Jakarta, CNBC Indonesia - Gebrakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menggemparkan dunia dengan kebijakan yang sangat terfokus pada kepentingan dalam negeri tanpa memperdulikan negara lainnya.
Sebagai informasi, Trump mengambil sumpah jabatan sebagai presiden AS ke-47 pada 20 Januari 2025 atau sekitar tiga minggu yang lalu. Ini menandai dimulainya pemerintahan era Trump 2.0 secara resmi.
Selama pidato pelantikannya di gedung DPR AS, Trump menguraikan visinya untuk pemerintahan keduanya, dengan bersumpah untuk "mengutamakan Amerika."
Hal menarik di era kepemimpinannya adalah beragam kebijakannya yang kontroversial dan menyita perhatian publik, seperti tarif impor, pajak korporasi, dan lainnya. Begini rinciannya:
1. Pajak Korporasi Diturunkan Jadi 15%
Sebelumnya Trump telah mengusulkan perpanjangan pemotongan pajak yang disahkan pada 2017, serta pengurangan tarif pajak perusahaan dari 21% menjadi 15%. Hal ini ditegaskannya dalam wawancara dengan Fox News beberapa waktu lalu.
"Saya mengurangi pajak perusahaan menjadi 21%. Saya ingin menurunkannya menjadi 15%," tegasnya dalam wawancara.
Dia juga mengklaim bahwa hal ini akan merangsang pertumbuhan lapangan kerja, terutama bagi usaha kecil.
Namun para ekonom juga telah memproyeksikan bahwa pemotongan pajak Trump dapat meningkatkan utang nasional. Bahkan ini akan mencapai US$5,8 triliun selama dekade berikutnya.
Data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa pemotongan pajak perusahaan pada 2025 kemungkinan tidak akan menyebabkan penurunan pendapatan negara yang tajam. Selain itu, pajak perusahaan yang lebih kompetitif akan menjadikan Amerika sebagai tujuan yang lebih menarik untuk investasi global dan ekspansi tenaga kerja. Kongres seharusnya memenuhi janji Trump tersebut atau menghapuskan pajak ini sepenuhnya.
Pada akhirnya, penurunan pajak akan membuat ekonomi bergerak lebih cepat.
Tarif pajak penghasilan perusahaan yang lebih rendah mendorong investasi, meningkatkan produktivitas, memperluas peluang kerja, dan menarik laba perusahaan yang bergerak secara internasional. Dalam banyak kasus, pemotongan tarif pajak perusahaan tidak mengurangi pendapatan negara; bahkan dapat meningkatkannya.
Sebagai contoh, ketika Irlandia memangkas pajak perusahaannya, pendapatan negara justru meningkat. Tarif pajak perusahaan Irlandia turun dari 40% pada 1994 menjadi 12,5% pada 2003. Sejak 1993, pendapatan pajak perusahaan Irlandia sebagai bagian dari perekonomian meningkat sebesar 75% (2,1 poin persentase).
Foto: Corporate Tax Revenue of Ireland, US, and OECD average
Sumber: OECD
Sedangkan ketika AS memangkas pajak perusahaan sebesar 14 poin persentase (sejak 2017), pendapatan pajak perusahaan sebagai bagian dari PDB meningkat sebesar 40% (dari 1,5% menjadi 2,1% pada 2023). Pendapatan per kapita juga hampir dua kali lipat, dari US$870 menjadi US$1.700.
Usulan Trump untuk memangkas tarif pajak penghasilan perusahaan federal dari 21% menjadi 15% akan menurunkan tarif pajak perusahaan gabungan (federal dan negara bagian) di Amerika Serikat menjadi 19,6%.
Hal ini akan membuat tarif pajak perusahaan AS lebih rendah dibandingkan dengan semua negara OECD, kecuali 5 negara, menempatkan AS di sepertiga terbawah dari seluruh negara di dunia, dan berada di bawah tarif pajak perusahaan China yang sebesar 25% (China bukan anggota OECD).
