Duh! IHSG Diprediksi Masih Suram, Tanda-tandanya Sudah Terlihat

1 week ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib pasar saham keuangan di bulan ini tersisa empat hari lagi. Mengingat pekan depan, pasar saham Tanah Air hanya berlangsung selama empat hari sebelum menjelang libur lebaran hingga cuti bersama.

Diperkirakan pada perdagangan sepekan depan transaksi cenderung sepi dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi kembali merana.

Hal ini lantaran fokus sebagian investor sudah mulai menuju libur lebaran dan persiapan Lebaran, sehingga sebagian investor cenderung melakukan aksi jual saham atau taking profit hingga menunda transaksi untuk fokus terhadap momen lebaran.

Jika berkaca pada perdagangan IHSG di sepekan ini, IHSG telah jatuh 3,95% di level 6.258,18 hingga penutupan perdagangan Jumat (21/3/2025). Meski masih tersisa dua pekan terakhir sebelum libur lebaran, IHSG sudah terperosok lebih dulu. Koreksi tersebut memperpanjang pelemahan IHSG di sepanjang tahun ini yang mencapai 11,61%.

IHSG pun sempat mengalami trading halt pada perdagangan Selasa (18/3/2025) yang dimana IHSG sempat jatuh ke level terendah pada perdagangan hari itu dengan penurunan hingga 7,11% di level 6.011,84.

Dalam sebulan terakhir terpantau Net Foreign Sell sudah mencapai Rp19,85 triliun. Dan di sepanjang 2025, asing telah keluar dari bursa saham Tanah Air sebesar Rp30,82 triliun.

Hingga perdagangan Jumat (21/3/2025) market cap IHSG berada di Rp10.848,82 triliun.

Penurunan IHSG sejalan dengan fundamental ekonomi Tanah Air saat ini, mulai dari penurunan surplus neraca dagang hingga hutang Indonesia yang akan jatuh tempo ditengah penurunan pendapatan negara.

Neraca Dagang Surplus Tapi Lebih Rendah

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan pada Februari 2025. Surplus kedua pada 2025 ini mencapai US$ 3,12 miliar, dipicu oleh nilai impor yang lebih rendah yakni US$ 18,86 miliar, sementara ekspor mencapai US$ 21,98 miliar.

Ini adalah surplus selama 58 bulan beruntun sejak Mei 2020. Namun, surplus tersebut lebih rendah dibandingkan Januari 2025 yang mencapai US$3,45 miliar.

Dari sisi impor, volume impor barang konsumsi pada Februari 2025 atau menjelang Ramadan dan Lebaran merosot tajam. Membuat kalangan ekonom mewanti-wanti data itu menjadi bukti nyata daya beli masyarakat tengah ambruk.

Total impor barang konsumsi per Februari 2025 hanya sebesar US$ 1,47 miliar, atau merosot 10,61% (mtm) dibanding data per Januari 2025 yang sebesar US$ 1,64%. Dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,86 miliar malah merosot lebih dalam, yaitu 21,05% (yoy).

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm) per Februari 2025 yang sebesar 0,93% mtm.

Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor.

Bhima berpendapat, turunnya impor barang konsumsi menjelang masa Lebaran atau Idul Fitri 2025 maupun memasuki masa Ramadan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024 saja, angka impor barang konsumsi naik baik secara mtm maupun yoy.

Selain menilai kondisi impor barang konsumsi yang turun merupakan kondisi anomali jelang Lebaran, ia menegaskan, seharusnya impor barang konsumsi tengah terbuka lebar akibat kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

Senada, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro mengungkapkan impor barang konsumsi turun 21,05% (yoy), menunjukkan melemahnya daya beli domestik, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah.

Deflasi Setelah 25 Tahun

Deflasi periode Februari 2025 sangat mengejutkan banyak pihak apalagi hal ini terjadi satu bulan sebelum Ramadan di Maret 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 3 Maret 2025 telah mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau mengalami deflasi baik secara bulanan (% mtm) dan tahunan (% yoy) yang masing-masing turun sebesar 0,48% dan 0,09%.

