Darurat Tindak Perundungan di Kampus

5 hours ago 1

Oleh : Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi FISP Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kampus idealnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mahasiswa untuk menimba ilmu. Tetapi, di berbagai kampus kondisinya ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Selain praktik perpeloncoan yang masih kerap terjadi dan dialami mahasiswa baru, di kampus ternyata juga masih terjadi praktik-praktik perundungan yang menimpa mahasiswa tertentu. Tindak perundungan yang dilarang terjadi di kampus ini, justru masih kerap ditemui dalam berbagai bentuk. Korban-korban perundungan tidak hanya menderita rasa malu dan minder, tetapi sebagian  bahkan hingga memilih melakukan aksi bunuh diri karena tak kuat menahan derita.

Kematian mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali, Timothy Anugerah Saputra (22 tahun) adalah salah satu contoh terjadinya praktik perundungan yang hingga kini masih marak terjadi di kampus. Peristiwa yang menimpa Timothy ini menjadi peringatan keras bahwa kekerasan dan perundungan di dunia pendidikan masih terus terjadi. Dunia pendidikan harus melakukan introspeksi dan reformasi budaya kampus agar kekerasan dalam bentuk apa pun tidak lagi terjadi.

Kalau mengacu pada peraturan, kampus sesungguhnya sudah memiliki acuan yang jelas, yakni Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi. Di berbagai kampus biasanya juga telah memiliki Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK), dan menyediakan kanal pelaporan bagi korban yang mudah diakses. Tetapi, kenyataan di lapangan upaya untuk mencegah terjadinya praktik perundungan terhadap mahasiswa tidaklah semudah membalik telapak tangan. Hingga kini, praktik perundungan masih terjadi dari waktu ke waktu. Bahkan telah menimbulkan korban nyawa.

Faktor Penyebab

Menurut data, kasus bunuh diri sesungguhnya bukan hal yang baru. WHO mencatat, setiap tahun dilaporkan sebanyak 726 ribu orang melakukan bunuh diri –termasuk mahasiswa. Angka orang yang mencoba bunuh diri, bahkan disinyalir jauh lebih besar dari itu. Sebanyak 73 persen dari angka bunuh diri global ini terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut WHO, bunuh diri adalah penyebab ketiga kematian bagi orang berusia 15-29 tahun.

Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri yang terjadi menurut data WHO (2019) sebesar 2,4:100.000. Angka ini sebetulnya masih tergolong rendah. Namun, menurut data yang dirilis tahun 2022, menemukan angka bunuh diri di Indonesia ternyata ditengarai empat kali lipat lebih besar daripada data resmi.

Menurut data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas), pada periode Januari hingga Agustus 2024 saja, setidaknya polisi telah menangani 849 kasus bunuh diri. Ini berarti dalam satu hari terjadi hampir 4 empat kejadian bunuh diri. Dari data tersebut sebagian besar korban bunuh diri berusia 26-45 tahun (30,9persen). Sementara bunuh diri yang dilakukan usia 17-25 tahun ditemukan sebanyak 75 kasus atau setara 8,8persen.

Di Indonesia, Studi yang dilakukan Mark Sinyor et al (2014), menemukan dari 94 kasus bunuh diri yang dilakukan remaja, ternyata sebanyak 6,4 persen kasus dipicu karena praktik perundungan. Dari segi proporsi, angka ini walaupun tergolong kecil, namun ada indikasi makin lama makin mengkhawatirkan. Di berbagai kampus di Indonesia, harus diakui kasus mahasiswa yang bunuh diri dilaporkan telah terjadi di berbagai tempat. Secara garis besar faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan aksi bunuh diri adalah:

Pertama, berkaitan dengan kondisi psikologis mahasiswa yang rapuh, mudah stres dan mengalami depresi. Banyak studi menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa umumnya rentan stres karena tidak kuat menghadapi tekanan dan tugas pembelajaran. Mahasiswa yang merasa terbebani tugas-tugas kampus dan tidak mampu memenuhinya, bukan tidak mungkin mereka mengalami tekanan psikologis yang kuat, yang memaksa mereka kemudian memilih jalan pintas.

