Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing sudah kembali mendatangi pasar keuangan domestik pada pekan lalu. Aksi inflow tersebut relatif cukup baik namun tidak merata, karena hanya satu dari tiga instrumen investasi yang tercatat inflow besar, sedangkan dua lainnya terpantau outflow.
Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 3-6 Februari 2025, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp1,45 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp3,29 triliun di pasar saham, beli neto Rp9,14 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan jual neto Rp4,40 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Jual neto SRBI ini adalah yang terbesar dalam tiga pekan terakhir.
Selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen sampai dengan 6 Februari 2025, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp2,85 triliun di pasar saham, beli neto Rp10,73 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp10,44 triliun di SRBI.
Pekan lalu didominasi oleh besarnya dana asing yang masuk ke SBN nyaris Rp10 triliun. Inflow ini tergolong cukup tinggi bahkan merupakan yang tertinggi sejak pekan ketiga September 2024 atau sekitar lima bulan terakhir.
Chief Investment Officer Insight Investments Management, Camar Remoa menyampaikan dalam acara Power Lunch, CNBC Indonesia (Jum'at, 07/02/2025) bahwa SBN dan pasar saham Indonesia asih cukup menarik investor asing yang tercermin dari Price to Earning (P/E) ratio Indonesia masih menarik di 12 kali dengan sektor yang prospek ada di sektor perbankan dan konsumsi.
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah net foreign sell di SRBI yang tampak cukup besar.
Net sell pekan lalu tercatat merupakan yang terbesar sejak pekan ketiga Januari 2025 yang pada saat itu tampak dana asing keluar dari SRBI sebesar Rp5,41 triliun.
Hal ini bukan tanpa alasan mengingat kondisi pasar di AS yang cukup memberikan daya tarik bagi investor asing untuk mengalokasikan dananya.
Tampak indeks dolar AS (DXY) dan US Treasury tenor 10 tahun berada di level yang cukup tinggi. Alhasil ini yang membuat investor masih melirik pasar AS.
Kekhawatiran soal stabilitas makro Indonesia pun sudah menjadi perhatian oleh Ekonom Universitas Paramadina. Ia menjelaskan pun mengatakan bunga surat utang Indonesia, seperti SBN, SRBI ataupun SVBI/SUVBI perlu lebih tinggi untuk berjaga-jaga dari dampak perang dagang Trump,
"Itu pun belum tentu aman dari potensi reversal. Jika reversal terjadi, nilai tukar rupiah akan merosot. Stabilitas nilai rupiah merupakan pintu masuk utama bagi terganggunya stabilitas makro kita," ujarnya.
Ia pun mengatakan sektor finansial dan pasar modal paling terpengaruh. Lalu sektor komoditas, khususnya tambang, akan terpengaruh oleh demand dan harga yang menurun.
"Jika perang dagang makin parah dengan tarif terhadap produk China yang makin tinggi, maka produk China akan membanjiri Indonesia, sektor manufaktur pun akan terdampak," ujarnya.
Pendapat lain soal aliran investasi yang masuk ke Indonesia disampaikan oleh Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Wahyu Widodo yang mengatakan bahwa aliran investasi ke Indonesia dari AS, Cina, Kanada dan Meksiko ke Indonesia sebenarnya tidak akan banyak terpengaruh akibat perang dagang diantara negara-negara tersebut.
Pasalnya, Indonesia tidak terlibat langsung perang dagang dengan mereka.
'Aliran investasi ke Indonesia lebih karena faktor domestik seperti country risks, kepastian hukum, regulasi, birokrasi dan faktor kelembagaan lain yang selama ini sudah banyak disampaikan oleh para investor," ujarnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)