Komoditas utama penyebab deflasi Februari adalah diskon tarif listrik, daging ayam ras, cabai merah, tomat dan telur ayam ras.

Deflasi Februari ini menjadi tanda tanya karena terjadi justru sebulan sebelum Ramadan. Pasalnya, IHK biasanya melesat atau mengalami inflasi tinggi menjelang datangnya Ramadan karena masyarakat meningkatkan permintaan barang, terutama makanan. Seperti diketahui, umat Islam di Indonesia mengawali Ramadan pada 1 Maret 2025.

Sementara itu, berdasarkan data BPS yang dapat diperoleh CNBC Indonesia Research sejak 1996, IHK secara bulanan untuk periode satu bulan sebelum bulan Ramadhan cenderung selalu mengalami inflasi. Namun berbeda halnya dengan Februari 2025 yang justru mengalami deflasi 0,48%. Maka dari itu, hal ini sangat mengejutkan banyak pihak.

Seperti pada Januari, penyebab utama deflasi ini adalah diskon tarif listrik hampir di seluruh rumah tangga. Bank Central Asia (BCA) dalam laporannya yang berjudul CPI Inflation: Storing up potential energy menjelaskan deflasi pada Februari didorong oleh efek lanjutan diskon 50%.

Berdasarkan hitungan BCA, tanpa diskon listrik, inflasi Februari seharusnya diperkirakan akan mencapai sekitar 2,07% YoY (0,19% MoM).

Sebagai catatan, di Indonesia, terdapat dua metode pembayaran listrik, yaitu prabayar (token) dan pascabayar.

Selain diskon listrik yang terjadi dua bulan terakhir, normalisasi harga pangan bergejolak juga berperan besar dalam deflasi Februari. Kelompok pangan bergejolak menyumbang sekitar -0,16% MoM terhadap angka deflasi bulanan.

Kontributor utama deflasi antara lain ayam (-0,06%), cabai (-0,06%), serta bawang merah (-0,05%).

Sebagian deflasi ini dapat dijelaskan oleh normalisasi musim panen tahun ini, yang didukung oleh kondisi cuaca yang lebih baik.

Utang Jatuh Tempo SRBI Sisa 2 Bulan Lagi

Utang jatuh tempo pemerintah Indonesia pada 2025 ternyata tidak seberapa jika dibandingkan dengan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang diperkirakan lebih tinggi bahkan nyaris Rp1.000 triliun.

Sebagaimana diketahui, utang jatuh tempo pada tahun ini sebesar Rp800,33 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp705,5 triliun dan pinjaman Rp94,83 triliun. Lebih tinggi dari catatan pada 2024 silam, yaitu senilai Rp434,29 triliun, terdiri dari SBN Rp371,8 triliun, dan pinjaman Rp62,49 triliun.

Pada 2026 sebesar Rp803,19 triliun, terbagi menjadi SBN Rp703 triliun dan pinjaman Rp100,19 triliun, serta pada 2027 menjadi Rp802,61 triliun, terdiri dari SBN Rp695,5 triliun dan pinjaman Rp107,11 triliun.

Pada 2028, utang jatuh tempo menjadi hanya sebesar Rp719,81 triliun yang terdiri dari SBN Rp615,2 triliun dan pinjaman Rp104,61 triliun. Jika ditotal periode 2025-2028, total utang jatuh tempo mencapai Rp3.125,94 triliun.

Jatuh Tempo SRBI Lampaui Utang Pemerintah

Bahana Sekuritas dalam laporannya menunjukkan bahwa jatuh tempo SRBI tenor 12 bulan disepanjang tahun ini dengan puncaknya terjadi pada Mei, Juni, dan Juli 2025 yang masing-masing diperkirakan sebesar Rp113,1 triliun, Rp121,7 triliun, dan Rp126,7 triliun.

Besarnya utang jatuh tempo tenor 12 bulan di tengah tahun pun tampak memberikan andil yang cukup besar terhadap total utang jatuh tempo SRBI secara keseluruhan khususnya pada Mei, Juni, dan Juli yang masing-masing diproyeksikan sebesar Rp122 triliun, Rp136 triliun, dan Rp131 triliun.