Foto: Corporate Tax Rate
Sumber: OECD
2. Bor Minyak Lebih Masif
"We will drill baby... drill!" kalimat singkat Donald Trump saat kampanye yang memberikan gambaran besar mengenai kebijakan energi Amerika Serikat di era kepemimpinannya.
Kebijakan energi Trump yang pro pengeboran minyak diperkirakan akan menekan harga minyak mentah pada 2025. Hal ini karena potensi peningkatan pasokan minyak di tengah ekonomi dunia yang diperkirakan masih akan banyak tantangan. Melandainya harga minyak akan mengurangi beban pengeluaran masyarakat Amerika Serikat untuk bahan bakar. Alhasil, inflasi juga seharusnya bisa ditekan.
Harga energi adalah salah satu penyumbang inflasi terbesar di AS mengingat besarnya konsumsi di negara tersebut.
Bank Citi memperkirakan harga rata-rata minyak mentah Brent sebesar US$60 per barel pada 2025. Rata-rata tersebut turun 21% dibandingkan harga rata-rata pada 2024 senilai US$75,76 per barel.
Bank Citi menjelaskan bahwa pengaruh Trump terhadap OPEC+, yang terdiri dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia, mungkin mendorong kelompok produsen tersebut untuk mengurangi pemotongan produksi lebih cepat.
3. Menaikkan Tarif Impor ke AS
Trump kembali memperkuat kebijakan proteksionismenya dengan rencana menerapkan tarif 25% terhadap impor baja dan aluminium mulai Senin (10/2/2025). Kebijakan tarif adalah salah satu yang paling dikhawatirkan dunia karena bisa memicu perang tarif hingga menekan ekonomi global.
Trump tetap tidak mundur karena dia berjanji memenuhi slogannya "Make America Great Again" meskipun kebijakannya ini dibenci banyak negara.
Langkah kebijakan tarif bahkan segera mendapat ancaman pembalasan dari Uni Eropa serta peringatan dari China bahwa tidak ada pemenang dalam perang dagang.
Trump mengonfirmasi rencana kebijakan ini kepada wartawan di pesawat kepresidenan Air Force One pada Minggu. Langkah ini menandai kembalinya kebijakan perdagangan keras Trump, yang sebelumnya telah diberlakukan selama masa kepresidenannya pada 2017-2021.
"Setiap baja yang masuk ke Amerika Serikat akan dikenakan tarif ini, termasuk aluminium," ujarnya.
Uni Eropa merespons kebijakan ini dengan tegas. Komisi Eropa menyatakan bahwa mereka belum menerima pemberitahuan resmi terkait tarif baru, namun mereka siap mengambil langkah serupa.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot menegaskan bahwa Eropa tidak akan tinggal diam dan akan "mereplikasi" setiap tarif yang dikenakan AS.
Sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, mengingatkan bahwa perang dagang tidak akan menguntungkan siapapun.
Beijing telah mempersiapkan tarif balasan terhadap barang-barang asal AS senilai US$14 miliar, termasuk batu bara dan gas alam cair (LNG), yang akan berlaku mulai Senin. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan Trump terhadap barang-barang China mencapai US$525 miliar, menurut analisis Goldman Sachs.
4. Suku Bunga Rendah
Trump telah berjanji untuk membantu menurunkan harga dan suku bunga tetapi perekonomian yang telah berubah akibat pandemi akan membuat janji-janji tersebut sulit untuk dipenuhi.
Pertumbuhan ekonomi tetap solid, didorong oleh belanja konsumen yang sehat. Namun, defisit anggaran sangat besar dan berpotensi semakin membengkak. Sementara itu, perusahaan-perusahaan semakin banyak meminjam untuk meningkatkan investasi mereka di pusat data dan kecerdasan buatan, yang menyebabkan meningkatnya permintaan pinjaman dan berpotensi mendorong suku bunga naik.
Jika Trump menepati janjinya untuk memberlakukan tarif impor secara luas dan mendeportasi jutaan imigran, para ekonom memperkirakan inflasi bisa memburuk yang membuat kemungkinan bank sentral AS (The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya tahun ini menjadi lebih kecil.