Mahasiswa yang merasa mendapat tekanan dari orang tua maupun lingkungan sosialnya agar selalu berprestasi dan tidak kalah dengan teman-temanya yang lain, mereka biasanya beresiko lebih mudah mengalami stres. Ketika mereka merasa kalah atau tertinggal dengan temannya, maka yang terjadi kemudian adalah tekanan stres yang berkepanjangan, yang bila tidak segera ditangani resikonya mereka akan memilih menarik diri. Bahkan bunuh diri.

Kedua, karena kurang atau tidak dimilikinya dukungan sosial dari lingkungannya. Di era digital seperti sekarang sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak atau semua mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget daripada mengembangkan interaksi offline dengan teman-temannya. Banyak mahasiswa menjadi kesepian, karena teman mereka adalah gadget. Inilah yang menyebabkan ketika mereka menghadapi masalah, kemudian tidak ada teman riil yang bisa diajak bicara.

Mahasiswa seringkali menjadi soliter dan tidak dapat mengembangkan jejaring sosial karena ketergantungan pada teknologi informasi yang terlampau kuat. Kebiasaan mahasiswa sebagai generasi Z yang memanfaatkan handphone untuk menelusur informasi secara mandiri, cepat atau lambat membuat mereka tidak lagi banyak berinteraksi offline dengan teman-temannya. Akibatnya, sebagian mahasiswa yang dalam pergaulan sehari-hari dikucilkan teman-temannya, mereka akhirnya kesepian dan memilih bunuh diri karena tak kuat menghadapi tekanan.

Ketiga, berkaitan dengan terjadinya softifikasi kekerasan di lingkungan kampus. Di lembaga pendidikan yang mestinya nyaman dan aman sebagai tempat belajar mahasiswa ini, ternyata masih banyak diwarnai dengan tindak kekerasan yang dinormalisasi. Artinya, mahasiswa menjadi makin terbiasa dengan ejekan dan bahkan tindak perundungan, khususnya kepada kelompok the other.

Mahasiswa yang memiliki sifat pemalu, cupu, dan “berbeda”, sering mereka menjadi korban tindak perundungan teman-temannya. Alih-alih bersimpati dan membela korban, dalam kenyataan banyak mahasiswa lain yang justru membenarkan dan ikut melakukan praktik perundungan –tanpa menyadari dampaknya yang berbahaya bagi korban. Kasus bunuh diri mahasiswa Udayana Bali adalah salah satu contoh.

 Kepedulian Bersama

Mendiktisaintek Brian Yuliarto telah menegaskan, bahwa kasus bunuh diri mahasiswa yang terjadi Udayana Bali adalah alarm bagi seluruh civitas akademika untuk lebih peka terhadap kondisi mahasiswa di lingkungannya. Kasus kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa terjadi bermula dari tekanan psikologis yang tidak terdeteksi karena tertutupnya komunikasi di kampus.

Untuk mencegah agar kasus bunuh diri dan praktik perundungan tidak berkembang di lingkungan kampus, selain kepedulian pimpinan kampus, yang tak kalah penting adalah bagaimana mengajak kepada seluruh civitas akademika di Indonesia untuk membangun atmosfer kampus yang sehat.

Membangun kepedulian berbagai pihak terhadap upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan harus diakui bukan hal yang mudah. Bagi seluruh insan kampus, tindak perundungan seyogyanya tidak dikonstruksi hanya sebagai bagian dari perilaku kenakalan mahasiswa yang sifatnya tertutup dan tidak penting. Tindak perundungan harus dikonstruksi sebagai sesuatu yang menjadi wacana dan perbincangan publik. Kenapa hal ini perlu dilakukan, sebab dengan menarik keluar isu tentang perundungan menjadi isu publik, maka pihak yang menjadi watchdog pencegahan kasus ini akan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas.

Kampus tidak boleh menutupi praktik perundungan yang terjadi di wilayahnya. Kasus investigasi kematian Timothy Anugerah Saputra harus dilakukan secara transparan dan dilaporkan ke publik. Tujuannya adalah agar tumbuh kepedulian bersama dan semua pihak lantas sepakat untuk mengatasi masalah ini bersama. Bagaimana pendapat Anda?

Read Entire Article
Lifestyle | Syari | Usaha | Finance Research