Besarnya utang jatuh tempo SRBI yang perlu dibayarkan ini akan berpeluang dalam meningkatkan potensi arus keluar dana asing dari SRBI dan berpotensi melemahkan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

APBN Defisit Dua Bulan Pertama Anggaran

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 tercatat defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Sementara itu, belanja negara dalam dua bulan pertama adalah Rp348,1 triliun atau 9,6% dari target APBN.

Pendapatan negara hingga Februari 2025 ambruk, baik dari pendapatan pajak atau non-pajak (PNBP). Pendapatan pajak bahkan jeblok 30% dibandingkan tahun lalu.

Hingga Februari 2025, pemerintah telah merealisasikan pembiayaan sebesar Rp 220,1 triliun atau 35,7% dari target. Pembiayaan termasuk penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 238,8 triliun atau sekitar 37,2% dari target.

Belanja negara termasuk digunakan untuk program Makanan Bergizi Gratis (MBG) serta pemeriksaan kesehatan gratis.

Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,4 triliun untuk pemeriksaan kesehatan gratis (PKG) untuk tahun ini.

Penerimaan Pajak Anjlok

Pendapatan negara dari sisi pajak mengalami penurunan dalam per Februari 2025, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dalam dua bulan pertama tahun ini, setoran pajak yang masuk ke kas negara hanya mencapai Rp187,8 triliun atau terkontraksi sebesar 30% dibandingkan catatan Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun.

Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu tambahan turunnya penerimaan pajak. Yakni, masalah administrasi pajak hingga harga komoditas yang merosot.

Khusus untuk harga komoditas yang anjlok dan memengaruhi penerimaan negara, di antaranya harga minyak mentah yang merosot 5,2% secara tahunan, batu bara minus 11,8%, dan nikel turun 5,9%.

Selain itu, dari sisi administrasi perpajakan yang membuat penerimaan merosot, salah satunya permasalahan sistem inti administrasi pajak atau Coretax yang terjadi sejak 1 Januari 2025.

Adapun, efek kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) yang telah diterapkan sejak 2024, relaksasi untuk pelaporan dan penyetoran PPN termasuk faktornya dan restitusi yang signifikan.

Utang Luar Negeri Meningkat

Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2025 mencapai US$ 427,5 miliar atau Rp 6.968,25 triliun (Rp 16.300/US$), tumbuh 5,1% (yoy) dibandingkan dengan posisi ULN Desember 2024 yang tumbuh 4,2% (yoy).

"Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh ULN sektor publik, baik pemerintah maupun bank sentral," ungkap Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso, Senin (17/3/2025).

Dia menegaskan ULN pemerintah tetap terkendali. Posisi ULN pemerintah pada Januari 2025 sebesar US$ 204,8 miliar, atau tumbuh sebesar 5,3% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan 3,3% (yoy) pada bulan sebelumnya.

"Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) internasional, seiring dengan tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia," kata Denny.

Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus dikelola secara prudent dan efisien, alokasi pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung belanja prioritas pemerintah.

Dia memaparkan pengelolaan ULN pemerintah yang terus dijaga dalam batas aman dan terkendali ditujukan untuk mendukung momentum pertumbuhan perekonomian, antara lain pada Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (22,6% dari total ULN pemerintah); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (17,8%); Jasa Pendidikan (16,6%); Konstruksi (12,1%); serta Jasa Keuangan dan Asuransi (8,2%). Posisi ULN pemerintah tetap terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah.

Adapun, BI mencatat ULN swasta menurun. Pada Januari 2025, posisi ULN swasta tercatat sebesar 194,4 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan yang sama dengan bulan sebelumnya yaitu sebesar 1,7% (yoy).

PHK Makin Mengerikan

Kondisi masyarakat Indonesia pun makin menderita, apalagi usai jumlah pekerja Indonesia yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) makin meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 3.325 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per Januari 2025.

Sehingga jika ditotal, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK telah mencapai 81.290 tenaga kerja per Januari 2025. Angka ini meningkat 4,26% dari Desember 2025 sebesar 77.965.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research