak secara pasti. Menilai IHSG yang sudah turun tajam dalam beberapa hari terakhir ini tentu juga menyimpan peluang rebound jangka pendek.
Oleh karena itu, kami menilai secara teknikal untuk melihat potensi rebound terdekat IHSG bisa menguji resistance di 6726 yang sebelumnya merupakan bottom market pada Juni 2024. Sementara itu, support terdekat yang bisa diantisipasi di level 6500 secara round number.
Jika 6500 tertembus, kami mengantisipasi support selanjutnya bisa ke 6250 yang didapatkan dari garis rata-rata atau moving average/MA 100 monthly.
Foto: Tradingview
IHSG
Sejauh ini kami menilai IHSG masih minim katalis positif, dari global efek perang dagang yang dimulai, laju cut rate bank sentral yang melambat, dan penantian sejumlah data genting AS masih memperkeruh ketidakpastian pasar.
Akibat itu, asing masih terus keluar, kepemilikan asing oleh institusi di pasar saham Indonesai kini turun menjadi Rp889 triliun. Sebagai persentase dari total kapitalisasi pasar, kepemilikan asing institusi susut ke 7,2% menandai level terendah dalam lebih dari satu dekade.
Dalam enam hari perdagangan aktif (3-10 Februari 2025) net foreign sell tercatat mencapai Rp4,72 triliun.
Jadi, secara year-to-date tekanan jual asing secara bersih di keseluruhan pasar saham mencapai Rp8,43 triliun. Dari pasar reguler asing jual Rp8,82 triliun, sementara dari pasar nego dan tunai masih tercatat net buy sebanyak Rp383,32 triliun.
Sebagai tambahan juga, penurunan kepemilikan asing ini juga sejalan dengan beberapa rebalancing indeks global yang terjadi baru-baru ini.
Sebut saja ada MSCI, yang baru mengumumkan hasil rebalancing Selasa kemarin (11/2/2025) dan akan efektif pada 3 Maret mencatang.
Hasil rebalancing MSCI Global Standard Indexes tercatat tidak ada emiten baru yang masuk, tetapi menghapus tiga emiten yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP). PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Dengan dihapuskannya saham itu, membuat INKP dan MDKA tergeser masuk ke hasil kocok ulang MSCI Small Cap Indexes, sementara yang terhapus dari katefori ini ada PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang tahun ini industri jasa keuangan masih menantang bahkan lebih sulit dibandingkan tahun 2024.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman juga mengatakan hal yang sama. Namun, pihaknya tetap optimis.
"Kalau saya selalu kita lihat optimis, tapi tetap waspada," ujarnya saat ditemui di acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan 2025, Selasa (11/2).
Iman mengungkapkan, jika melihat kondisi pasar modal beberapa hari terakhir ini cenderung dipengaruhi oleh faktor global. Ia mengaku, gejolak global menjadi fokus utama dan sorotan investor.
Optimisme industri pasar modal di tengah gejolak perekonomian dan geopolitik global, kata Iman, Indonesia masih tangguh. Hal itu tecermin dari ketahanan tahun lalu. Apalagi, kinerja perusahaan emiten tetap mengalami peningkatan.
Adapun kabar positif dari salah satu bank pita emas di RI akan melakukan buyback.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memberi sinyal bahwa pihaknya akan melakukan buyback saham dalam waktu dekat.
"Ada (buyback) nanti kita minta persetujuan di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), ungkap Sunarso.
Kabar buyback itu setidaknya bisa menjadi salah satu sentimen positif di tengah banyaknya gejolak ekonomi global saat ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)