Seluruh tren ini kemungkinan akan menjaga biaya pinjaman tetap tinggi, termasuk untuk pembelian rumah dan mobil.
Namun, pada bulan sebelumnya dalam acara tahunan World Economic Forum di Davos, Swiss, Trump menyatakan bahwa ia akan menurunkan harga minyak, lalu "saya akan menuntut agar suku bunga segera turun, dan demikian pula, suku bunga di seluruh dunia juga harus turun." Dikutip dari apnews.
Kemudian, di Washington, Trump mengatakan kepada para wartawan bahwa biaya energi yang lebih rendah akan menurunkan inflasi, yang akan "secara otomatis menurunkan suku bunga." Ketika ditanya apakah ia mengharapkan The Fed akan mendengarkannya terkait suku bunga, Trump menjawab: "Ya."
Sebagai catatan, suku bunga The Fed saat ini berada di level 4,25-4,50%.
5. Deportasi Warga Asing dari AS
Trump langsung meningkatkan serangkaian keamanan di perbatasan selatan. Ini adalah salah satu janji politiknya untuk memperketat imigrasi.
Mengutip Associated Press pada Selasa (21/1/2025), Trump telah menghidupkan kembali kebijakan dari pemerintahan pertamanya, termasuk memaksa pencari suaka untuk menunggu di Meksiko, menindak akses suaka, dan merampungkan tembok perbatasan.
"Saya akan mengumumkan keadaan darurat nasional di perbatasan selatan kita. Semua masuk secara ilegal akan segera dihentikan, dan kita akan memulai proses pengembalian jutaan dan jutaan alien kriminal ke tempat asal mereka," kata Trump dalam pidato pelantikannya yang disambut tepuk tangan meriah.
Pemerintahan Trump akan memberlakukan kembali kebijakan "Tetap di Meksiko", yang memaksa 70.000 pencari suaka menunggu di sana untuk sidang di pengadilan imigrasi AS.
Meksiko, negara yang menjadi bagian penting dari upaya Amerika untuk membatasi imigrasi ilegal, mengindikasikan bahwa mereka siap menerima pencari suaka sambil menekankan bahwa harus ada aplikasi daring yang memungkinkan mereka untuk menjadwalkan janji temu di perbatasan AS.
Para pendukung imigrasi mengatakan kebijakan tersebut menempatkan para migran pada risiko ekstrem di Meksiko utara, tempat mereka mudah dikenali oleh kartel, yang menculik mereka dan memeras keluarga mereka untuk mendapatkan uang.
Lebih lanjut, Trump akan memenuhi janjinya untuk mendeportasi massal setidaknya 11 juta orang yang sudah berada di negara tersebut secara ilegal. Satu dekrit akan membekali petugas imigrasi dengan "otoritas yang dibutuhkan" untuk menegakkan hukum.
Trump dan para pembantunya telah berulang kali mengatakan bahwa mereka akan membatalkan prioritas deportasi Biden, yang berfokus pada orang-orang dengan catatan kriminal atau ancaman keamanan nasional, untuk mencakup semua orang tanpa status hukum.
Rencana penangkapan deportasi tampaknya berubah setelah berita bocor tentang operasi di Chicago minggu ini. Kepala perbatasan Trump, Tom Homan, mengatakan "bukan hal yang mustahil, tetapi kami sedang mempertimbangkan kembali kapan dan bagaimana kami melakukannya." Dia mengatakan kebocoran tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang keselamatan petugas.
Ekspor AS di Era Perang Dagang
Secara umum total ekspor AS mengalami penurunan pasca 2018 atau perang dagang antara AS dan China dimulai khususnya dari sisi perdagangan barang, namun tidak dengan perdagangan jasa yang justru mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Census.gov, total ekspor AS pada 2018, 2019, dan 2020 tercatat masing-masing sebesar US$2,54 triliun, US$2,55 triliun, dan US$2,16 triliun.
Tren ekspor AS dari 2017-2020 juga tampak menurun khususnya akibat pandemi Covid-19 dan berbagai faktor ekonomi global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)